KabarMakassar.com — Kebijakan terbaru Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk penghapusan utang sebesar Rp10 triliun bagi 1 juta pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi sorotan publik.
Langkah ini dianggap sebagai upaya strategis untuk meringankan beban keuangan UMKM yang terdampak kondisi ekonomi tidak menentu belakangan ini.
Namun, di balik kebijakan mulia tersebut, terdapat sejumlah tantangan dan potensi risiko yang perlu diwaspadai, sebagaimana diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Marsuki DEA.
Prof. Marsuki menyambut baik kebijakan penghapusan utang ini sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap pelaku UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
“Kebijakan ini dapat memberikan napas baru bagi UMKM yang sedang terpuruk, sehingga mereka bisa kembali pulih dan berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Dengan adanya penghapusan utang, UMKM diharapkan dapat lebih mudah mengakses permodalan baru, meningkatkan produktivitas, dan memutar roda bisnis mereka.
Namun, Prof. Marsuki menekankan pentingnya pengawasan ketat agar kebijakan ini benar-benar tepat sasaran. Ia mengingatkan adanya potensi penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
“Risiko terbesar dari kebijakan ini adalah munculnya oknum-oknum yang berusaha memanfaatkan celah untuk mendapatkan keuntungan pribadi, padahal mereka tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti kemungkinan munculnya moral hazard di kalangan pelaku usaha. Menurutnya, penghapusan utang secara besar-besaran dapat mendorong perilaku tidak bertanggung jawab di masa depan.
“Banyak yang bisa berpikir bahwa mereka tidak perlu membayar kewajiban finansial mereka karena berharap pemerintah akan kembali menghapus utang di kemudian hari,” tambah Prof. Marsuki.
Untuk itu, Prof. Marsuki menekankan pentingnya penerapan syarat yang lebih ketat agar kebijakan ini tidak disalahgunakan.
Saat ini, pemerintah telah menetapkan tiga syarat utama bagi UMKM yang utangnya akan dihapus, yakni utang dengan plafon di bawah Rp500 juta, terdampak bencana, dan fokus pada sektor-sektor seperti pertanian serta perikanan. Meski begitu, menurutnya, diperlukan syarat tambahan agar kebijakan ini bisa benar-benar adil dan efektif.
Prof. Marsuki menyarankan agar utang yang dihapuskan hanya mencakup pinjaman yang macet lebih dari lima tahun. Dengan demikian, kebijakan ini betul-betul ditujukan untuk membantu UMKM yang telah menghadapi kesulitan jangka panjang, bukan sekadar yang baru mengalami gagal bayar.
Selain itu, pelaku usaha yang ingin mendapatkan keringanan harus sudah melakukan upaya restrukturisasi kredit namun tetap kesulitan untuk bangkit, serta mampu memberikan bukti pendukung yang sah.
Ia juga menekankan pentingnya memperhitungkan faktor lokasi usaha yang sulit dijangkau oleh fasilitas penunjang, serta kepatuhan mereka terhadap kewajiban fiskal atau perpajakan.
“Aspek-aspek ini penting untuk memastikan kebijakan tidak hanya memberikan bantuan bagi yang membutuhkan, tetapi juga tidak merugikan sektor perbankan yang harus menanggung beban penghapusan utang tersebut,” kata Prof. Marsuki.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, pemerintah optimistis bahwa kebijakan penghapusan utang ini akan membawa dampak positif yang signifikan bagi pemulihan UMKM, terutama di sektor-sektor yang paling terdampak oleh berbagai krisis belakangan ini.
Dengan pengawasan yang ketat dan penerapan syarat yang jelas, diharapkan kebijakan ini bisa menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya menyelamatkan UMKM dari jeratan utang, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
“Harapannya, kebijakan ini tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi mampu mendorong pelaku UMKM untuk lebih berdaya saing di masa depan. Namun, pengawasan ketat dan kebijakan yang terukur sangat diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan,” tutup Prof. Marsuki.