KabarMakassar.com — Salat kafarat merupakan salat yang dimaksudkan untuk mengganti salat fardhu yang telah ditinggalkan atau tidak sah sebelumnya. Biasanya salat kafarat dilakukan setelah salat jumat atau lebih tepatnya pada salat jumat terakhir di bulan ramadan.
Seperti biasanya, salat kafarat adalah hal yang selalu diperbincangkan mengenai salat kafarat atau juga dikenal salat al-bara’ah.
Bahkan tidak jarang ada yang meyakini bahwa tradisi salat kafarat pada jumat terakhir di bulan ramadan bisa menggantikan salat yang ditinggalkan semasa hidup, hingga sampi 70 tahun.
Melansir dari laman NU Online, beberapa ulama berpandangan:
Ulama yang mengharamkan di antaranya karena:
1. Para ulama berpandangan bahwa salat kafarat pada jumat terakhir di bulan ramadan tidak ada tuntunan yang jelas dari hadits Nabi Muhammad SAW atau kitab-kitab hukum islam. Dengan demikian, kebolehan melaksanakan salat kafarat tergolong sebagai upaya mensyariatkan ibadah yang tidak disyariatkan atau melakukan ibadah yang rusak.
2. Pengkhususan waktu pelaksanaan salat kafarat pada jumat terakhir di bulan ramadan tidak memiliki dasar yang jelas di dalam syariat.
3. Ada keterangan sharih dari pakar fikih otoritaruf dari ulama mazhab Syafi’i.
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj berpandangan bahwa salat kafarat pada Jumat akhir ramadan adalah haram, bahkan kufur.
“Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa shalat 5 waktu di jumat ini (jumat akhir ramadan) selepas menjalankan salat jumat, mereka meyakini salat tersebut dapat melebur dosa salat-salat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar,” demikian pandangan Ibnu Hajar Al-Haitami.
Pandangan tersebut direspons oleh Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah dengan menyebut bahwa shalat kafarat menyalahi seluruh mazhab.
4. Hadits tentang salat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.
Ulama yang memperbolehkan diantaranya karena:
1. Bertendensi pada pendapat Al-Qadli Husain yang mengqadha salat fardhu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat itu ditulis oleh Syekh Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal.
“Al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha salat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah salat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam salat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai salat sunah. Saya mendengar bahwa sebagian ashab-nya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh salat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faedah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.”
Sementara itu, Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi salat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf mengatakan bahwa keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah.
1. Para ulama berpandangan dengan pertimbangan bahwa tidak ada orang yang meyakini keabsahan salat yang baru saja ia kerjakan, terlebih salat yang dulu-dulu.
2. Larangan salat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran salat tersebut cukup untuk mengganti salat yang ditinggalkan selama setahun, tetapi para ulama berpandangan saat kekhawatiran itu hilang maka hukum haram hilang.
3. Mengikuti amaliyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya.
Demikian penjelasan terkait hukum salat kafarat pada jumat terakhir di bulan ramadan, sebagaimana yang dikutip dari laman NU Online.