KabarMakassar.com — Debat calon presiden ketiga kembali beradu gagasan berlangsung di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1).
Direktur Lembaga Riset Nurani Strategic Nurmal Idrus melihat secara umum debat sejatinya tidak melihat substansi dari tema debat tersebut.
Menurutnya, persepsi yang terbangun dengan debat ketiga itu lebih banyak oleh karena gaya dan performance dari para capres. Sehingga substansi dari tema debat tak tergali dengan baik.
“Tak ada capres yang menurut saya yang bisa menyodorkan solusi kongkrit berupa program rill di sektor pertahanan dan politik luar negeri Indonesia,”ucap Nurmal Idrus kepada kabarmakassar.com, Senin (8/1).
“Itu yang saya maksud sebagai tak substantif. Sebagai figur yang disiapkan memimpin bangsa ini, pak Anies dan pak Prabowo semestinya menunjukkan pemahaman yang tinggi untuk tidak berdebat kusir dan lebih berfokus pada substansi tema dl debat,”tambahnya menanggapi debat kusir Anies dan Prabowo.
Sementara itu, rode tiga saat berlangsung debat capres tentu banyak menyisakan cerita. Dimana Anies Baswedan yang agresif, Prabowo yang emosional, dan Ganjar Pranowo yang memukau.
Dosen HI Universitas Al Azhar Indonesia, RM Luthfi, yang juga kandidat PhD di NCCU Taiwan memiliki analisis tersendiri yang dirangkum KabarMakassar.com, Senin (8/1).
Paslon Capres-Cawapres 01
Dalam catatan saya, Anies Baswedan tidak terlalu banyak berbicara mengenai isu kekuatan militer atau alutsista, kecuali mempertanyakan mengenai rencana pembelian alutsista bekas.
Padahal, oleh para pemerhati hubungan internasional dan fans forum militer dalam negeri, Anies sangat ditunggu penjelasannya mengenai blue water navy, otomatisasi & supremasi udara, alutsista network-centric, transfer teknologi, pencapaian Minimum Essential Force (MEF), dan peperangan hibrida, misalnya.
Hal-hal tersebut sebenarnya tercantum dalam dokumen visi-misi paslon 01 dan banyak diapresiasi oleh pemerhati pertahanan. Bagian ini menjadi hal yang kurang dan tidak imbang dijelaskan oleh paslon 01, bahkan terkesan ia tidak menguasai isu perangkat keras dalam pertahanan.
Hal yang bisa menarik pemilih adalah janjinya untuk meningkatkan anggaran pertahanan menjadi 1-1,5% dari PDB. Di lain pihak Anies Baswedan juga perlu diapresiasi karena berkali-kali mengingatkan publik mengenai ancaman-ancaman keamanan yang datang ke objek terkecil, yaitu keluarga (dan individu).
Statement 01 mengenai ancaman virus (pandemi), serangan siber, (human) trafficking, narkoba, dan judi online, terhadap keluarga merupakan isu keseharian yang seringkali luput atau diremehkan negara. Padahal, ancaman-ancaman non-tradisional yang disebut 01 ini, lebih sering terjadi dan tidak kalah penting dan sama-sama dapat membuat kerugian besar bagi negara, sebagaimana kerugian yang ditimbulkan dari perang militer.
Anies juga nampak sangat memahami bagaimana Indonesia perlu dikembalikan sebagai pemain utama, penentu agenda dan arah dalam berbagai forum internasional. Perlu diakui ini hal yang bagus, mengingat Indonesia berulangkali mewarnai arah kebijakan internasional seperti dalam Dasasila Bandung, formulasi UNCLOS, Bogor Declaration, Jakarta Informal Meeting, Bali Democracy Forum, dst.
Janji Anies ini akan sangat menarik bagi publik yang melek dan mengidamkan posisi besar Indonesia di mata dunia. Hal ini juga didukung dengan kapasitas Anies dengan latar belakang pendidikannya yang memadai untuk membawa Indonesia dengan presidennya hadir dan mewarnai dalam berbagai forum regional dan internasional.
