KabarMakassar.com — Sulawesi Selatan (Sulsel) menghadapi ancaman ekologi yang semakin serius. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebanyak 85.270 hektar hutan di Sulsel telah hilang dalam satu dekade terakhir. Kehilangan tutupan hutan ini berkontribusi langsung pada lonjakan risiko bencana di wilayah tersebut.
Menurut Kepala Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Slamet Riadi, degradasi hutan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong peningkatan signifikan kejadian bencana di Sulsel. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa jumlah bencana di Sulsel meningkat dari 50 kejadian pada 2013 menjadi 276 kejadian pada 2023, atau lima kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
“Hutan yang tersisa di Sulsel kini hanya sekitar 29,70% dari luas provinsi, atau sekitar 1.356 hektar. Penurunan ini sangat memprihatinkan karena hutan memiliki peran penting dalam mitigasi bencana seperti banjir dan longsor,” jelas Slamet.
Selain kehilangan tutupan hutan, degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) juga menjadi masalah utama. Dari 139 DAS di Sulsel, hanya 38 DAS yang tergolong sehat, sementara 101 DAS berada dalam kondisi kritis. DAS yang rusak menjadi kontributor utama bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
Ancaman lainnya datang dari wilayah pesisir dan laut Sulsel. Dalam satu dekade terakhir, pembangunan reklamasi dan penambangan pasir laut telah mengubah lanskap wilayah pesisir secara masif. Akibatnya, lebih dari 60.000 rumah tangga nelayan tradisional kehilangan sumber penghidupan.
“Reklamasi dan penambangan pasir tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga memusnahkan identitas bahari masyarakat pesisir,” ungkap Slamet.
Kebijakan baru yang melegalisasi ekspor pasir laut untuk kebutuhan luar negeri juga dinilai semakin memperburuk kondisi ini.
WALHI juga menyoroti ancaman terhadap kawasan karst Sulsel yang luasnya mencapai 354.233 hektar. Kawasan ini mengalami tekanan besar akibat aktivitas pertambangan dan pembangunan, terutama dari industri hilirisasi mineral seperti emas, nikel, dan tembaga.
Daerah yang menjadi target utama konsesi tambang justru berada di kawasan hutan hujan terakhir Sulsel, seperti Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Bone.
“Konsesi tambang emas dan nikel di kawasan ini berpotensi merusak ekosistem yang seharusnya dilindungi,” ujar Slamet.
Upaya WALHI untuk melaporkan pelanggaran ke aparat penegak hukum seringkali menghadapi kendala. Oleh karena itu, WALHI kini lebih fokus pada advokasi yang menyasar rantai pasok industri tambang.
“Kami melihat pendekatan melalui rantai pasok lebih efektif untuk menekan dampak kerusakan lingkungan. Langkah ini diharapkan dapat mendorong perubahan di tingkat global,” jelas Slamet.