KabarMakassar.com — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menandatangani Instrumen Multilateral Subject to Tax Rule (MLI STTR) bersama Sekretaris Jenderal OECD. STTR merupakan aturan penting yang mengatur perpajakan atas pembayaran intragrup, termasuk bunga, royalti, dan layanan tertentu lainnya, yang kerap digunakan dalam transaksi lintas negara.
“Penandatanganan ini adalah langkah penting yang menunjukkan komitmen Indonesia dalam mendukung kerja sama internasional di bidang perpajakan,” kata Sri Mulyani yang hadir secara daring dalam acara tersebut, dikutip Selasa (24/09).
Ia menegaskan bahwa perjanjian ini juga menjadi prioritas bagi banyak negara berkembang dalam menghadapi tantangan global terkait penggerusan basis pajak dan pengalihan laba.
STTR menetapkan bahwa pembayaran intragrup dikenakan pajak minimal 9% di negara penerima. Apabila tarif pajak di negara penerima lebih rendah dari 9%, maka negara sumber pembayaran, dalam hal ini Indonesia, dapat menerapkan pajak tambahan.
“Aturan ini akan berlaku setelah tahun pajak berakhir dan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi,” jelasnya.
Sri Mulyani menambahkan bahwa penerapan STTR di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari pajak, terutama dari pembayaran yang dikenai tarif pajak di bawah 9% di negara tujuan.
“Dengan adanya STTR, kita bisa mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional melalui skema pembayaran yang agresif,” ujarnya.
Selain itu, STTR akan memperkuat ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang sudah ada.
“STTR akan memungkinkan perubahan dalam P3B tanpa perlu melalui negosiasi bilateral yang biasanya membutuhkan waktu lama,” kata Sri Mulyani.
Namun, untuk dapat diimplementasikan secara efektif di Indonesia, STTR masih harus diratifikasi melalui penerbitan Peraturan Presiden.
“Setelah diratifikasi, perjanjian ini akan menjadi salah satu instrumen penting untuk melindungi basis pajak nasional kita,” pungkasnya.
Penandatanganan ini merupakan bagian dari upaya global lebih dari 140 negara yang tergabung dalam OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk mengatasi penggerusan basis pajak dan pengalihan laba.
Selain itu, guna memperbaiki struktur perpajakan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59 Tahun 2024 (PMK 59/2024) yang mempermudah pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi Perwakilan Negara Asing, Badan Internasional, serta para pejabatnya. PMK tersebut ditandatangani pada 2 September 2024 dan akan mulai berlaku efektif pada 1 Oktober 2024.
Dikutip dari ketarangan resmi di hari yang sama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, pembebasan pajak ini kini dapat diperoleh melalui mekanisme elektronik, menggantikan sistem manual yang sebelumnya diterapkan.
“PMK ini adalah bentuk penyesuaian fasilitas perpajakan di bidang PPN yang selaras dengan prinsip ‘trust but verify’,” ujarnya
Dwi juga menegaskan bahwa penerbitan PMK 59/2024 merupakan bagian dari langkah pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pemberian fasilitas pajak.
“Dengan digitalisasi mekanisme ini, kami harap proses pengajuan pembebasan PPN dan PPnBM akan lebih mudah dan efisien, serta mendukung transparansi yang lebih baik,” tambahnya.
Menurut aturan ini, Perwakilan Negara Asing, Badan Internasional, serta pejabatnya yang ingin memanfaatkan pembebasan PPN dan PPnBM harus memiliki nomor identitas perpajakan.
“Mereka harus terlebih dahulu memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mendapatkan pembebasan pajak tersebut,” jelas Dwi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat pembebasan PPN dan PPnBM bagi Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional diatur secara rinci dalam PMK 59/2024.