KabarMakassar.com — Indonesia, pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, menyatakan komitmen untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060.
Kerja sama kolaboratif menjadi kunci untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam forum yang berlangsung dua hari di Jakarta pekan ini, mengatakan bahwa Pemerintah telah mengidentifikasi 400 proyek untuk mendukung transisi energi, salah satunya pensiun dini PLTU Suralaya di Banten dan PLTU Cirebon I Cirebon, Jawa Barat.
Namun, Luhut menegaskan bahwa transisi energi harus dilakukan secara bertahap dan terukur, mengingat batu bara masih berperan penting sebagai sumber energi dasar (baseload) untuk menjaga stabilitas sistem kelistrikan nasional.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di berbagai kawasan di dunia masih belum merata.
Ia menyebut perkembangan teknologi dan investasi dalam energi terbarukan saat ini terkonsentrasi di beberapa negara utama, yaitu China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. China mendominasi aliran investasi global di bidang energi terbarukan dengan kontribusi sebesar 44 persen dari total investasi global, diikuti oleh Eropa dengan 21 persen, dan Amerika Serikat dengan 15 persen.
Sebaliknya, kawasan Amerika Latin, Afrika, dan sebagian besar negara di Asia hanya menyumbang 18 persen dari total investasi global, meskipun kawasan-kawasan ini mewakili lebih dari dua pertiga populasi dunia.
Rosan menyebut negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan dalam transisi energi, seperti infrastruktur yang belum memadai, kebutuhan investasi awal yang besar, dan terbatasnya akses pembiayaan menjadi beberapa tantangan utama.
Padahal, Pemerintah memproyeksikan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.600 gigawatt dari berbagai sumber daya, tetapi pemanfaatannya masih di bawah 1 persen.
Badan Energi Internasional (IEA) menyebut potensi energi terbarukan di Asia Tenggara sangat besar. IEA memperkirakan bahwa pada 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik di kawasan ini akan meningkat hampir tiga kali lipat, didorong oleh energi surya dan angin.
Sesuai dengan peta jalan yang telah ditetapkan pemerintah, Indonesia berkomitmen untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru dan menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada secara bertahap mulai 2050.
Meskipun saat ini baru ada beberapa proyek PLTU yang akan segera dihentikan, upaya dekarbonisasi sektor energi perlu dipercepat.
Oleh karena itu, Pemerintah maupun industri perlu lebih tanggap dan adaptif dalam menghadapi dinamika ekonomi dunia. Semua pihak, mulai dari negara maju, lembaga keuangan, hingga investor harus berkolaborasi untuk membantu negara berkembang beralih ke energi bersih melalui investasi, transfer teknologi, dan akses ke pasar global.
Senada, Deputi Koordinator Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menyatakan bahwa transisi energi adalah proses yang rumit dan membutuhkan waktu.
Oleh sebab itu, diperlukan kolaborasi global yang kuat dan investasi dari negara-negara dalam teknologi dan penelitian, pengembangan infrastruktur energi yang berkelanjutan, serta penguatan kapasitas sumber daya manusia.
“Untuk mengatasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, kita memerlukan pendekatan kolaboratif antara negara maju dan negara berkembang, tanpa mengabaikan nilai kemanusiaan. Kolaborasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan,” kata Rachmat.
Tanpa kolaborasi dan investasi dari negara-negara maju, dunia tidak akan mencapai skala perubahan yang dibutuhkan dalam mengatasi perubahan iklim.
Transisi sesungguhnya bukan sekadar peluang untuk mengurangi perubahan iklim, melainkan kesempatan untuk mengamankan energi yang terjangkau dan mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan salah satunya.
Perdagangan listrik
Salah satu kerja sama yang telah dicapai Indonesia dalam mendukung transisi energi adalah perdagangan listrik hijau dan interkoneksi listrik Indonesia dan Singapura.
Kemitraan tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara kedua pemerintahan pada acara ISF tahun lalu. Kerja sama tersebut mencakup di antaranya dukungan Singapura dalam pengembangan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia, seperti produksi panel surya dan sistem penyimpanan energi baterai (BESS).
