kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil di Sulsel Dorong RUU Keadilan Iklim

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil di Sulsel Dorong RUU Keadilan Iklim
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Sulsel (Dok Andini KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil di Sulawesi Selatan (Sulsel) melakukan advokasi dan mendorong lahirnya Rancangan Undang-undang (RUU) Keadilan Iklim. Hal ini dilatarbelakangi atas situasi krisis akibat perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam terjadinya bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian yang mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, lebih 3,5 juta orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia.

Pemprov Sulsel

Bappenas juga memprediksikan kerugian ekonomi
mencapai Rp544 Triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim.

Di Provinsi Sulawesi Selatan, dampak perubahan iklim juga sangat dirasakan oleh masyarakat.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Salman Azis mengatakan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan beberapa kali mengalami bencana dan hal ini direspon oleh organisasi masyarakat sipil untuk terlibat aktif melakukan advokasi dan mengkampanyekan isu dampak krisis iklim dengan mendorong lahirnya Rancangan Undang-undang Keadilan Iklim.

“Hadirnya RUU Keadilan Iklim ini penting untuk perlu dimasukkan ke pemerintah agar dilahirkan sebagai Undang-undang yang merespon situasi perubahan iklim saat ini,” ungkapnya dalam konferensi pers yang berlangsung di Hotel Royal Bay, Kamis (24/10).

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan, Rizki Anggriana Arimbi mengungkap bahwa pada awal Mei 2024 banjir dan longsor menerjang beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu di Kabupaten Luwu, Wajo, Sidrap, Soppeng, Enrekang, Pinrang, Toraja dan Bulukumba.

Banjir dan longsor terjadi pada hari yang bersamaan di Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Pinrang akibat kerusakan hutan yang terjadi di area gunung Latimojong.

Dampak ini diperparah karena terjadi kerusakan lingkungan di daerah pegunungan latimojong oleh aktivitas pertambangan.

Menurutnya, penyebab utama krisis iklim adalah elit ekonomi politik yang mengendalikan sebagian besar sumber daya dunia dan melakukan aktivitas yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar.

“Relasinya saya kira jelas kebijakan pembangunan dan kebijakan anti rakyat, anti lingkungan meningkatkan situasi dampak dari perubahan iklim yang kita rasakan hari ini,” ungkapnya

Menurutnya, dalam konteks melihat krisis iklim dan agraria sangat erat kaitannya. Perampasan tanah sejak orde baru dan terakumulasi dengan situasi hari ini di setiap rezim diperparah dengan RUU Cipta Kerja yang memberikan karpet merah terhadap pengusaha.

Selain itu, beralihnya lanskap lahan-lahan pertanian milik petani menjadi pertambangan menjadi ancaman dan kerusakan lingkungan di masa mendatang.

Ia mencatat, sepanjang tahun 2024, Sulawesi Selatan memiliki kurang lebih 330 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di 24 kabupaten kota.

“Proyek reklamasi, tambang laut, tambang emas yang ada di kabupaten penyangga hasil produksi pangan di Indonesia Timur itu semuanya mengalami ancaman dengan penetapan IUP dan konflik perkebunan,” tambahnya.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, Arfandi mengatakan di tahun 2019 kerugian ekonomi senilai Rp2 Triliun dialami masyarakat dalam satu kali bencana.

WALHI Sulsel memotret kawasan hutan kars, pesisir dan pulau kecil di Sulsel saat ini dibebani dengan kegiatan ekstraktif Izin Usaha Pertambangan atay Hak Guna Usaha yang merampas hak-hak masyarakat sekitar.

“Satu hal yang terabaikan adalah minimnya akses dari pembangunan pemerintah yang melibatkan masyarakat setempat,” pungkasnya.

Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Suriyani menjelaskan dampak dari perubahan Iklim yang lebih berat dirasakan oleh perempuan.

Menurutnya, hal ini dikarenakan perempuan berada pada situasi dimana peran gender yang dilekatkan sebagai perawat keluarga sehingga ketika terjadi bencana perempuan akan mengutamakan keselamatan keluarga mereka dibanding dirinya.

“Perempuan akan selalu memikirkan keluarga dibanding dirinya. Pada krisis air yang merasakan dampaknya adalah perempuan untuk memikirkan kebutuhan air terpenuhi memikirkan pengeluaran secara ekonomi untuk kebutuhan air,” sebutnya.

Saat dampak krisis air misalnya, perempuan harus memilih pekerjaan yang melebih satu atau dua setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan berhutang.

Hal ini kemudian menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya paling banyak perempuan.

“Bahkan perempuan meninggalkan kampungnya untuk menjadi buruh dan bermigrasi keluar negeri untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga,” pungkasnya.

Ia berharap dengan adanya hal ini menjadi bagian penting dalam RUU Keadilan Iklim di tingkat nasional.

Eksekutif Nasional WALHI, Satrio Kusuma Mandala mengatakan bahwa dibutuhkan kesadaran masyarakat sipil untuk bersama-sama melakukan inisiatif dan mendorong rancangan undang-undang Keadilan Iklim ini.

Adapun advokasi yang dilakukan di Makassar saat ini merupakan kunjungan kota ke-13 salam memotret dan mendengar dampak dari perubahan iklim yang terjadi di setiap wilayah yang ada di Indonesia.

“Dorongan organisasi masyarakat sipil ini kita berkonsultasi dengan masyarakat termasuk Makassar ini provinsi yang ke-13. Kami mendengar cerita-cerita dari masyarakat dan cara bertahan dari krisis iklim itu,” ucapnya.

Pihaknya bersama koalisi organisasi masyarakat sipil nantinya akan memuat berbagai cerita dan fakta bencana yang terjadi akibat krisis iklim dan memuatnya dalam rancangan undang-undang Keadilan Iklim.

“Kita buat muatannya dan targetnya sembari proses berjalan kita ketemu banyak kelompok masyarakat agar kita sama-sama punya kesadaran mendorong negara ini bertanggung jawab atas keselamatan rakyat,” jelasnya.

PDAM Makassar