KabarMakassar.com — Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Nielma Palamba, mengharapkan kebijakan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Makassar tahun 2025 dapat dijalankan dengan baik oleh para pengusaha.
Nielma menegaskan bahwa kenaikan upah ini seharusnya tidak menjadi alasan terjadinya PHK besar-besaran atau merumahkan pekerja. Menurutnya, pengusaha di Makassar sudah memiliki strategi dan solusi untuk menyesuaikan kenaikan upah tanpa harus mengorbankan tenaga kerja.
“Kami berharap kebijakan ini bisa diimplementasikan dengan baik oleh pengusaha. Saya yakin mereka sudah memiliki trik dan cara tersendiri untuk mengatasi hal ini,” ujar Nielma.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan agar kenaikan UMK dan UMSK tidak memicu perpindahan usaha ke wilayah lain. Sebab, jika dibandingkan dengan beberapa kota di Pulau Jawa, nilai UMK di Makassar memang lebih tinggi.
“Kami harap tidak ada relokasi usaha ke daerah lain hanya karena perbedaan upah. Kita harus bisa bersama-sama mencari solusi terbaik untuk tetap menjaga iklim usaha dan kesejahteraan pekerja di Makassar,” tambahnya.
Nielma optimis bahwa komunikasi yang baik antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja dapat menciptakan keseimbangan antara kesejahteraan buruh dan keberlangsungan usaha.
Diketahui, Dewan Pengupahan Kota Makassar resmi menyepakati Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2025 sebesar Rp3.880.136,865. Keputusan ini diambil dalam rapat pleno yang digelar pada Jumat (13/12) kemarin di Kantor Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Jalan AP Pettarani.
Angka tersebut dihitung dengan menggunakan formula kenaikan 6,5 persen dari UMK Makassar tahun 2024 sebesar Rp3.643.321. Dengan demikian, terdapat kenaikan Rp236.815,865 untuk tahun depan.
“Dewan Pengupahan Kota Makassar menyetujui perhitungan UMK Makassar 2025 sebesar Rp3.880.136,865. Hasil rapat ini akan segera disampaikan kepada Wali Kota Makassar untuk kemudian diteruskan kepada Gubernur Sulsel guna disahkan,” ujar Nielma.
Selain menetapkan UMK, rapat juga membahas Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) yang sempat diwarnai perdebatan.
Pihak buruh mengusulkan kenaikan UMSK sebesar 5 persen dari UMK 2025, sementara pihak perusahaan yang diwakili oleh Apindo menyatakan keberatan.
Menurut Apindo, kenaikan UMK sebesar 6,5 persen saja sudah cukup memberatkan, apalagi jika ditambah dengan kenaikan sektor tertentu.
“Teman-teman Apindo hanya menyetujui kenaikan UMK dan memilih absen dalam pembahasan UMSK. Mereka menganggap kenaikan UMK saja sudah menjadi beban besar,” jelas Nielma.
Meski tanpa dukungan Apindo, Dewan Pengupahan akhirnya merekomendasikan kenaikan untuk dua sektor spesifik:
1. Sektor Pengolahan Makanan
UMSK sektor ini disepakati naik 1 persen dari UMK 2025, sehingga menjadi Rp3.918.938,233. Ada kenaikan sebesar Rp38.801,368 dari UMK 2025. Namun, kenaikan ini dikecualikan untuk Usaha Mikro dan Kecil.
2. Sektor Pengangkutan dan Pergudangan
Sektor ini mengalami kenaikan 1,5 persen dari UMK 2025, menjadikan UMSK sebesar Rp3.938.338,917. Angka tersebut naik Rp58.202,052 dari UMK.
“Kami tetap merekomendasikan kenaikan untuk kedua sektor tersebut, meskipun tidak mendapat tanggapan langsung dari pihak Apindo,” tegas Nielma.
Keputusan ini diambil agar penetapan UMK dan UMSK dapat sesuai dengan tenggat waktu yang diatur oleh pemerintah pusat, yaitu paling lambat 18 Desember 2024. Meski perdebatan sempat memanas, kebijakan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pekerja tanpa terlalu membebani perusahaan.