KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa organisasi pekerja terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
MK menetapkan batas waktu untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi maksimal lima tahun, termasuk perpanjangan. Selain itu, MK juga mengembalikan aturan Upah Minimum Sektoral (UMS) yang sebelumnya dihapuskan oleh UU Ciptaker.
Putusan tersebut dihasilkan dalam sidang perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 yang digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (31/10).
Dalam sidang ini, Partai Buruh, diwakili oleh Agus Supriyadi dan Ferry Nuzarli, bersama perwakilan serikat pekerja lainnya, menggugat sejumlah pasal dalam UU Ciptaker.
Mereka menganggap ketidakjelasan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam pasal yang ada merugikan pekerja karena tidak memberikan kepastian waktu kerja.
MK kemudian menyatakan bahwa jangka waktu PKWT tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan, sesuai dengan amar putusan yang dikeluarkan. Berikut kutipan dari putusan MK mengenai PKWT:
MK menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja, terkait dengan jangka waktu penyelesaian pekerjaan, dianggap bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai sebagai pekerjaan yang selesai dalam jangka waktu maksimal lima tahun.
MK juga menegaskan bahwa PKWT harus disusun dalam bentuk tertulis menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU Ciptaker.
Di samping itu, MK juga mengembalikan aturan upah minimum sektoral (UMS) yang sebelumnya dihapuskan oleh UU Ciptaker. Dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa gubernur wajib menetapkan UMS di tingkat provinsi dan, jika diperlukan, di tingkat kabupaten/kota.
Putusan ini merupakan tanggapan atas gugatan serikat pekerja yang menilai penghapusan UMS menghilangkan perlindungan yang memadai bagi pekerja di sektor tertentu.
Serikat pekerja berpendapat bahwa pekerja di berbagai sektor industri menghadapi tantangan dan risiko yang beragam sehingga membutuhkan upah yang sesuai.
MK menyetujui argumen tersebut, menyatakan bahwa penghapusan UMS bertentangan dengan prinsip perlindungan hak pekerja, terutama hak atas upah dan kondisi kerja yang adil.
“Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak pekerja yang merupakan hak asasi manusia, termasuk hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan yang adil dan layak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” demikian bunyi pertimbangan putusan MK.
MK juga menginstruksikan agar peraturan mengenai pengupahan harus mempertimbangkan kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, meliputi makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Selain itu, peran dewan pengupahan yang melibatkan pemerintah daerah dikembalikan untuk mendukung pemerintah pusat dalam menetapkan kebijakan pengupahan yang lebih adil dan inklusif bagi pekerja di seluruh Indonesia.