KabarMakassar.com — Masjid Tua Katangka, salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan, dibangun pada tahun 1603 M oleh Raja Gowa XIV, I Mangngarangi Daeng Manrabbia. Masjid ini terletak di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan hingga kini masih berdiri kokoh sebagai saksi sejarah perkembangan Islam di wilayah tersebut,
Sejarah pendirian Masjid Tua Katangka diawali dengan kedatangan pedagang dari Timur Tengah yang tidak hanya berniat berdagang, tetapi juga menyebarkan agama Islam.
Meski upaya mereka pada awalnya ditolak oleh kerajaan, mereka tetap melaksanakan salat Jumat di bawah pohon besar yang dikenal dengan nama Pohon Katangka.
Pohon inilah yang menjadi cikal bakal dibangunnya masjid. Setelah mereka selesai beribadah, lokasi tersebut menjadi ramai dengan aktivitas dagang dan penyebaran Islam. Raja Gowa kemudian memerintahkan pembangunan masjid di tempat itu, dengan bahan dasar dari Pohon Katangka.
Setelah para pedagang Timur Tengah gagal memperkenalkan Islam secara menyeluruh, datanglah tiga ulama besar, yaitu Dato’ Ribandang, Dato’ Ritimang, dan Dato’ Ditiro.
Mereka menawarkan ajaran Islam dengan pendekatan yang lebih lembut dan diterima dengan baik oleh kerajaan, hingga akhirnya Islam menjadi agama resmi di Kerajaan Gowa.
Keunikan Masjid Tua Katangka terlihat dari perpaduan arsitektur berbagai budaya. Meskipun bentuk bangunannya tidak banyak dipengaruhi oleh budaya lokal, ornamen di pintu utama dan mimbar menggabungkan elemen bahasa Arab dan bahasa Makassar.
Mimbar masjid yang berbentuk seperti atap kelenteng juga dihiasi keramik Cina dan ukiran berbahasa Makassar yang menggunakan huruf Arab, menunjukkan pengaruh budaya Cina, Arab, dan Makassar.
Pengurus Masjid, Muhammad Umran Haidar, menjelaskan bahwa beberapa elemen asli masjid masih terjaga hingga kini, termasuk pintu dengan kaligrafi, mimbar, dan genteng yang berasal dari pabrikan Belanda.
Di area masjid juga terdapat meriam besi tua yang dulunya ditempatkan di depan masjid, tetapi kini dipindahkan ke Makam Sultan untuk keamanan. Masjid ini pernah menjadi benteng pertahanan terakhir bagi para raja, yang menjelaskan mengapa tembok masjid begitu tebal.
Selain menjadi tempat ibadah, Masjid Tua Katangka juga mempertahankan tradisi dan adat setempat seperti upacara Ajjipik Suro untuk memperingati 10 Suro, 1 Muharram, serta acara Haul Kabupaten Gowa.
Nilai-nilai mistis dan filosofis yang terkandung dalam masjid ini menambah keunikan, dengan simbol-simbol pada tiap bagian bangunannya yang merepresentasikan ajaran Islam.
Tak hanya itu, masjid ini juga memiliki sumur tua yang dipercaya lebih dulu ada sebelum masjid dibangun. Banyak orang datang ke sumur ini untuk mandi, berobat, atau mengambil berkah.
Bahkan, ketika pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dimulai, air dari sumur ini diambil sebagai simbol keberkahan dan dibawa ke IKN.
“Selain sebagai tempat beribadah, masjid ini juga menyimpan nilai sejarah yang mendalam dan menjadi salah satu ikon budaya serta spiritual bagi masyarakat Gowa,” ujar Umran, pengurus Masjid Tua Katangka, Selasa (22/10). (Mirgebi)