KabarMakassar.com — Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Selatan dan Barat, Darwisman, mengungkapkan bahwa hingga saat ini 50% pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Sulawesi Selatan belum tersentuh fasilitas kredit formal.
Salah satu penyebab utama adalah ketergantungan yang tinggi terhadap pembiayaan nonformal yang dianggap lebih mudah dan cepat, meskipun sering kali disertai risiko besar.
“Masyarakat, khususnya pelaku UMKM, masih lebih nyaman menggunakan pembiayaan nonformal, meski sebenarnya kurang menguntungkan. Banyak dari mereka telah terjebak pola pembiayaan ini selama bertahun-tahun, sehingga membutuhkan upaya untuk menggeser pemahaman mereka ke arah pembiayaan formal,” ujar Darwisman.
Darwisman menjelaskan, salah satu contoh nyata dari ketergantungan ini terlihat pada sektor nelayan. Mayoritas pembiayaan untuk aktivitas mereka berasal dari tengkulak, yang kemudian menentukan harga hasil tangkapan tanpa transparansi, mengakibatkan nelayan tidak mengetahui harga pasar sebenarnya.
“Jika kita melihat ke lapangan, pembiayaan nelayan rata-rata datang dari tengkulak. Kondisi ini membuat mereka terikat pada sistem yang tidak memberi manfaat optimal. Perlu literasi dan edukasi untuk menggeser pola pikir ini ke arah pembiayaan formal,” jelasnya.
Selain bergantung pada pembiayaan nonformal, Darwisman juga menyebutkan adanya kendala lain dalam akses kredit formal.
Beberapa pelaku UMKM yang mengajukan kredit formal mengalami penolakan karena masalah pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), seperti adanya tunggakan kredit sebelumnya yang belum terselesaikan.
“Kadang masyarakat tidak menyadari bahwa mereka memiliki riwayat kredit buruk, mungkin karena pinjaman lama yang tercatat di SLIK. Inilah yang perlu diedukasi lebih lanjut agar mereka paham pentingnya menjaga reputasi kredit,” tambahnya.
Untuk mengatasi masalah ini, OJK akan mendorong beberapa langkah strategis, antara lain:
- Edukasi Literasi Keuangan: Sosialisasi kepada masyarakat, khususnya UMKM, tentang manfaat pembiayaan formal, termasuk keamanan dan transparansi yang ditawarkan.
- Akses Data Kredit: Mengimbau masyarakat untuk rutin memeriksa riwayat kredit mereka di SLIK, sehingga jika ada masalah dapat diselesaikan terlebih dahulu.
- Kolaborasi dengan Lembaga Keuangan: Berkoordinasi dengan perbankan untuk menciptakan produk kredit yang lebih inklusif bagi UMKM.
“Jika 50% UMKM ini dapat diakses kredit formal, potensi peningkatan produksi dan kontribusi terhadap perekonomian daerah akan sangat signifikan,” tegas Darwisman.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar), Darwisman, mengungkapkan bahwa akses pembiayaan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Sulawesi Selatan masih menghadapi tantangan besar.
Data hingga September 2024 menunjukkan bahwa dari total penyaluran kredit sebesar Rp160 triliun oleh bank umum, hanya 38,5 persen yang dialokasikan untuk UMKM.
“Ini artinya lebih dari separuh kredit, yaitu sekitar 58 persen, masih disalurkan ke sektor non-UMKM. Padahal, idealnya kredit UMKM harus mampu menjangkau setidaknya 76 persen dari total pelaku usaha di Sulsel agar pengembangan ekonomi lebih merata,” ujar Darwisman, Kamis (21/11).
Menurut catatan OJK, jumlah pelaku UMKM di Sulawesi Selatan mencapai 1,8 juta unit usaha. Namun, hingga saat ini baru 912.248 rekening UMKM yang terakses pembiayaan melalui perbankan. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen pelaku UMKM masih belum mendapatkan akses kredit formal.
