KabarMakassar.com — Briptu Sanjaya, divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar, atas tindak pelecehan seksual fisik terhadap tahanan Perempuan.
Hakim menyatakan Briptu Sanjaya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
Atas perbuatannya dengan nomor perkara 709/Pid.Sus/2024/PN Mks, Sanjaya dihukum 3 tahun penjara dan denda sebesar 10 juta rupiah atau subsider 2 bulan penjara.
Penasehat hukum korban, Mirayati Amin mengatakan hukuman ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yang menuntut pelaku 10 tahun penjara.
Atas putusan tersebut, LBH Makassar selaku Tim Penasehat Hukum Korban menilai, vonis yang diberikan tidak merepresentasikan sistem peradilan yang adil terhadap korban kekerasan seksual.
Hakim dianggap gagal melihat pola kekerasan berulang yang dialami korban, serta relasi kuasa antara pelaku dan korban.
“Sepatutnya, dengan adanya keterangan korban ditambah 2 orang saksi lainnya yang dihadirkan dalam ruang sidang, Majelis Hakim bisa dengan menemukan pola kekerasan yang dilakukan pelaku, sehingga mengakibatkan korban mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali dengan bentuk kekerasan seksual yang berbeda,” ungkap Mirayati Amin.
Mirayati Amin menjelaskan bahwa relasi kuasa tersebut menimbulkan situasi rentan dan tidak setara, tidak hanya antara pelaku dan korban, tapi berlaku juga bagi tahanan dan aparat kepolisian secara umum.
Hal ini kata dia bisa dilihat dari adanya intimidasi yang diterima korban sejak awal dia mendapatkan tindak pelecehan.
“Dalam proses pemeriksaan lainnya, kita bahkan bisa mendengar bagaimana relasi kuasa antara korban yang berstatus tahanan dan pelaku yang merupakan aparat kepolisian, ikut menjadi penyumbang kejahatan pelaku,” tegas Mirayati Amin.
Bahkan sebut Mira ketika korban mulai berani melaporkan pelaku ke Direktur Dit Tahti Polda Sulsel, kemudian berlanjut ke Propam Polda Sulsel, intimidasi tersebut tidak berhenti.
Korban sebut Mira bahkan sempat berniat tidak melanjutkan kasusnya. Korban takut proses hukum yang dia jalani akan dipersulit. Namun, pada akhirnya korban memilih tetap melaporkan pelaku hingga ke SPKT Polda Sulsel, karena sadar kekerasan yang dialami harus berhenti.
Mira menyebut rumah tahanan yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi tempat traumatis bagi korban kekerasan seksual.
“Diawal-awal ku cueki ji karena takut ka juga, tapi semakin lama semakin semaunya. Saya marah mi kalau begitu terus nanti dia, akan ada lagi orang lain. Baru itu penyidik yang lain, sebenarnya na tau ji cuman ndak mau juga ikut bicara atau melapor. Makanya, berani saya melapor karena nanti na kira orang karena ada tatto ku jadi bisa na kasih begitu.” tutur korban ke Tim Hukum, saat pertama kali melapor ke SPKT Polda Sulsel, pada bulan Agustus 2023.
Koordinator Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik, Hutomo menilai putusan oleh Majelis Hakim terhadap Briptu Sanjaya sangat jauh dari rasa keadilan semangat mencegah kekerasan seksual utamanya pelaku yang melibatkan aparat.
“Faktanya, perbuatan pelaku dilakukan secara berulang-ulang dan memanfaatkan posisinya sebagai polisi di rutan tempat korban di tahan. Hal ini menunjukan adanya relasi kuasa antara keduanya dan korban berada dalam posisi rentan karena berada dalam tahanan. Ini sangat tidak manusiawi sehingga pelaku seharusnya mendapat hukuman maksimal,” ujar Hutomo.
Hutomo menegaskan bahwa Sanjaya merupakan anggota Polri yang notabene merupakan aparat penegak hukum, Majelis Hakim sepatutnya memberikan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang telah dilakukan.
“Dalam hukum pidana, posisi seseorang sebagai penegak hukum itu merupakan alasan pemberat hukuman jika ia melakukan tindak pidana.” pungkasnya
Berdasarkan putusan Majelis Hakim yang memvonis ringan, LBH Makassar menilai putusan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban termasuk, gagal dalam melihat posisi pelaku yakni merupakan anggota Polri yang memiliki kuasa yang sepatutnya bertanggungjawab atas perbuatannya.
Putusan ini tentu akan menjadi preseden kedepan dan secara tidak langsung Majelis Hakim makin menebalkan impunitas ditubuhkan Polri, sehingga LBH Makassar mendesak Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya banding atas vonis ringan Briptu Sanjaya yang diberikan Majelis Hakim.