KabarMakassar.com — Tiga Profesor baru Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) dikukuhkan dalam Rapat Paripurna Senat Akademik terbatas, Jumat (20/12).
Adapun tiga profesor baru yang dikukuhkan adalah Prof.dr. Andi Dwi Bahagia Febriani, Ph.D,. SpA(K)., Guru besar Bidang Neonatologi, Fakultas Kedokteran, dengan nomor keanggotaan 539
Prof. Dr. dr. Siti Maisuri Tadjuddin Chalid, Sp.OG., SubSp.KFm., Guru Besar Bidang Fetomaternal, Fakultas Kedokteran, dengan nomor keanggotaan 540
Prof. dr. Sitti Wahyuni Muhadi, Ph.D., SpParK., Guru Besar Bidang Imunologi, Fakultas kedokteran, dengan nomor keanggotaan 541.
Rektor Unhas, Prof JJ dalam sambutannya menyampaikan selamat atas penambahan guru besar Unhas. Dimana, ini menunjukkan pencapaian serta kebanggaan peningkatan kapasitas dan kualitas mutu pembelajaran.
Tidak hanya itu, Prof JJ juga menyampaikan rasa bangga karena secara berkelanjutan Unhas secara aktif menghasilkan para guru besar berkualitas dengan berbagai disiplin ilmu masing-masing.
Dirinya menyampaikan bahwa pengukuhan ini mencerminkan pentingnya keberadaan guru besar yang mampu memberikan kontribusi strategis melalui kegiatan tridarma untuk kemaslahatan masyarakat.
“Telah kita dengarkan bersama bagaimana gagasan dan inovasi yang dihasilkan oleh para guru besar kita, yang merupakan wujud nyata dari kontribusi ilmu pengetahuan yang mendalam dan relevan dengan perkembangan zaman. Berbagai penelitian yang dihasilkan tidak hanya memperkaya ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan solusi nyata untuk tantangan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan,” jelas Prof JJ
Sebelumnya, masing-masing guru besar telah menyampaikan pidato penerimaan yang membahas bidang keahliannya.
Prof.dr. Andi Dwi Bahagia Febriani, Ph.D,. SpA(K)
Dalam kesempatan tersebut, Prof Dwi memberikan gambaran mengenai penelitian yang dilakukan tentang “Penanganan Bayi Baru Lahir Berbasis Zero Stress di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) : Upaya dan Tantangan dalam Mengoptimalkan Perkembangan otak pada 1000 hari pertama kehidupan”.
Prof Dwi menjelaskan masa neonatala adalah fase ke-2 dari 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) setelah 270 hari di dalam rahim. Seribu HPK merupakan golden period yang berkontribusi terhadap kualitas seorang manusia di masa depan. Namun, tidak semua bayi dapat melalui masa neonatal dengan sukses, sehingga adaptasi fungsi tubuhnya terganggu dan mengakibatkan kondisi medis yang mengharuskan bayi dirawat dalam waktu lama di NICU.
Bayi yang dirawat NICU berada pada masa perkembangan otak yang tercepat namun terpapar oleh stimulasi bersifat negatif yang kompleks dan multisensoris. Stimulus negatif jika disertai kurangnya stimulasi positif akan membentuk sensor yang toksik dan merusak.
Otak yang sedang berkembang memiliki plastisitas, yaitu kemampuan membuat koneksi baru jika diberikan pengalaman dari stimulasi positif. Ini dapat terwujud dengan menciptakan “zero stress” dalam setiap intervensi, termasuk jika menggunakan teknologi tinggi. Upaya ini harus dimulai dengan kemampuan mengenali sumber dan sinyal stres yang diberikan oleh bayi agar dapat dilakukan pendekatan untuk mengatasinya.
“Stresor lingkungan fisik harus diupayakan menjadi zero. Misalnya meniru lingkungan dalam rahim, yaitu mengatur pencahayaan ruangan, menggunakan alat alat medis dengan nilai kebisingan tidak lebih dari 45 dB, atau dengan memperdengarkan rekaman detak jantung ibu,” jelas Prof Dwi.
Tujuan merawat neonatus bukan hanya sekedar menyelamatkan nyawa tetapi juga meningkatkan kualitas hidupnya sebagai pemilik masa depan bangsa.
Walaupun stress bukan satu satunya penyebab gangguan perkembangan otak, namun hal mutlak yang harus diupayakan dalam setiap penggunaan teknologi tinggi dalam merawat neonatus adalah meminimalkan atau membuat stress menjadi zero.
Managemen rumah sakit sudah saatnya membuat kebijakan mendukung implementasi zero stress misalnya dengan memfasilitasi desain ruangan NICU yang sesuai, memberikan akses 24 jam bagi orangtua mendampingi anaknya.