Darwisman mengkhawatirkan kondisi ini dapat mendorong para pelaku UMKM mencari sumber pembiayaan dari layanan ilegal, seperti rentenir atau pinjaman online tidak resmi (pinjol).
“Kami yakin pelaku UMKM tetap memanfaatkan pinjaman untuk menjalankan usahanya. Namun, masalahnya adalah apakah pinjaman tersebut berasal dari sumber legal atau justru dari layanan tidak resmi. Ini menjadi perhatian besar karena dapat menimbulkan risiko bagi pelaku usaha,” jelasnya.
Meski menghadapi tantangan, penyaluran kredit UMKM di Sulsel menunjukkan pertumbuhan positif. Hingga Oktober 2024, kredit UMKM tumbuh sebesar 5,41 persen dengan pangsa pasar mencapai 38,53 persen dari total kredit yang disalurkan.
Darwisman mencatat bahwa dari total kredit UMKM, sebanyak 56 persen atau sekitar Rp3,4 triliun dialokasikan untuk usaha mikro. Sementara, usaha kecil mendapat alokasi 28,4 persen atau Rp17,5 triliun, dan usaha menengah sebesar 15,5 persen atau Rp9,5 triliun.
Namun, Darwisman menegaskan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah memastikan seluruh pelaku UMKM dapat terakses pembiayaan formal agar mereka dapat mengembangkan usahanya dengan lebih optimal.
“Kami ingin memastikan pelaku UMKM yang belum terakses perbankan bisa mendapatkan pembiayaan dari sumber yang sah dan terjamin. Ini penting untuk mendorong produktivitas dan keberlanjutan usaha mereka,” ungkapnya.
Darwisman juga menjelaskan bahwa pihaknya terus berupaya meningkatkan sinergi dengan perbankan untuk memperluas jangkauan pembiayaan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah mendorong realisasi kredit usaha rakyat (KUR) agar lebih banyak UMKM dapat terfasilitasi.
“Kami akan terus bekerja sama dengan pihak terkait untuk meningkatkan edukasi kepada pelaku UMKM. Mereka perlu memahami bahwa pembiayaan resmi tidak hanya memberikan akses modal, tetapi juga jaminan perlindungan usaha yang lebih baik,” tambahnya.
Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui menyebut peningkatan literasi dan inklusi keuangan menjadi salah satu solusi yang harus dilakukan guna menyentuh 50% pelaku UMKM yang belum tersentuh kredit.
Menurutnya, perbankan dan OJK harus menjelaskan kepada pelaku UMKM bagaimana pentingnya kredit dalam pengembangan usaha.
“Ini bisa jadi karena kurangnya sosialisasi, atau nasabah dalam hal ini Pelaku UMKM tidak mengetahui apa yang harus dilakukan jika ke Bank,” katanya.
Di sisi lain, Sutardjo menyebut belum tersentuhnya 50% pelaku UMKM bisa juga terjadi karena persyaratan peminjaman yang membuatnya tak bisa mendapatkan kredit.
Hal ini biasanya berkaitan dengan administrasi atau persyaratan yang diberikan perbankan yang sulit atau tidak bisa dipenuhi oleh pelaku UMKM.
Perbankan harus aktif melakukan edukasi serta perdampingan baik secara langsung maupun organisadi pengusaha seperti Kadin atau Apindo.
“Jangan sampai banyak yang tertolak, ada yang mengajukan tapi tidak diterima, inikan hitungannya memang tidak tersentuh,” terangnya.
Biasanya, lanjut Sutardjo, perbankan melihat kemampuan modal kembali dari pelaku UMKM dan ini dilihat dari neraca laba, hal ini biasanya tak bisa dipenuhi oleh UMKM sehingga bisa saja pengajuan kredit ditolak oleh perbankan.
“UMKM biasa sulit dalam membuat itu, seharusnya Perbankan jika ada yang melakukan pemohonan diajarkan apa yang kurang apa bagaimana solusinya, jangan langsung ditolak tetapi beri edukasi” tandasnya.