KabarMakassar.com — Masyarakat Indonesia pada umumnya sehari-hari mengkonsumsi makanan pokok berupa nasi yang dihasilkan dan diolah dari tumbuhan padi.
Namun bagi sebagian masyarakat di Sulawesi Selatan (Sulsel) bagian timur tepatnya Tana Luwu, masyarakat sekitar lebih sering mengkonsumsi Dange yakni makanan yang terbuat dari bahan utama sagu.
Sagu adalah tepung atau olahan yang diperoleh dari pemrosesan teras batang rumbia atau pohon sagu (Metroxylon sagu Rottb).
Sagu menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat Tana Luwu karena banyak diolah menjadi bahan utama pangan lokal seperti Kapurung dan Dange.
Dange merupakan makanan pengganti nasi berbentuk persegi panjang dengan ukuran tujuh hingga 10 cm dengan warna putih keabu-abuan.
Dange dibuat dengan proses mengeringkan sagu kemudian dihaluskan menggunakan tangan lalu dimasukkan kedalam cetakan yang telah dipanaskan terlebih dahulu kemudian dibakar diatas api berukuran sedang.
Proses pembakaran berlangsung selama kurang lebih 10 menit, kemudian cetakan diangkat lalu dibalik diatas nampan sehingga dange keluar dari cetakan secara otomatis.
Sebagian besar penduduk asli Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara hingga Luwu Timur lebih sering mengkonsumsi Dange sebagai makanan sehari-hari yang biasanya disandingkan dengan lauk pauk seperti ikan kuah dan sayuran.
Bahkan beberapa orang kadang menyantap Dange bersama buah durian.
Namun, bagi orang yang belum pernah menyantap Dange akan merasakan sensasi seperti memakan dan mengunyah butiran pasir.
Hal ini dikarenakan Dange memiliki tekstur mirip seperti butiran pasir.
Dange biasanya didapatkan di warung makan dan pasar tradisional dengan harga Rp5.000 hingga Rp10.000 per kantong.
Jumlah Dange dalam setiap kantong biasanya berisi delapan hingga 10 lembar Dange.
Namun, umumnya masyarakat sekitar lebih sering memproduksi sendiri untuk kebutuhan konsumsi pribadi dan keluarga.