KabarMakassar.com — Sejak tahun 2019, festival literasi Makassar International Writers Festival (MIWF) telah berkomitmen menjadi ajang yang menerapkan prinsip zero waste. Ide ini lahir dari mendiang Lily Yulianti Farid, founder MIWF, setelah melihat padatnya pengunjung yang datang pada setiap edisi.
“MIWF menjadi festival yang berkomitmen memilah sampahnya sejak 2019. Ini berawal dari keresahan founder, Kak Lilyanti Farid, yang melihat banyaknya sampah plastik yang dihasilkan pengunjung di MIWF tahun 2018,” ujar Koordinator Divisi Nirsampah dan Rendah Karbon MIWF, Pamula Mita Andary.
Zero waste sendiri bukan berarti MIWF sama sekali tidak menghasilkan sampah, tetapi berupaya agar sampah yang dihasilkan tidak sepenuhnya terbuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah yang ada diolah menjadi sesuatu berdasarkan jenis-jenisnya. Dalam pelaksanaannya, MIWF menyediakan empat jenis tempat sampah berdasarkan kelompoknya yakni sampah organik (sisa makanan), plastik, kertas, dan puntung rokok.
Meskipun tempat sampah yang disediakan terbatas pada empat kategori, proses pemilahan sampah di tahap lanjutan lebih kompleks. Misalnya, sampah dari berbagai tenant seperti botol sirup dan kaleng disortir dalam kategori yang lebih rinci. Tapi, karena lokasi venue tahun ini bersifat terbuka untuk umum, sulit untuk mengidentifikasi bahwa semua sampah plastik berasal dari MIWF.
“Cara memilahnya seperti yang kita tahu kertas sama kertas, kaleng sama kaleng. Tetapi kalau plastik minim sekali. Benteng Fort Rotterdam ini terbuka untuk umum, jadi kita tidak bisa menjudge bahwa sampah plastik ini punyanya MIWF karena areanya publik dan siapapun bisa akses,” ungkap Mita.
Komitmen MIWF tidak hanya berhenti di zero waste, tetapi juga menjadi festival yang menerapkan prinsip rendah karbon. Jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari sampah, mobil operasional MIWF, penggunaan listrik, penerbangan, dan Zoom meeting akan dihitung dan akan “dibayar” kembali dengan melakukan carbon offset. Carbon offset adalah mekanisme yang digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan mengkompensasi emisi yang dihasilkan di satu tempat dengan mengurangi emisi di tempat lain. Salah satu caranya yakni dengan penanaman pohon.
“Kak Lily Yulianti Farid juga merasa bahwa penting untuk menghitung emisi sebuah festival yang diadakan secara tahunan. Sampai akhirnya di tahun 2022, dinaikkan komitmennya yang awalnya hanya memilah sampah menjadi pengurangan penggunaan plastik sekali di venue penyelenggaraan MIWF,” jelas Mita.
“Selain memilah akan ditimbang dan dicatat angka yang didapat dari catatan itu dan akan dimasukkan ke dalam rumus dan hasil penghitungan yang keluar adalah berapa emisi yang dihasilkan dari acara ini,” imbuhnya.
Tahun ini, jumlah karbon yang dihitung meningkat hampir sebanyak tiga kali lipat dibanding tahun lalu. Emisi total dari pre-event hingga post-event mencapai 17.171,93 kg CO2, dengan total carbon offset yaitu 335 pohon mangrove. Selain itu, total puntung rokok yang dikumpulkan dalam festival ini mencapai 4.636 batang.
Kerja sama dengan pemerintah dan juga startup juga menjadi bagian penting dari upaya tersebut. Tahun ini, MIWF bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Bank Sampah Kota Makassar untuk mengelola sampah kertas menjadi rak telur sedangkan untuk sampah plastik UPTD Bank Sampah kota Makassar akan mengirimnya ke Jawa untuk pengelolaan lebih lanjut kepada vendor yang membutuhkan. Adapun pemrosesan sisa makanan melibatkan Urban Agrofarm, startup asal Makassar yang memiliki concern pada sampah organik, sampah makanan festival akan diurai oleh maggot (belatung). Maggot sendiri dapat dijadikan sebagai pakan ayam, ikan hias, dan hewan peliharaan lainnya.
Mita menambahkan, “MIWF memilah sampah menjadi tiga jenis utama: organik, plastik, dan kertas. Kami menyediakan tempat sampah khusus untuk masing-masing jenis ini di berbagai titik kegiatan.” Tapi, ia juga mengakui bahwa tidak semua sampah dapat diolah dan beberapa jenis sampah residu masih harus dibuang di TPA.
“Dan untuk sampah sisa makanan tahun ini kita kerja sama dengan Urban Agrofarm. Mereka memiliki peternakan dan juga ada melakukan budidaya maggot. Nanti maggot-nya akan jadi pakan ternak. Caranya yakni sampah organik khususnya sisa makanan yang dihasilkan selama MIWF menjadi makanan maggot,” ungkap Mita.
Selain Divisi Nirsampah dan Rendah Karbon, serta ratusan relawan MIWF, peran pengunjung sangat penting untuk kesuksesan komitmen ini. Kesadaran kolektif akan kebutuhan lingkungan yang aman perlu dimiliki bersama.
MIWF turut melibatkan komunitas lokal dan pihak lain dalam kegiatan pemilahan sampah dan upaya rendah karbon. Di sisi lain, kehadiran Divisi Nirsampah dan Rendah Karbon untuk mewujudkan prinsip zero waste dan low carbon memang menjadi bagian yang tak kalah krusialnya dalam helatan literasi tahunan tersebut. “Kami berharap komitmen ini dilihat sebagai bagian penting dari festival, setara dengan diskusi dan workshop yang diadakan di MIWF,” harapnya.
Pada akhirnya, MIWF berupaya menciptakan cara pandang yang tidak antroposentris, tetapi yang melihat posisi lingkungan dan manusia setara. Dengan demikian, festival ini tidak hanya merayakan karya sastra, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan. “Kami ingin mengajak semua yang terlibat untuk memahami pentingnya komitmen ini dan menerapkannya, meskipun hanya untuk empat hari,” tukas Mita.