Prof. Dr. dr. Siti Maisuri Tadjuddin Chalid, Sp.OG., SubSp.KFm
Pada kesempatan yang sama, Prof. Maisuri memberikan gambaran tentang “Fetomaternal : Menjaga dua jiwa dalam satu perjalanan”.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Maisuri menjelaskan Kedokteran fetomaternal secara ibnternal dikenal sebagai maternal-fetal medicine, sebuah cabang obstetric dan ginekologi yang berfokus pada pengasuhan dan pengelolaan kesehatan ibu dan janin.
Dalam Fetomaternal, janin dipandang sebagi pasien, konsep yang dikenal dengan fetus as a patient yang membawa perubahan mendasar cara penangana kehamilan resiko tinggi karena janin tidak dianggap lagi sebagai bagian dari ibu, tapi pasien yang berhak mendapatkan perhatian.
Lebih lanjut, Prof Maisuri menjelaskan Kedokteran Fetomaternal merupakan cabang ilmu kedokteran yang secara khusus menangani kesehatan ibu hamil dan janin selama masa kehamilan hingga persalinan.
Bidang ini berfokus pada pencegahan, diagnosis, dan pengelolaan berbagai kondisi medis yang dapat memengaruhi kehamilan, baik yang terkait dengan kesehatan ibu maupun perkembangan janin. Dengan pendekatan multidisiplin, Kedokteran Fetomaternal memberikan perhatian khusus terhadap gangguan kehamilan berisiko tinggi, seperti diabetes gestasional, hipertensi, serta kelainan genetik atau struktural pada janin.
Melalui pemanfaatan teknologi mutakhir, seperti ultrasonografi 3D/4D dan tes genetik non-invasif, Kedokteran Fetomaternal mampu mendeteksi masalah kesehatan sejak dini dan menyediakan solusi yang tepat.
Kedokteran Fetomaternal hadir sebagai penjaga perjalanan penuh resiko, memastikan bahwa ibu dan janin tidak hanya selamat, tetapi juga memiliki kehidupan dengan pondasi yang kuat dan berkualitas.
Saat ini, jumlah ibu meninggal di Indonesia sangat tinggi yakni 189 kematian per 100 ribu kelahiran hidup, angka ini masih tertinggi di Asia, dimana salah satu penyebabnya adalah preklamsia sebesar 33,7%.
“Setiap kehamilan adalah kisah tentang keberanian, harapan dan tanggungjawab. Menjafa dua jiwa dalam satu perjalanan pada hakikatnya juga menjaga masa depan,” jelas Prof Maisuri.
Prof. dr. Sitti Wahyuni Muhadi, Ph.D., SpParK
Prof Sitti memberikan penjelasan tentang “Pengaruh pada cacing pada sistem imun : Tantangan dan Peluang dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran Dan Pelayanan Kesehatan”. Dirinya menjelaskan, cacing merupakan hewan kecil yang tidak memiliki tulang belakang dengan bentuk tubuh bervariasi.
Cacing dewasa umumnya menghasilkan telur atau larva yang kemudian keluar berpindah ke inang baru. Cacing beradaptasi untuk bertahan hidup dalam tubuh manusia, mengembangkan kemampuan menghindari deteksi sistem imun bahkan memengaruhi respon imun.
Keberadaan cacing umumnya tidak bergejalah, sehingga banyak yang tidak menyadari keberadaan parasit didalam tubuh manusia. Infeksi cacing ditandai dengan respon imun tipe penolong (T helper)-2 atau Th2. Karena cacing hidup di luar sel, sistem imun menggunakan antibodi untuk menghadapinya.
“Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, infeksi cacing memiliki dampak negatif terutama anak anak. Infeksi ini dapat menyebabkan masalah serius seperti kekurangan gizi, anemia dan gangguan perkembangan otak. Namun, pada beberapa penelitian pada area endemik cacing menunjukkan bahwa menghilangkan cacing ditubuh dapat memengaruhi sistem imun yang berdampak merugikan secara klinis,” jelas Prof Sitti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian cacing secara langsung dapat membantu mengatasi berbagai penyakit yang melibatkan inflamasi. Terapi cacing juga memberikan perbaikan klinis pada pasien multille sclerosis (MS), yaitu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat.
Terapi cacing yaitu pemberian cacing hidup kepada hewan coba maupun pasien untuk membantu meregulasi sistem imun, telah menunjukkan potensi besar dalam mengelola berbagai penyakit inflamasi, alergi, dan autoimun. Namun, pendekatan ini tidak lepas dari berbagai tantangan yang harus diatasi sebelum dapat diterapkan secara luas. Salah satu tantangan utama adalah risiko infeksi yang tidak diinginkan.
Hingga kini, belum ada konsensus tentang jenis cacing yang paling efektif, serta jumlah optimal yang dapat memberikan manfaat tanpa menimbulkan efek samping. Hal ini menambah tantangan dalam mengembangkan terapi menjadi lebih aman dan efektif.