KabarMakassar.com — Eka Kurniawan, seorang penulis yang karya-karya novelnya banyak mendunia pasti tidak asing lagi bagi para pembaca dan pecinta sastra. Berbagai karyanya mulai dari cerpen hingga novel menjadi best seller di pasaran.
Eka Kurniawan lahir pada 28 November 1975 di Tasikmalaya. Ia menamatkan pendidikan tinggi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Skripsinya dengan judul “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis” diterbitkan sebanyak tiga kali oleh Yayasan Aksara Indonesia pada 1999; Penerbit Jendela pada 2002; dan Gramedia Pustaka Utama pada 2006 dan menjadi karya pertama non-fiksi yang diterbitkan
Perjalanan karir Eka Kurniawan cukup menarik dan panjang. Dimulai dari karyanya yang ditolak penerbit, hingga diterbitkan dalam berbagai bahasa dan dijadikan film yang meraih banyak penghargaan.
Eka banyak dijuluki sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer. Nama Eka Kurniawan melejit setelah buku “Cantik Itu Luka” meledak di pasaran.
Menariknya, sebelum benar-benar terbit, “Cantik Itu Luka” justru sempat terkendala dengan penolakan dari beberapa penerbit dalam negeri. Buku itu diterbitkan pada tahun 2002 oleh Penerbit Jendela di Yogyakarta.
“Cantik Itu Luka” pun diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka pada tahun 2004, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Okta dan diterbitkan Shinpusha pada 2006.
Eka mendapatkan kartu emas begitu buku itu dilirik oleh penerbit asal Amerika, New Directions Publishing, dan diterbitkan di pasar Amerika dengan judul “Beauty Is a Wound” pada tahun 2015.
Dalam prosesnya, Eka sendiri sempat merasa ragu untuk menerbitkan karyanya di luar negeri, mengingat satu-satunya penulis Indonesia yang karyanya dialihbahasakan dan diterbitkan di luar negeri hanya Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang juga menjadi inspirasinya dalam menulis.
Keputusannya untuk menerbitkan “Cantik Itu Luka” di pasar luar negeri ternyata semakin membuat namanya meroket dan mengantarkannya ke beragam penghargaan.
Novel “Cantik Itu Luka” bukan satu-satunya buku yang dialihbahasakan dan terbit di luar negeri.
Karya Eka yang berjudul “Lelaki Harimau” pun diterbitkan di pasar luar negeri oleh Verso Book pada tahun yang sama.
“Man Tiger” bahkan masuk dalam nominasi penghargaan The Man Booker International Prize 2016.
Karya lain Eka yang tak kalah melejit adalah kumpulan cerpen “Gelak Sedih” dan “Cinta Tak Ada Mati.” Beberapa cerita pendeknya bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia.
Pada tahun 2014, Eka menerbitkan novel baru dengan judul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas,” 2 tahun berselang ia kembali menerbitkan novel baru dengan judul “O” pada 2016.
Eka membagikan kabar mengenai buku barunya yang terbit, berjudul “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” di tahun 2024 ini dan menggelar Book Tour di sejumlah kota di Indonesia.
Eka Kurniawan berhasil meraih beberapa penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Pada 2015 Eka dipilih sebagai salah satu Foreign Policy’s Global Thinkers of 2015. Lalu di tahun berikutnya, Eka berhasil mendapatkan World Reader’s Award 2016 untuk buku “Cantik Itu Luka” atau “Beauty Is a Wound”, dan Financial Times/Oppenheimer Funds Emerging Voices 2016 Fiction Award untuk buku “Man Tiger”.
Jajaran penghargaan yang diraihnya pun tidak berhenti sampai di situ, pada 2018 Eka berhasil meraih penghargaan Prince Claus Awards 2018 di Belanda dengan kategori Sastra/Literatur.
Penghargaan ini diberikan kepada individu, kelompok, atau organisasi yang karya-karyanya mampu memberikan dampak positif terhadap pengembangan masyarakat di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Karibia.
Kemampuan Eka dalam menulis dan menarasikan kisah imajinatif melalui prosa mengantarkannya pada penghargaan tersebut. Eka dianggap mampu memberikan perlawanan terhadap politik yang sewenang-wenang.
Selain itu, Eka juga dianggap mengangkat kembali kebudayaan di Indonesia. Eka juga berhasil menarik perhatian dunia dengan menyampaikan sejarah alternatif Indonesia.
Eka juga berhasil menyabet penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal yang menarik perhatian publik adalah Eka menolak penghargaan tersebut. Alasan mengapa ia menolak penghargaan tersebut karena menurutnya negara tidak terlalu peduli terhadap kebudayaan di Indonesia dan kesejahteraan para pekerja seni dan kebudayaan.
Tak hanya sukses di pasaran, novel Eka yang berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” diangkat ke layar lebar.
Eka mengaku saat kecil memiliki banyak cita-cita namun seiring dengan perjalanan dan kebiasaannya membaca komik saat kecil mengantarnya melahirkan banyak karya-karya yang dicintai pembaca.
“Sebenernya karena saya punya kebiasaan membaca komik sejak kecil mengantarkan saya menjadi seorang penulis meskipun menulis itu adalah hobi saya, saya tidak membayangkannya jadi profesi,” ungkapnya dalam Nongkrong dan Nonton Bareng Eka Kurniawan di Gramedia Makassar, Sabtu (07/09).