Akan sangat ditunggu jadinya bagaimana Anies akan memperjuangkan agenda dan solusi bagi penjajahan terhadap Palestina oleh Israel saat ini. Anies juga sangat bagus dalam membawa isu soft power dengan menyatakan pentingnya kekuatan ekonomi dan budaya (dengan contoh film dan seni), dan pelibatan diaspora Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan posisi Indonesia.
Investasi terhadap rumah kuliner dan memperkenalkan masakan Indonesia sehingga bernilai devisa dan menjadi kekuatan budaya, merupakan hal yang tidak diprioritaskan oleh pemerintahan sebelumnya. Padahal, Korea dan Thailand telah mengambil banyak keuntungan dari langkah ini.
Namun, sebagai kesimpulan, saya tidak melihat debat semalam merupakan kemenangan Anies. Kurangnya penjelasan mengenai penguatan pertahanan dari sektor alutsista dan upaya modernisasi militer, malah membuat imej 01 yang tidak menguasai sektor pertahanan dan keamanan. Persoalan etika dan kegagalan Menhan Prabowo yang beberapa kali dieksplorasi oleh 01, membawa 01 luput membahas isu penting lainnya: modernisasi militer Indonesia dan industry pertahanan sebagaimana yang ia bahas dalam visi dan misinya.
Paslon Capres-Cawapres 02
Menurut saya, jelas debat semalam bukanlah milik Prabowo Subianto. Alih-alih menjadi isu yang ia kuasai dan menjelaskan berbagai kebijakan yang telah diambil, Prabowo justru terpantik menjadi lebih emosional.
Paslon 02 terlihat menyampaikan hal-hal normatif dan menjadi hal biasa dalam politik luar negeri Indonesia seperti bebas-aktif, melanjutkan kebijakan non-blok, serta menjaga posisi Indonesia dalam rivalitas antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Ada hal yang mengingatkan saya akan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia era SBY saat Prabowo menyatakan thousand friend are too few, one enemy is too many dan good neigbour policy. Dalam kenyataannya, justru kepentingan nasional yang harus selalu dikedepankan, bahkan jika terpaksa menjadi assertif dan terhadap tetangga dan negara sahabat.
Misalnya saat menghadapi agresifitas China di Laut China Selatan, Skema pembiayaan KCIC yang membengkak, dst.
Padahal, dalam pertanyaan sebelumnya, Prabowo jelas menyatakan akan memperjuangkan kepentingan nasional dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang telah mengalami adu domba dan pencurian kekayaan SDA beratus-ratus tahun sebelumnya.
Saya menduga, prinsip kebijakan luar negeri yang soft yang diperlihatkan oleh 02, merupakan bagian dari upaya menghindarkan atribut citra terhadap Prabowo yang dikesankan tegas dan keras sebagaimana karakter individu berlatar belakang militer.
Ada hal bisa diapresiasi kepada Prabowo adalah saat ia membuka empat fakultas baru di Universitas Pertahanan, yaitu STEM (science, technology, engineering, and mathematics). Negara-negara maju dalam industry pertahanan dan alutsista memang memberikan investasi besar dalam empat bidang ilmu tadi.
Namun, alih-alih membuka empat fakultas baru, mengapa ia tidak menyinergikan kebutuhan pertahanan dengan kampus-kampus terkemuka yang sudah memiliki empat fakultas tadi? Daripada membuka kampus baru dengan anggaran yang pasti tersedot untuk penyediaan gedung, dosen, lab, dan beasiswa mahasiswa, mengapa ia tidak memperbesar saja dana riset untuk pertahanan yang ia bisa gelontorkan kepada kampus terkemuka yang ditugaskan meneliti mengenai pengembangan drone, roket, rudal, radar, chip, material terbaru, dsb. Atau, ia bisa juga meningkatkan sarana dan prasarana laboratorium untuk riset dan inovasi pertahanan di berbagai BUMNIS dan Puslitbang tiga matra.
