KabarMakassar.com — Menjelang akhir tahun 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menggelar Konferensi Pers peluncuran Laporan Catatan Akhir Tahun 2024 dengan judul ‘Pesan Keadilan Ekologi untuk Gubernur dan Seluruh Kepala Daerah di Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan di Red Corner Cafe, Jalan Yusuf Daeng Ngawing Makassar, Senin (30/12).
Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, dalam sambutannya menjelaskan bahwa dalam peluncuran catatan akhir tahun WALHI Sulsel 2024, pihaknyai hendak memberikan gambaran dan situasi objektif tentang kondisi ekologi Sulawesi Selatan serta masukan konstruktif untuk mencegah Sulawesi Selatan menjadi daerah yang rusak, dan terus dilanda bencana ekologis.
“Semoga catatan akhir tahun ini menjadi informasi dan pesan kuat yang berharga bagi Gubernur Sulsel dan Bupati terpilih tentang pentingnya mewujudkan keadilan ekologi di Sulawesi Selatan, sehingga selama kepemimpinan mereka, lahir kebijakan-kebijakan yang adil dan lestari,” ujar Direktur WALHI Sulawesi Selatan dalam sambutannya.
Setelah pembukaan, kegiatan langsung dilanjutkan dengan pemaparan tim penulis Catahu WALHI Sulawesi Selatan. Pemaparan pertama diawali oleh Nurul Fadli Gaffar yang menjelaskan bahwa tahun ini kembali mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan di tengah ancaman bencana yang terus meningkat. Mulai dari banjir yang melanda pemukiman, longsor yang meregang nyawa, hingga kekeringan yang meruntuhkan harapan.
“Berdasarkan temuan kami dari berbagai sumber yang diolah, setidaknya sepanjang tahun 2024 telah ada 362 kali bencana ekologis di Sulawesi Selatan dengan total kerugian mencapai Rp1,9 trilliun,” ungkapnya.
Selain itu, Fadli juga mengungkapkan bagaimana kondisi Kota Makassar yang sangat rentan karena dipengaruhi oleh tiga Daerah Aliran Sungai (DAS Tallo, DAS Maros,dan DAS Jeneberang) yang kritis karena tutupan hutannya hanya di Bawah 30%.
“Secara ekologi, inilah yang mempengaruhi terjadinya krisis air di Utara Kota Makassar khususnya di Kecamatan Tallo. Selain itu, temuan kami juga menemukan telah terjadi ketimpangan atas akses air bersih karena ternyata air lebih banyak dialirkan ke wilayah barat Kota Makassar ketimbang ke Utara Kota Makassar,” jelasnya.
Terakhir, Fadli menjelaskan bagaimana temuan analisis spasial WALHI Sulawesi Selatan di utara tepatnya di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, terjadi penurunan kehilangan hutan dari 8.943,90 hektar pada tahun 2019 menjadi 4.373,38 hektar per tahun pada tahun 2021.
“Namun, eksploitasi hutan di Pegunungan Tokalekaju terus meningkat, mencapai 10.194,89 hektar kehilangan hutan per tahun pada tahun 2023,” ungkapnya.
Setelah Fadli, Zulfaningsih HS lebih lanjut menjelaskan soal bagaimana ekspansi Izin Usaha Pertambangan di Rimba Terakhir Sulawesi Selatan tepatnya di sekitar Kompleks Danau Malili utamanya Danau Towuti semakin meningkat tiap tahunnya.
“Keberadaan tambang nikel di Kabupaten Luwu Timur akan membawa dampak lingkungan yang sangat besar. deforestasi di kawasan hutan hujan di sekitar Danau Towuti tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mempercepat laju sedimentasi di danau, yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistemnya. Peningkatan sedimentasi ini dapat mengganggu habitat ikan endemik, yang sudah rentan karena penyebarannya yang sangat terbatas. selain itu, limbah tambang yang tidak terkelola dengan baik berpotensi mencemari air danau, meracuni organisme yang hidup didalamnya, dan merusak sumber air bagi masyarakat setempat,” pungkasnya.
Tidak hanya kerusakan di wilayah ekosistem vital di Sulawesi Selatan, Ifa juga menjelaskan bagaimana sepanjang tahun 2024 ada banyak konflik sumber daya alam di Sulawesi Selatan.
“Beberapa konflik yang terjadi misalnya antara Petani Loeha Raya dengan PT Vale Indonesia di Kabupaten Luwu Timur, Petani Polongbangkeng dengann PTPN XIV DI Takalar, masyarakat dengan PT lonsum Bulukumba, Masyarakat adat Seko dengan Program Bank Tanah di Luwu Utara, dan Konflik petani di Kabupaten Luwu dengan PT Masmindo,” jelasnya.
Di sesi akhir, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan kemudian membacakan rekomendasi serta tuntutan rakyat dan lingkungan hidup di Sulawesi Selatan. Terkhusus untuk Gubernur Sulawesi Selatan yang baru terpilih agar:
- Mengutamakan dan memperhatikan kondisi lingkungan hidup dan wilayah kelola rakyat dalam semua perencanaan investasi dan pembangunan infrastruktur yang ada di Sulawesi Selatan.
- Mengevaluasi dan atau mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di wilayah vital atau ekosistem penting di Sulawesi Selatan.
- Merevisi dan atau meninjau ulang RTRW Terintegrasi Sulawesi Selatan No. 3 Tahun 2022 khususnya yang menyangkut soal alokasi lahan reklamasi, tambang pasir laut, dan wilayah rentan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan pertambangan.
- Mengimplementasikan model mitigasi bencana yang melampaui batas wilayah administratif dan berbasis bentang alam.
- Memulihkan, melindungi, dan memelihara wilayah resapan air, daerah aliran sungai, dan ekosistem esensial yang ada di Sulawesi Selatan.
- Mengembangkan model ekonomi yang berbasis pengetahuan lokal dan perlindungan ekologi.
- Menegakkan praktik hukum perlindungan lingkungan hidup terkhusus yang menyangkut pada tiga bentang alam (pesisir, hutan, dan karst) penting di Sulawesi Selatan.
- Meningkatkan kapasitas petani, perempuan, dan nelayan terkait dengan adaptasi perubahan iklim.
- Menegakkan dan atau mengaplikasikan pengarusutamaan gender dalam konteks pembangunan di Sulawesi Selatan.
Menutup pembacaan rekomendasi WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad al Amin menegaskan Kembali bahwa, keadilan ekologi bukan hal yang menakutkan, Melainkan mimpi kita Bersama. Inilah suara orang muda dan suara lingkungan hidup di tanah Sulawesi Selatan. Kita berharap di tahun 2025 jadi tahun yang lebih damai, inklusif, adil, dan lestari.