kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Warga Polongbangkeng Takalar Protes, Tolak Perpanjangan HGU PTPN XIV

Warga Polongbangkeng Takalar Protes, Tolak Perpanjangan HGU PTPN XIV
300 Petani dari 8 Desa/Kelurahan di Kecamatan Polongbangkeng Utara bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) melakukan aksi di Kantor Bupati Takalar dan BPN Takalar, Selasa (05/03).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Sebanyak 300 petani dari 8 desa/kelurahan di Kecamatan Polongbangkeng Utara bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) melakukan aksi protes di Kantor Bupati Takalar dan BPN Takalar, Selasa (5/3).

Pendamping hukum LBH Makassar, Melisa mengatakan, aksi ini respon atas berakhirnya Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV Takalar pada 23 Maret 2023 dan yang akan berakhir pada 09 Juli 2024.

Pemprov Sulsel

“Aksi ini merupakan upaya untuk merebut kembali tanah yang telah dirampas sejak puluhan tahun lalu. Dengan berakhirnya HGU PTPN tersebut, warga sudah sepatut memiliki hak untuk kembali mengelola tanah. Pemerintah Daerah wajib memastikan hal ini terpenuhi,” ujarnya.

Petani Perempuan Desa Lassang Barat, Daeng Ngati mengungkap perampasan tanah tersebut telah berdampak pada ketidakmampuan petani untuk mengolah sendiri lahannya, yang pada akhirnya menjadikan para petani tidak mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Tidak sedikit dari mereka dengan terpaksa menjadi buruh tani di tanahnya sendiri, buruh bangunan dan bahkan harus meninggalkan kampung untuk bermigrasi mencari pekerjaan.

“Kami dijanji oleh Pemerintah bahwa tanah kami hanya dikontrak selama 25 tahun. Setelah itu akan dikembalikan lagi kepada Masyarakat. Tapi nyatanya, sejak tanah kami diambil sampai sekarang tidak dikembalikan oleh Pemerintah dan Perusahaan. Kami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk membiayai anak sekolah juga susah karena sudah tidak ada tanah yang bisa dikelolah,” ungkapnya.

Sementara itu, perwakilan GRAMT, Ijul menjelaskan, tanah-tanah warga diambil secara paksa melalui tindakan intimidatif dengan jalan kekerasan oleh aparat keamanan pada tahun 1978 tidak segan-segan menembak warga dan memaksa warga untuk menerima ganti rugi yang tidak layak dari pemerintah.

Tidak terima tanahnya diambil, warga kemudian melakukan berbagai perlawanan hingga saat ini, untuk menolak perampasan tanahnya dan upaya untuk merebut kembali tanah tersebut.

Menurutnya, keberadaan pabrik gula di Takalar sejak awal berdirinya telah melakukan perampasan tanah di tahun 1978 dan telah berlangsung hingga saat ini di tahun 2024. Perampasan tanah tersebut telah berdampak pada penindasan dan pemiskinan struktural terhadap warga Takalar.

Pabrik gula yang telah merampas tanah warga untuk dijadikan kebun tebu dengan luas lahan HGU 6650 hektar, yang tersebar di 11 Desa di Kecamatan Polongbangkeng dan Polongbangken Utara, Kabupaten Takalar.

“Puluhan tahun setelah petani dipisahkan dari tanahnya mereka hidup dalam kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan negara yang mengabaikan hak mereka. Setelah puluhan tahun tanah warga dirampas, barulah Perusahaan memiliki legalitas konsesi HGU di tahun 1994 dan 1998. Tahun ini HGU perusahaan sudah habis, inilah momentum agar tanah petani dapat dikembalikan,” tegas Ijul.

Sehingga, kata dia, berakhirnya HGU PTPN Takalar menjadi legalitas petani untuk kembali merebut tanah untuk dikelola yang selama puluhan tahun dikuasai PTPN Takalar.

Pernyataan ini diperkuat oleh Muhammad Nur, selaku Staf Seksi Sengketa BPN, yang menegaskan bahwa hingga saat ini belum memasukkan permohonan perpanjangan HGU dan telah bersurat ke Komnas HAM perihal hal itu.

Dalam aksi yang diusung oleh Warga Polongbangkeng bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah, termuat dalam pernyataan sikap dan menuntut pemerintah dalam hal ini Bupati Takalar tidak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU kepada PTPN XIV Takalar, sebelum tanah-tanah warga dikembalikan dan meminta BPN tidak menerbitkan sertifikat perpanjangan HGU PTPN Takalar, sebelum tanah-tanah warga yang dulu dirampas dikembalikan kepada warga serta meminta anggota Kepolisian dan TNI tidak melakukan upaya intimidatif dalam bentuk apapun terhadap warga yang sedang berjuang merebut kembali hak atas tanah.