KabarMakassar.com — LBH Pers Makassar bersama Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulawesi Selatan mendampingi Pemimpin Redaksi Herald.id Suhandi untuk memenuhi pemanggilan klarifikasi Subdit Unit V Satreskrim Polrestabes Makassar, Kamis (25/01).
Pemanggilan ini terkait kasus dugaan kasus Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Kantor Polrestabes Makassar, Jalan Ahmad Yani Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam proses klarifikasi tersebut LBH Pers Makassar yang mendampingi kliennya menyatakan menolak memberikan keterangan dalam proses pemeriksaan.
Usai diperiksa pihak LBH Pers mengatakan pihaknya mendampingi kliennya tetap menolak memberikan keterangan sebagai saksi
Tim Penasihat Hukum LBH Makassar, Firmansyah menyatakan di awal proses klarifikasi tersebut pihaknya menanyakan perihal undangan klarifikasi tersebut.
Sebab, dalam udangan tersebut tidak sebutkan peristiwanya, sehingga kliennya harus melakukan klarifikasi.
“Klien kami dipanggil klarifikasi kemudian pihak penyidik menyampaikan perihal laporan pengaduan dari eks Staf Khusus Gubernur yang merasa dirugikan oleh terlapor diketahui adalah narasumber dalam pemberitaan tersebut,” ungkapnya .
Diketahui perkara ini berkaitan laporan polisi Hasanuddin Taibien selaku mantan Staf Khusus eks Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman yang keberatan soal pemberitaan melalui konferensi pers yang diduga mencemarkan nama baiknya oleh terlapor Aruddini mengenai kebijakan gubernur memutasi dan tidak memberikan jabatan alias non job kepada puluhan Aparatur Sipil Negera (ASN) lingkup Pemprov Sulsel.
“Kami pertanyakan tadi perihal pemanggilan polisi terhadap klien kami berkaitan ada laporan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan dan menjadikannya saksi. Atas nama hukum klien kami berhak menolak untuk tidak memberikan keterangan sesuai yang diatur dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999,” ucap Firmansyah menegaskan.
Ia menjelaskan, dalam aturan Undang-Undang Pers yang merupakan Lex Spesialis dan telah diatur mekanisme dalam hal sengketa Pers termasuk hak tolak di pasal 4. Sebab, kaitannya antara narasumber dengan jurnalis sangat kuat. Tujuannya adalah demi melindungi sumber informasi atau narasumbernya.
Ia menekankan pekerja jurnalis dalam menjalankan profesinya dalam menjalankan pekerjaan telah dilindungi undang-undang, termasuk tidak memberikan keterangan maupun berhak menolak memberi keterangan kepada siapapun demi menjaga dan melindungi narasumbernya.
Pria disapa akrab Charlie ini menuturkan, dalam proses klarifikasi itu ada empat pertanyaan kepada kliennya, namun pada kesimpulannya menolak memberikan keterangan kepada pemeriksa.
Hal ini juga merujuk pada pedoman Dewan Pers nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam Perkara Jurnalistik.
“Ada juga Peraturan Dewan Pers tahun 2007 bahwa wartawan atau pekerja jurnalis berhak menolak memberikan keterangan dengan tujuan perlindungan atas narasumber. Hal ini berkaitan dengan pemberitaan. Jadi klien kami bukan terlapor melainkan saksi, dan kami tegaskan menolak memberikan keterangan,” kata Charlie menegaskan.
Menanggapi hal tersebut Ketua Tim KAJ Sulsel Haeril menyatakan pihaknya terus mengawal upaya dugaan pembungkaman dan kriminalisasi pers.
Dalam proses klarifikasi itu ada hak media ataupun wartawan berhak menolak memberikan keterangan karena itu sesuai peraturan yang diatur dalam Undang-undang Pers maupun Pedoman Dewan Pers.
“Soal itu ada Undang-undang pers yang berlaku, jika ada masalah terkait karya jurnalis maka sejatinya mekanismenya harus melalui Dewan Pers. Dan kemudian ada juga terkait dengan MoU bersama Kapolri dan Dewan Pers. Mestinya harus melalui mekanisme tersebut,” katanya menekankan.
KAJ merupakan koalisi organisasi pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Makassar dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel bersama LBH Pers Makassar.