KabarMakassar.com — Maraknya kasus pelecehan seksual jadi sorotan di media sosial belakangan ini. Psikolog Novita Maulidya Jalal menjelaskan bahwa pelecehan seksual merupakan perilaku yang merugikan satu pihak, baik melalui perkataan, tindakan, maupun perilaku yang bersifat memaksa atau merusak terkait seksualitas.
Menurutnya, ada tiga faktor utama yang dapat memicu seseorang melakukan pelecehan seksual, yaitu dorongan biologis, permasalahan psikologis, dan faktor kekuasaan.
“Secara biologis, seseorang mungkin memiliki dorongan seksual akibat ketertarikan pada lawan jenis, tetapi jika dorongan tersebut tidak disertai dengan penguatan moral, maka pengendalian diri menjadi sulit. Akibatnya, perilaku buruk seperti pelecehan seksual bisa terjadi,” ungkap Novita.
Selain dorongan biologis, permasalahan psikologis seperti pedofilia atau gangguan seksualitas juga menjadi faktor penting.
“Orang dengan gangguan ini sering kali tidak mampu membedakan mana perilaku yang etis dan tidak,” tambahnya.
Adapun faktor lain yang tak kalah berpengaruh adalah kekuasaan.
“Seseorang kerap menggunakan kekuasaan untuk menunjukkan dominasi terhadap orang lain, termasuk melalui eksploitasi seksual. Hal ini bisa terjadi dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, status sosial, hingga fisik,” jelas Novita.
Di era digitalisasi, Novita menyoroti peran media sosial yang memperbesar peluang terjadinya pelecehan seksual.
“Media sosial memudahkan akses untuk memicu kebutuhan biologis seseorang. Konten yang tersedia di media sosial dapat dengan cepat merangsang dorongan seksual seseorang,” paparnya.
Ia juga menambahkan bahwa media sosial memberikan celah bagi pelaku untuk menyasar korban.
“Melalui media sosial, pelaku dapat dengan mudah membaca kelemahan korban, seperti kondisi ekonomi atau kurangnya perlindungan, sehingga korban menjadi sasaran eksploitasi seksual,” jelas Novita.
Meskipun pelecehan seksual lebih sering dikaitkan dengan laki-laki, Novita menegaskan bahwa perilaku ini juga bisa dilakukan oleh perempuan.
“Namun, data menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih sering menunjukkan dominasi mereka melalui seksualitas,” pungkasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya penguatan moral sejak dini serta edukasi yang memadai untuk mencegah perilaku pelecehan seksual.
Selain itu, ia juga menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap penggunaan media sosial, terutama bagi anak-anak dan remaja.
Untuk informasi, kasus pelecehan seksual masih kerap terjadi, Dilansir dari laman KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Selasa (8/10), data kasus kekerasan terhadap anak adalah sebanyak 1.478 kasus (data Pusdatin KPAI per Oktober 2023).
Dari data tersebut, rincian kasus terbanyak adalah anak korban kejahatan seksual sebanyak 615 kasus Kemudian anak korban kekerasan fisik/psikis sebanyak 303 kasus, anak berkonflik hukum sebanyak 126 kasus, anak korban eksploitasi ekonomi/seksual sebanyak 55 kasus.
Serta anak korban eksploitasi ekonomi/seksual sebanyak 55 kasus. Sedangkan sepanjang Januari sampai dengan Desember 2022, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatatkan jumlah perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya dan ditangani adalah sebesar 32.687 dengan rincian 25.053 korban (Simfoni PPA).
Di Makassar sendiri, kasus pelecehan seksual belakangan kembali terkuak. Tak hanya mengincar anak dibawah umur, melainkan di lingkup perguruan tinggi.
Baru-baru ini, seorang dosen berinisial FS melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. FS dicopot dari jabatannya dan dinonaktifkan sebagai dosen setelah terbukti melakukan aksinya tersebut.
Kejadian ini bermula saat korban mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas melakukan bimbingan skripsi pada 25 September 2024. Pelaku meminta korban datang ke ruangannya seperti mahasiswa lainnya. Saat korban ingin berpamitan, sang pelaku menahan.
pelaku kemudian memegang tangan korban dan ingin memeluknya. FS memaksa melakukan tindakan tidak senonoh, hingga korban berteriak meminta pulang.
kasus ini menimbulkan riuk dari betbagai kalangan, aksi teater pun ditampilkan untuk menggambarkan kekecewaan atas masih adanya kasus pelecehan seksual dilingkungan perguruan tinggi.
Menyusul Unhas, isu pelecehan seksual di lingkup perguruan tinggi juga bergaung di Universitas Negeri Makassar (UNM)
Dalam akun unggahan @mekdiunm, hastag #PTE-PTIK tergaung, diunggah Jumat (24/11) kemarin, tagar yang dilengkapi dengan gambar mawar layu ini ramai tersebar di kalangan mahasiswa UNM, sebagai bentuk protes atas insiden tersebut.
Dihari yang sama, akun tersebut juga mengunggah foto berlatar putih dengan menjelaskan gambaran kasus pelecehan seksual.
“Terjadinya kembali pelecehan di PTE dan PTIK Fakultas Teknik UNM merupakan bukti bahwa oknum tersebut menganggap enteng perilaku pelecehan seksual. Pihak pimpinan baik tingkat Jurusan, Fakultas, Universitas, telah gagal melakukan evaluasi mengingat, kasus pelecehan merupaka hal yang terulang,” jelas akun dengan 43 ribu pengikut itu.
Sebelummya, dalam unggahan berbeda, akun itu juga menekankan marahnya pihak yang mendukung korban atas terulangnya kejadian serupa di kampus yang sama.
Akun tersebut mengungkapkan modus pelaku, yang diduga menggenggam erat tangan korban, meraba bagian tubuh sensitif, hingga mengancam korban dengan nilai E jika tidak memenuhi permintaannya.
Dugaan pelecehan ini disebut sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa, namun penanganannya terhambat oleh lemahnya sanksi terhadap pelaku, yang sebelumnya tidak diberikan tindakan tegas.
“Lingkungan kampus sudah tidak aman, karena pelaku tidak diberi sanksi yang memadai,” kata akun tersebut, menambahkan desakan agar kasus ini segera diusut tuntas.
Desakan untuk menuntut keadilan semakin kencang. “Kami akan terus mengawal kasus ini hingga selesai,” tuntutnya.
Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Karta Djayadi, buka suara mengenai dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang dosen terhadap mahasiswanya. Kasus ini kini tengah dalam proses investigasi oleh pihak kampus.
“Proses hukuman sedang berlangsung sesuai dengan tingkat pelanggaran yang ada,” ujar Prof. Karta, Sabtu (23/11).
Ia menambahkan, penanganan kasus ini memerlukan kehati-hatian mengingat sifatnya yang sangat sensitif.
Pihak universitas berkomitmen mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku.
“Jika bukti kuat ditemukan, sanksi tegas, termasuk pemecatan, bisa dijatuhkan,” tegasnya.