KabarMakassar.com — Beda nasib dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencatat penurunan pada akhir pekan ini, sebaliknya, Rupiah pada penutupan perdagangan Jumat (20/09) kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencatat penguatan signifikan.
Rupiah ditutup pada level Rp15.150 per dolar AS, naik 89 poin atau setara 0,58% dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp15.239 per dolar AS. Data dari Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis Bank Indonesia juga mencatat posisi rupiah di Rp15.100 per dolar AS pada sesi perdagangan sore hari.
Penguatan ini menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan kenaikan tertinggi di antara mata uang Asia lainnya. Beberapa mata uang yang turut mencatat penguatan meliputi dolar Singapura yang naik 0,02%, dolar Hong Kong bertambah 0,03%, yuan China menguat 0,11%, rupee India bertambah 0,17%, ringgit Malaysia naik 0,18%, dan baht Thailand menguat 0,22%. Namun, pelemahan dialami oleh peso Filipina yang turun 0,06%, won Korea Selatan melemah 0,30%, dan yen Jepang yang anjlok 0,69%.
Mata Uang Global di Tengah Penguatan
Tidak hanya di Asia, mata uang negara-negara maju juga menunjukkan performa positif. Poundsterling Inggris menguat 0,13%, euro Eropa naik 0,03%, dan franc Swiss bertambah 0,06%. Sementara itu, dolar Kanada sedikit melemah 0,07% dan dolar Australia turun 0,04%.
Penguatan rupiah disebabkan oleh pelemahan dolar AS yang mengalami tekanan setelah Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin (bps).
Langkah ini merupakan bagian dari siklus pelonggaran moneter yang diperkirakan akan berlanjut, dengan total pemotongan suku bunga hingga 125 bps pada tahun ini. Meski demikian, penguatan rupiah sempat tertahan oleh keputusan Bank Rakyat China yang mempertahankan suku bunga acuan pinjaman, yang mengecewakan sebagian besar pedagang yang mengharapkan pelonggaran lebih lanjut.
Proyeksi Penguatan Rupiah Pekan Depan
Menurut analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, rupiah diperkirakan akan melanjutkan penguatannya pada perdagangan pekan depan. Ia memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak fluktuatif namun tetap kuat di kisaran Rp15.070 hingga Rp15.180 per dolar AS.
Ibrahim menjelaskan bahwa penguatan rupiah saat ini dipengaruhi oleh sejumlah sentimen eksternal dan internal. Salah satu faktor eksternal adalah kebijakan suku bunga The Fed yang mulai lebih longgar, memberikan ruang bagi rupiah untuk bergerak lebih leluasa.
Di sisi lain, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya serangan yang melibatkan Hizbullah dan dugaan keterlibatan badan intelijen Israel, turut memberikan tekanan terhadap pasar global.
Kebijakan Moneter Global dan Dampaknya Terhadap Rupiah
The Fed diperkirakan akan terus memangkas suku bunga hingga 125 bps sepanjang tahun ini. Meskipun demikian, Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan bahwa suku bunga netral di masa mendatang kemungkinan akan lebih tinggi dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya.
Hal ini menjadi sinyal bahwa meskipun ada siklus pemangkasan, kebijakan moneter jangka panjang mungkin tidak akan serendah yang diperkirakan pasar. Namun, prospek penurunan suku bunga jangka pendek ini tetap disambut baik oleh para pelaku pasar, yang berharap adanya pelonggaran likuiditas dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Tiongkok, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pinjaman. Langkah ini sedikit mengecewakan sebagian pedagang yang mengharapkan langkah lebih agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lesu. Meski demikian, pemerintah Tiongkok masih mempertimbangkan langkah-langkah lain untuk memulihkan sektor properti dan ekonomi domestik.
Ibrahim juga mengungkapkan bahwa Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan memangkas suku bunga lebih lanjut dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi domestik. Pemangkasan suku bunga tambahan sebesar 75 hingga 100 bps diprediksi akan terjadi, yang akan membawa suku bunga acuan BI ke kisaran 5,25% hingga 5,00%. Langkah ini diharapkan dapat mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan, sehingga meningkatkan permintaan kredit dan mendorong perekonomian.
Dalam beberapa bulan terakhir, BI telah mencatat inflasi yang terkendali. Pada Agustus 2024, inflasi umum turun menjadi 2,12% secara tahunan, sedikit menurun dibandingkan dengan 2,13% pada bulan Juli 2024.
Meskipun inflasi menunjukkan penurunan, level tersebut masih berada dalam target BI, yaitu di kisaran 1,5% hingga 3,5%. Pelonggaran kebijakan moneter BI diharapkan akan memperkuat momentum pemulihan ekonomi, terutama bagi sektor perbankan yang diharapkan dapat merespons dengan menurunkan suku bunga kredit.
Pemangkasan suku bunga oleh BI pada tahun ini menandai yang pertama kali sejak Februari 2021. Sebelumnya, suku bunga BI sempat bertahan di level 3,5% dari Februari 2021 hingga Juli 2022. Kenaikan suku bunga mulai terjadi pada Agustus 2022 hingga mencapai puncaknya di 6,25% pada Agustus 2024. Dengan prospek pelonggaran moneter oleh The Fed dan inflasi yang terkendali, BI diprediksi akan melonggarkan kebijakan suku bunga untuk mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut.
Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat menunjukkan optimisme di pasar, meskipun terdapat beberapa faktor eksternal yang memberikan tekanan. Dengan prospek pelonggaran moneter dari The Fed dan potensi kebijakan BI yang lebih akomodatif, rupiah diperkirakan akan tetap berada dalam tren penguatan, meskipun fluktuasi pasar global tetap harus diwaspadai. Perekonomian Indonesia yang stabil, didukung oleh inflasi yang rendah dan cadangan devisa yang meningkat, menjadi faktor penting yang mendukung pergerakan rupiah ke depan.