KabarMakassar.com — Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengungkapkan rencana untuk menurunkan harga tiket pesawat domestik hingga 10 persen pada Oktober ini. Langkah ini diambil guna merespons keluhan masyarakat terkait tingginya harga tiket penerbangan dalam negeri.
Menurut Sandiaga, ada tiga faktor utama yang menyebabkan harga tiket pesawat tetap tinggi. Pertama, adanya pajak ganda yang dikenakan pada tiket pesawat. Kedua, penerapan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM) dan bea impor suku cadang pesawat. Ketiga, harga bahan bakar avtur di Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga di negara-negara ASEAN lainnya.
“Penurunan harga tiket ini dapat mencapai 10 persen dengan mekanisme penyesuaian pajak dan penundaan bea impor,” ungkap Sandiaga dikutip Minggu (06/10).
Lebih lanjut, Sandiaga menjelaskan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan skema yang mencakup pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta penangguhan bea masuk. Ia berharap langkah ini akan menurunkan harga bahan bakar avtur, sehingga berdampak langsung pada biaya operasional maskapai.
Kabinet Presiden Joko Widodo, tambahnya, akan segera menyetujui kebijakan penurunan harga tiket tersebut pada Oktober 2024, dan kebijakan ini akan diterapkan oleh pemerintahan yang akan datang di bawah pimpinan Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
“Jika berhasil diwujudkan, ini bisa menjadi hadiah dari 100 hari pemerintahan Pak Prabowo,” tambah Sandiaga.
Penurunan harga tiket diharapkan dapat mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Berdasarkan data terakhir pada Agustus 2024, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tercatat sebanyak 9 juta dari target 14 juta. Sementara itu, jumlah kunjungan wisatawan domestik mencapai 700 juta dari target 1 miliar.
Sandiaga optimistis target kunjungan tersebut bisa tercapai hingga akhir Desember, namun ia juga mencatat bahwa harga tiket pesawat merupakan salah satu hambatan utama.
“Tiket pesawat menjadi kendala, dan ternyata ada peningkatan biaya hidup,” ujarnya.
Ia juga menyinggung dampak ekonomi lainnya, yaitu tren deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia. Menurutnya, situasi ini perlu diwaspadai, karena meskipun kunjungan wisatawan mengalami peningkatan, penurunan daya beli masyarakat bisa berdampak negatif pada sektor pariwisata.
Magelang, lanjutnya, adalah contoh daerah dengan potensi besar di sektor pariwisata, terutama dalam hal wisata religi, budaya, dan kuliner. Sandiaga menegaskan bahwa pemerintah daerah harus memastikan bahwa deflasi bukan akibat dari melemahnya daya beli masyarakat, tetapi karena keberhasilan dalam mengendalikan inflasi.
“Kita harus pastikan bahwa deflasi ini merupakan hasil dari pengendalian inflasi yang baik, bukan akibat menurunnya daya beli masyarakat,” tutup Sandiaga, sambil mendorong pemerintah daerah untuk terus menjaga stabilitas ekonomi di wilayah masing-masing.
Diketahui, Pemerintah tengah merencanakan penurunan harga tiket pesawat, merespons berbagai keluhan yang datang dari para pelancong. Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, turut memberikan pandangannya terkait rencana ini.
Rencana penurunan harga tiket pesawat diperkirakan akan mulai diterapkan pada Oktober 2024. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, sebelumnya telah menargetkan penurunan harga tiket hingga 10 persen pada Juli 2024.
Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Fokus utama Satgas adalah menangani isu tingginya harga tiket pesawat.
Menurut Hariyadi, salah satu faktor utama yang mempengaruhi harga tiket adalah biaya bahan bakar pesawat, terutama harga avtur.
“Harga avtur, biaya pengaturan darat, dan biaya leasing pesawat merupakan komponen terbesar dari struktur biaya penerbangan,” ungkapnya.
Selain harga bahan bakar, kompetisi maskapai penerbangan lokal juga dinilai kurang kompetitif. Saat ini, pasar penerbangan domestik masih didominasi oleh satu maskapai yang menguasai lebih dari 70 persen jalur penerbangan.
“Jika kompetisi lebih terbuka dan regulasi diperbaiki, harga tiket bisa lebih bersaing,” tambah Hariyadi.
Namun, Hariyadi masih meragukan apakah penurunan harga tiket pesawat bisa segera terwujud. Menurutnya, banyak faktor yang masih perlu dikendalikan agar harga tiket bisa turun signifikan.
“Bisa saja harga turun 10 persen, tapi itu tergantung apakah elemen-elemen yang memberatkan seperti biaya impor suku cadang dan avtur dapat diatasi,” jelasnya.
Ia juga menyinggung soal dampak dari peraturan Menteri Perdagangan terkait bea masuk suku cadang pesawat yang juga turut membebani maskapai.
“Sparepart adalah salah satu komponen impor penting, dan itu masih menjadi faktor yang memberatkan,” ujar Hariyadi.
Selain itu, harga avtur yang masih relatif tinggi juga menjadi hambatan.
“Kalau harga avtur tetap tidak kompetitif, biaya bahan bakar bisa mencapai 40 persen dari total biaya operasional maskapai,” ungkapnya.
Hariyadi pun menekankan bahwa masih perlu menunggu perkembangan lebih lanjut terkait kebijakan ini, terutama mengingat waktu pemerintahan saat ini yang hanya berjalan hingga pertengahan Oktober.
“Kita tunggu saja bagaimana kebijakan ini akan berjalan ke depannya, mengingat waktu yang tersisa bagi pemerintahan sekarang tinggal beberapa hari,” tutupnya.