Ada hal yang menjadi kesalahan Prabowo saat ia menjelaskan bahwa Gaza ditindas karena memiliki militer yang lemah. Nampaknya Prabowo lupa bahwa Palestina belum sepenuhnya menjadi negara dan belum mampu memiliki militer nasional. Perlawanan terhadap Israel saat ini merupakan perlawanan oleh sayap-sayap militer organisasi di Palestina yang tidak memiliki kemampuan menjadi militer nasional karena status Palestina, berbagai embargo, dan blokade Israel terhadap Palestina.
Paslon Capres-Cawapres 03
Ganjar Pranowo tampil memukau dalam debat III ini. Di luar dugaan, ia justru tampak memahami dan punya pengetahuan yang cukup luas pada isu-isu luar negeri dan pertahanan- keamanan. Perlu apresiasi kepada tim di belakang 03 yang telah memberi masukan dan pembaharuan isu kepada 03 sehingga ia bisa tampil meyakinkan dan membawa data.
Terdapat beberapa pernyataan yang menarik dari 03 dan bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Misalnya saat ia mau meredefinisi politik luar negeri bebas aktif. Menjadi pertanyaan apakah ia mau membawa Indonesia keluar dari posisi di ‘tengah’ dan jelas mendekat kepada salah satu major power? Kemana 03 mau membawa Indonesia? Apakah mendekat kepada Tiongkok atau Amerika?
Ia juga menyebut stagnasi keberlanjutan Code of Conduct dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. Ada hal menarik saat ia menyatakan perlunya solusi kesepakatan sementara untuk LCS.
Sayang, ia tidak elaborasi lebih lanjut untuk solusi ini. Lalu, Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanta), penataan ulang gelar pasukan karena ibukota baru (IKN), dan janji meningkatkan anggaran pertahanan 1-2% dari PDB merupakan indikator bagaimana 03 tampak lihai dalam mencoba menarik dukungan dari pemilih yang meminati isu pertahanan.
Namun, ada beberapa catatan kritis untuk 03. Di luar dari pengetahuan yang komprehensif mengenai isu pertahanan, Ganjar cenderung BOMBASTIS dan OBRAL JANJI. Salah satunya adalah saat ia menyebutkan mau menguasai teknologi hypersonic missile dan teknologi SAKTI (Perkasa dengan Keunggulan Teknologi 5.0).
Gagasan tersebut tampak keren tapi sebenarnya kosong karena Indonesia belum menguasai banyak teknologi menuju teknologi hypersonic missile. Saat ini, hanya China, Rusia, dan Amerika Serikat yang sudah memiliki teknologi ini. Saat ini Indonesia belum memiliki teknologi yang mature untuk roket dan kendalinya, dan masih memfokuskan ke teknologi roket tanpa kendali.
Banyak kesenjangan teknologi yang Indonesia kejar sebelum mencapai teknologi hypersonic missile. Saat ini Indonesia belum bisa membuat rudal yang berkecepatan subsonic, supersonic, dan masih harus impor untuk berbagai rudal yang mempersenjatai kapal perang, pesawat tempur, dan anti serangan udara. Miris, saat ini banyak kebutuhan rudal di angkatan laut yang belum dilengkapi karena kekurangan anggaran.
03 juga tidak menjelaskan apa itu SAKTI dengan teknologi 5.0. Ini seperti mengulang trik Jokowi yang menjanjikan Industri 4.0 tetapi juga minim dalam eksekusi.
Tidak bermaksud mengecilkan upaya Indonesia dalam mencapai teknologi maju, namun, seharusnya 03 fokus kepada bagaimana mengejar ketertinggalan teknologi alutsista dengan langkah yang lebih masuk akal.
Misalnya adalah memperbaharui dan melanjutkan konsep MEF menjadi Ideal atau Optimum Essential Force, langkah taktis meningkatkan anggaran pertahanan di saat yang sama tetap meningkatkan kesejahteraan negara secara umum.