Dalam acara ISF 2024, Singapura mengumumkan akan menambah kuota impor listrik rendah karbon dari Indonesia, dari semula 2 GW menjadi 3,4 GW. Ada lima perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan bersyarat (conditional approval) dari Energy Market Authority (EMA) Singapura untuk melakukan ekspor listrik ke Singapura. Diperkirakan proses transmisi listrik ke Singapura akan dimulai pada 2028.
Dalam acara tersebut, EMA telah memberikan persetujuan bersyarat kepada dua perusahaan lain, yakni Total Energies dan Royal Golden Eagle (RGE). Mereka telah membentuk perusahaan patungan Singa Renewables Pte Ltd (Singa) untuk mengimpor 1 GW listrik energi surya dari Indonesia ke Singapura.
Singa juga akan memasok energi surya ke kompleks industri hijau di Provinsi Riau guna mendukung capaian target bauran energi Indonesia.
Senior Vice President Renewables Total Energies, Olivier Jouny, mengatakan bahwa proyek ini merupakan bagian dari upaya menyediakan listrik bersih dan berkelanjutan, yang menggabungkan teknologi tenaga surya dan sistem penyimpanan baterai.
Global Head of Renewable Energy RGE, William Goh, menyatakan bahwa proyek ini merupakan win-win solution bagi Indonesia dan Singapura. Proyek ini diyakini dapat membantu kedua negara mengurangi emisi karbon dan mencapai target energi bersih. Selain itu, proyek ini juga akan mendorong pengembangan industri energi surya di Indonesia serta menciptakan lapangan kerja baru.
Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Kedua Perdagangan dan Industri Singapura Tan See Leng mengatakan kolaborasi antarnegara menjadi kunci untuk mencapai dekarbonisasi.
Diakui bahwa impor listrik dari negara tetangga merupakan langkah strategis bagi Singapura dalam upaya dekarbonisasi dan mencapai target netralitas karbon pada tahun 2050. Untuk mendukung transisi energi ini, Singapura telah menetapkan target peningkatan impor listrik dari 4 GW menjadi 6 GW pada 2035.
Selain itu, kerja sama perdagangan listrik antara Indonesia dan Singapura disebut akan membawa keuntungan bagi kedua negara. Selain memasok listrik ke Singapura, proyek ini diyakini dapat mendorong pertumbuhan industri energi terbarukan di Indonesia, seperti produksi baterai dan panel surya.
“Pendapatan dari ekspor listrik dapat digunakan untuk mempercepat proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia guna mempercepat dekarbonisasi Indonesia,” ucap Tan.
CEO Energy Market Authority (EMA) Singapura Puah Kok Keong menyatakan bahwa agar dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan, Singapura perlu berkolaborasi dengan negara-negara tetangga untuk mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan berskala besar, kemudian mengimpor listrik yang dihasilkan ke Singapura.
Kerja sama dengan negara lain dianggap menjadi solusi yang tepat dalam mencapai target emisi nol. Pasalnya, Singapura memiliki kondisi geografis yang tidak mendukung pengembangan energi surya, hidro, dan angin skala besar, sehingga akan sangat mengandalkan impor listrik dari negara tetangga.
Sementara itu, Luhut meyakini bahwa kemitraan Indonesia dan Singapura ini akan sangat menguntungkan bagi kedua negara. Bagi Singapura, mereka akan mendapatkan pasokan listrik bersih yang stabil dari Indonesia melalui panel surya dan baterai yang diproduksi di Indonesia.
Sebaliknya bagi Indonesia, ini akan membuat posisi Indonesia semakin kuat di pasar energi global dengan memanfaatkan potensi sumber daya alamnya, terutama silika yang melimpah untuk mengembangkan industri panel surya dalam negeri.
Keberhasilan transisi energi membutuhkan kolaborasi yang kuat antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil, serta antara negara maju dan berkembang. Kemauan kolektif dan kepemimpinan kolaboratif menjadi kunci dalam mencapai emisi nol bersih yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris.
Namun, perlu diingat juga bahwa dukungan pendanaan yang signifikan, terutama dari investasi asing langsung, menjadi prasyarat mutlak dalam transisi energi.