KabarMakassar.com — Sepanjang tahun 2024, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar mencatat dan mendampingi 11 kasus tanah dan lingkungan hidup yang terjadi di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Koordinator Bidang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya LBH Makassar, Hasbi Asiddiq mengatakan dalam catatan pendampingan kasus oleh YLBHI-LBH Makassar pada tahun 2024, terdapat 11 Kasus tanah dan lingkungan hidup, yang di mana beberapa diantara kasus tersebut memiliki dimensi yang luas, terstruktur dan masif.
“Dalam catatan pendampingan kasus oleh YLBHI-LBH Makassar pada tahun 2024, terdapat 11 kasus tanah dan lingkungan hidup, beberapa diantara kasus ini memiliki dimensi yang luas, terstruktur dan masif,” ungkap Hasbi Asiddiq dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun LBH Makassar yang berlangsung di Kantor LBH Makassar, Jumat (27/12).
Pihaknya menjelaskan, di wilayah Luwu Raya, Bumi Sawerigading yang menopang hutan primer di Sulsel, terbit puluhan izin usaha pertambangan yang mengancam wilayah tersebut.
Dalam pendampingan dan pemantauan LBH Makassar, total luas konsesi yang diidentifikasi mencapai 59.566 hektar yang tersebar di 3 Kabupaten dan 3 bentang alam mulai dari Latimojong, Quarles hingga Verbeek.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah terkait dengan perampasan hak atas tanah warga yang difasilitasi oleh Pemerintah pada kasus PT. Masmindo Dwi Area di Kabupaten Luwu.
Perusahaan penambang emas menduduki lahan, bahkan diduga menebang paksa tanaman cengkeh milik warga.
Perusahaan ini mengklaim memegang konsesi kontrak karya seluas 14.390 hektar, yang tersebar di 17 Desa di 3 Kecamatan di Kabupaten Luwu.
Warga kata Hasbi tidak diberikan pilihan untuk bisa mempertahankan tanahnya melalui satgas tim percepatan investasi yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Luwu, warga diminta untuk menyerahkan lahannya ke perusahaan untuk ditambang.
Selanjutnya, di Luwu Utara, perusahaan besar yang berencana menghancurkan Ekosistem Seko-Rampi yakni PT. Kalla Arebama dan PT. Citra Palu Mineral (CPM).
Kedua Perusahaan ini mencoba peruntungan menambang emas di wilayah tersebut yang di mana PT. Kalla Arebama memegang dua konsesi.
Konsesi Pertama seluas 12.010 hektar di wilayah Rampi untuk penambangan Emas.
Selanjutnya Konsesi kedua di wilayah Seko seluas 6.812 hektar untuk penambangan mineral bijih besi.
Untuk konsesi di wilayah Rampi tersebar dan mencaplok lahan pada 6 desa/ komunitas adat, yakni Leboni, Hulaku, Onondowa, Mohale, Dodolo, dan Bangko.
Untuk CPM, luas lahan yang akan ditambang mencapai 23.694 hektar yang masuk dalam kategori blok II Winehi dalam skema konsesi Kontrak Karya CPM.
Perusahaan ini terafiliasi dengan PT. Bumi Resources Minerals (BRM), yang memegang saham 96.97% yang terafiliasi dengan Grup Bakrie dan Salim.
Sementara itu, bergeser ke Kabupaten Luwu Timur, saat ini telah beroperasi PT. Citra Lampia Mandiri, perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di 2 desa yakni Desa Harapan dan Pongkerru di Kecamatan Malili dengan menguasai lahan konsesi seluas 2660 Hektar yang sebagian besarnya berada dalam kawasan hutan.
Meski telah memegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, wilayah tersebut juga telah menjadi lahan warga untuk menanam merica.
Wilayah yang akan dan telah ditambang tersebut merupakan wilayah hutan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Kedua wilayah tersebut menjadi habitat berbagai satwa endemik dan dilindungi seperti Anoa dan Rangkong (Julang Sulawesi).
Diketahui, tambang emas Masmindo berada dalam bentang lam ekosistem Latimojong yang memiliki lereng curam yang berisiko tinggi terjadi bencana longsor.
Hal ini juga telah diatur oleh Peraturan Daerah Luwu yang melarang aktivitas penggalian di lereng yang curam, namun aturan ini tumpul dan tak bisa diterapkan ke Perusahaan.
Sehingga jika aktivitas tersebut terus dilaksanakan maka akan berdampak pada bencana ekologis yang akan diderita oleh warga.
Di Takalar dan Bulukumba, berakhirnya Hak Guna Usaha Perusahaan tidak membuat mereka berhenti beroperasi.
Di Takalar PTPN memegang Konsesi HGU dan HGB seluas 6728 hektar. Sedangkan di Bulukumba PT.Lonsum memegang Konsesi seluas 5784 hektar.
Luas total konsesi perkebunan tersebut mencapai 12.512 hektar yang tersebar di 11 Desa dan 3 Kecamatan yang teridentifikasi di Polongbangkeng Takalar, 5 Kecamatan di Bulukumba.
Lahan warga yang telah dirampas oleh perusahaan sejak lama, tak kunjung diserahkan kembali kepada warga.
Format upaya hukum biasa, yang berbasis pada alat bukti tertulis tidak mampu mengungkap fakta perampasan lahan yang dialami warga sebelumnya. Tak ada juga mekanisme yang bisa ditempuh warga untuk mengakses keadilan.
“Secara umum, Sentralisasi kewenangan pasca UU Cipta Kerja menjadikan akses terhadap keadilan untuk warga ditapak menjadi sulit dan mustahil untuk dijangkau. Keberadaan institusi pemerintahan daerah sendiri terkadang tidak memiliki kewenangan atau tidak mampu untuk memahami kewenangannya sendiri sehingga cenderung birokratik dan melepas tanggung jawab atas berbagai praktik pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya,” pungkasnya