KabarMakassar.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar mencatat 192 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepanjang tahun 2024.
Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, Muhammad Ansar mengatakan bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 315 permohonan bantuan hukum diterima LBH Makassar yang di mana 192 kasus diantaranya terdapat pelanggaran HAM dan demokrasi.
Dalam hal ini kasus yang paling signifikan yakni Kekerasan terhadap perempuan, perampasan tanah, perburuhan, kekerasan terhadap anak, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT(, fair trial, kebebasan berekpresi dan kekerasan aparat.
“Dari 315 kasus ini, yang berdimensi struktural ada 192, yang siginifikan ada beberapa kasus seperti Kekerasan terhadap perempuan ada 72 kasus, kasus tanah ada 21, kekerasan anak 19 kasus, buruh 17 kasus, KRDT 15 kasus, fair trial 14 kasus, kebebasan berekpresi 7 kasus dan 5 kasus kekerasan fisik oleh aparat,” ungkapnya dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun LBH Makassar yang berlangsung di Kantor LBH Makassar, Jumat (27/12).
Muhammad Ansar menyebut kasus pelanggaran HAM berdasarkan catatan LBH Makassar mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir yakni 2020-2024.
“Walaupun di tahun 2022 sempat mengalamo penurunan, namun di tahun 2023 angka melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya,” sambungnya.
Menurutnya, hal ini mengindikasikan adanya penurunan kualitas demokrasi dan penegakan HAM khususnya di Sulawesi Selatan.
Pihaknya menjelaskan sejumlah pelanggaran HAM tersebut tercermin dalam berbagai bentuk seperti pembubaran aksi demontrasi, pembungkaman jurnalis kampus, pembatasan ruang-ruang akademik, perampasan lahan petani, penerbitan izin tanpa memperhatikan lingkungan hidup serta mengabaikan protes warga dan hilangnya ruang aman bagi perempuan dan anak.
Ia menyebut lembaga-lembaga negara yang dimandatkan konstitusi untuk melindungi, menghormati dan memenuhi HAM serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi justru menjadi aktor pelaku langsung (aktif) maupun tidak (pembiaran/membiarkan).
Ia menilai tidak hanya dalam kasus pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tetapi keberadaan aparat keamanan (Polri dan TNI) dalam konflik SDA justru menjadi aktor signifikan yang memperuncing terjadinya pelanggaran HAM.
Selain itu ia menilai tidak responsifnya birokrasi kampus menjadi salah satu hal yang signifikan hilangnya ruang aman bagi mahasiswa/mahasiswi atas ancaman kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
“Lembaga-lembaga negara yang dimandatkan konstitusi, untuk melindungi dan memenuhi HAM dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi justru menjadi pelaku. Situasi ini akan menjadi tantangan berat dalam Penegakan HAM dan demokrasi kedepannya,” ungkap, Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, Mirayati Amin.
Mira mempertanyakan bagaimana negara ini menangani tantangan penegakan HAM dan demokrasi akan menentukan arah masa depan politik dan sosialnya.
“Apakah Indonesia, khususnya Sulsel akan kembali menjunjung tinggi hak-hak warganya, atau akan terjerumus ke dalam otoritarianisme yang merusak sendi-sendi negara demokrasi?,” pungkasnya