KabarMakassar.com — Membatalkan puasa adalah ketika masuknya ‘ain atau benda ke dalam rongga perut. Hal tersebut dikecualikan bila yang masuk ke rongga perut tersebut karena lupa, tidak tahu, dipaksa, atau sesuatu yang sulit dipisahkan dari air liur. Demikian seperti yang dikemukakan oleh Syekh Salim bin Sumair dalam Safinatun Najah.
Kementerian Agama Republik Indonesia berdasarkan situs resminya menyampaikan bahwa mayoritas ulama Syafi’i berpendapat masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa.
Demikian pula rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan. Maka itu tidak sampai membatalkan karena tidak adanya wujud benda yang masuk pada rongga.
Kesimpulan ini diambil para ulama Syafi’i berdasarkan qaul Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan. (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304)
Mencicipi makanan tidak sampai membatalkan puasa, selama yang dicicipinya sedikit, tidak ada wujud makanan yang masuk ke dalam rongga, kemudian rasa makanan yang terasa di ludah dan masih mungkin dibuang dikeluarkan.
Tetapi, mencicipi makanan sendiri bagi orang yang tidak ada kebutuhan maka hukumnya makruh. Sementara orang yang membutuhkan seperti sebagai juru masak, mencicipi makanan tidaklah makruh.