KabarMakassar.com — Melalui Tim Penasihat Hukum, keluarga Perempuan disabilitas korban kekerasan seksual di Sorowako, Luwu Timur, resmi melaporkan penyidik PPA Polres Lutim ke Itwasda Polda Sulsel, Jumat (07/06).
Laporan ini terkait dugaan pelanggaran kode etik, saat proses penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilaporkan pada 16 November 2023 lalu.
Laporan didasarkan pada hasil temuan Tim Penasehat Hukum korban yang menilai dalam proses penyidikan perkara tersebut telah terjadi pengaburan dan rekayasa fakta.
Dugaan rekayasa fakta tersebut terjadi pada adanya uang sebesar Rp200.000 yang diklaim oleh penyidik PPA Polres Lutim sebagai barang bukti.
“Diketahui, uang tersebut diambil dari kantong jaket korban, saat korban dirawat di Rumah Sakit Inco. Sisanya ditambah oleh saksi (paman korban) atas permintaan anggota UPTD PPA Lutim. Belakangan diketahui uang tersebut dirilis oleh Polres Lutim dan diklaim sebagai barang bukti hasil tindak pidana persetubuhan, kesepakatan korban dan pelaku,” ungkap PBH LBH Makassar, Mirayati Amin
Konferensi pers dan rilis hasil tersebut kemudian dilakukan pada hari yang sama dengan masuknya Laporan Polisi Korban Nomor: LP/B/87/XI/RES.1.24/2023/Reskrim, tanggal 16 November 2024.
Hal ini menurut Tim Penasihat Hukum korban, penyidik dengan serta merta menyimpulkan tanpa menggali fakta lebih dalam.
Narasi ini kemudian berdampak pada kaburnya fakta kekerasan dan pemaksaan berhubungan seksual yang dialami korban.
Dengan adanya klaim barang bukti berupa uang, maka seolah-olah peristiwa yang dialami korban bukanlah tindak pidana kekerasan seksual, melainkan tindak pidana perzinahan yang bersifat transaksional.
Sehingga, secara langsung atau tidak, penyidik Polres Lutim menciptakan peluang atau cela bagi pelaku untuk lepas dari jeratan pasal yang disangkakan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Jo.Pasal 15ayat (1) huruf h, UU TPKS dengan ancaman 16 tahun kurungan penjara.
“Dugaan pengaburan fakta oleh penyidik Unit PPA Polres Lutim, tidak hanya melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf c dan Pasal 10 ayat (1) huruf Perkap 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik dan Komisi Etik Polri, tetapi akan berdampak pula nantinya pada proporsionalitas pertanggungjawaban hukum oleh terduga pelaku dan ini akan mencederai rasa keadilan, khususnya rasa keadilan korban,” lanjut Mira.
Atas situasi tersebut, Tim Penasihat Hukum korban kemudian melakukan upaya keberatan dan aksi demonstrasi oleh pihak keluarga korban.
Pada, Februari 2024 terjadi perubahan nominal uang dalam surat berita acara penyerahan barang bukti, sebesar Rp100.000, perubahan ini tentu menjadi indikasi kuat adanya kesalahan penyusunan barang bukti sebelumnya.
Tim Penasehat Hukum berharap Satker Irwasda Polda Sulsel dapat bertindak tegas serta professional dan akuntabel menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik yang diadukan.
“Kami sangat berharap laporan dugaan pelanggaran etik ini ditindaklanjuti secara akuntabel. Selain itu, kami meminta Polda Sulsel memberi atensi terhadap kasus ini. Penindakan tegas terhadap laporan ini juga akan berkaitan dengan citra kepolisian,” ujar Siti Nur Alisa.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Kepolisian merupakan institusi penegak hukum yang berada di hulu, yang menjadi pintu utama penegakan hukum dan akan berpengaruh pada proses-proses selanjutnya.
Sebagai pintu utama untuk memperoleh keadilan, maka aparatnya berkewajiban untuk bekerja secara profesional, berintegritas dan akuntabel serta transparan.
“Pengaduan dugaan pelanggaran etik ini dilakukan, selain demi tercapainya keadilan bagi korban, kami juga berkepentingan pada terwujudnya Institusi Kepolisian sebagai penegak hukum yang berintegritas, transparan serta akuntabel, serta menghormati prinsip Hak Asasi Manusia, sesuai amanat Perkapolri No.8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara RI,” pungkas Tim Penasihat Hukum korban, Siti Nur Alisa.