KabarMakassar.com — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mulai menunjukkan pemulihan pada awal pekan ini setelah mengalami tekanan berat pekan lalu.
Meskipun demikian, keduanya masih menghadapi tantangan dari berbagai faktor domestik dan global.
Pada Senin (03/03), IHSG tercatat menguat 2,09% ke level 6.404,85. Kondisi ini berbanding terbalik dengan perdagangan Jumat pekan lalu (28/02) yang ditutup anjlok 3,31% di posisi 6.270,60 level terendah sejak September 2021.
Sementara itu, rupiah juga menunjukkan penguatan terhadap dolar AS. Pada pukul 09.55 WIB, rupiah berada di posisi Rp 16.527 per dolar AS, naik 0,27% dibandingkan penutupan perdagangan Jumat lalu, ketika mata uang Garuda melemah 0,79% ke Rp 16.575 per dolar AS.
Pelemahan tersebut menjadi yang terparah dalam sejarah. Secara mingguan, rupiah terdepresiasi 1,69%, lebih buruk dibandingkan pekan sebelumnya yang turun 0,28%.
Faktor Pendorong dan Tantangan Pasar
Pemulihan IHSG dan rupiah sebagian didorong oleh kabar baik dari dalam negeri, yakni meningkatnya aktivitas manufaktur Indonesia.
Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global pada Senin (03/03) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia berada di angka 53,6, tertinggi sejak Maret 2024.
PMI yang berada di atas angka 50 menandakan ekspansi sektor manufaktur, dengan kenaikan pesanan baru menjadi yang tercepat dalam hampir setahun.
Lonjakan ini juga mendorong peningkatan produksi, aktivitas pembelian, dan ketenagakerjaan. Bahkan, peningkatan jumlah tenaga kerja pada Februari menjadi yang tertinggi sejak survei ini pertama kali dilakukan.
Selain itu, pasar tengah menunggu rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) periode Februari 2025 dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan IHK akan mengalami deflasi bulanan sebesar 0,04% (month-to-month/mtm) dan inflasi tahunan sebesar 0,64% (year-on-year/yoy).
Ketidakpastian Global Masih Bayangi Pasar
Di sisi eksternal, pelaku pasar masih mencermati beberapa faktor global, termasuk data tenaga kerja AS (non-farm payroll) dan pidato pejabat The Federal Reserve (The Fed) pekan ini.
Namun, yang paling dinantikan adalah kebijakan tarif impor baru yang akan diberlakukan AS terhadap Meksiko, Kanada, dan China.
Presiden AS Donald Trump berencana menerapkan tarif baru sebesar 25% terhadap Meksiko dan Kanada mulai Selasa (04/03) besok. Sementara itu, China akan dikenakan tambahan tarif 10% pada awal pekan depan.
Langkah ini menandai berlanjutnya kebijakan proteksionisme yang telah menjadi ciri khas pemerintahan Trump dan meningkatkan ketidakpastian di pasar global.
Pemberlakuan tarif ini sebelumnya sempat ditangguhkan pada 3 Februari 2025 untuk satu bulan. Namun, dalam unggahan di Truth Social pada Kamis (27/02), Trump memastikan tarif tersebut akan tetap diberlakukan sesuai jadwal.
“Kami tidak bisa membiarkan ancaman ini terus merusak AS. Oleh karena itu, hingga masalah ini berhenti atau setidaknya sangat dibatasi, tarif yang dijadwalkan untuk diberlakukan pada 4 Maret akan tetap berlaku,” tulis Trump, dikutip Senin (03/03).
Kebijakan tarif ini berpotensi mengganggu rantai pasok global dan menekan sentimen pasar, termasuk di Indonesia.
Dengan demikian, meskipun IHSG dan rupiah menunjukkan pemulihan pada awal pekan ini, volatilitas masih berpotensi tinggi dalam beberapa hari ke depan.