KabarMakassar.com — Mama Bau, salah seorang warga Pulau Lae-lae memberikan kesaksian dan menceritakan potret para warga yang dihantui rasa cemas dan waswas akan ancaman reklamasi di pulau itu kedepannya.
Dihadapan banyak orang yang tengah bersolidaritas dalam diskusi publik ‘siasat merawat ruang hidup’ yang merupakan rangkaian agenda Mahkamah Rakyat Luar Biasa, Mama Bau mengaku akan mempertaruhkan nyawa bersama warga lainnya demi mempertahankan Pulau Lae-lae dari reklamasi.
“Kami rela Pulau Lae-lae ini jadi tanah kuburan kami warga yang mempertahankan Lae-lae daripada direklamasi”, ungkapnya, Sabtu (22/06).
Ia menuturkan bahwa di Pulau Lae-Lae kehadiran pemerintah yang hendak melakukan reklamasi sejak bulan Maret 2023 lalu hingga kini terus melakukan upaya untuk memaksakan kuasanya melakukan reklamasi.
Terakhir pemerintah provinsi Sulawesi Selatan menyelenggarakan konsultasi publik untuk kembali menjalankan agenda reklamasinya.
Hal ini tetap dilakukan meskipun ratusan warga Pulau Lae-Lae telah berulang kali melakukan aksi penolakan terhadap reklamasi tanpa negosiasi.
Penolakan warga bukan tanpa alasan, kawasan yang akan ditimbun tersebut adalah wilayah tangkap nelayan, ruang hidup mereka. Sehingga tindakan terang pemerintah yang memaksakan pelaksanaan reklamasi tersebut adalah pelanggaran HAM yang sengaja dilakukan oleh pemerintah.
Mama Bau menjelaskan bagaimana pemerintah sejak awal merencakan reklamasi di Pulau Lae-lae dengan masuk ke pulau tanpa berdiskusi dengan warga. Mereka pemerintah ingin menjadikan Pulau Lae-lae menjadi kawasan wisata tanpa mempertimbangkan pulau tersebut yang selama ini adalah ruang hidup dan sumber penghasilan warga yang 95 persen berprofesi sebagai nelayan.
“Mereka pernah masuk ke Lae-lae, katanya ingin memperindah kawasan menjadi pariwisata. Ternyata yang mereka ingin merampas ruang hidup kami disini 95 persen adalah nelayan”,
Diketahui, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan berencana melakukan reklamasi dengan alasan membawa warna baru dalam siklus perekonomian masyarakat di Pulau Lae-lae dengan menjadikannya kawasan wisata.
“Karena itu akan dijadikan sebuah tempat wisata yang tidak hanya memberikan keuntungan untuk masyarakat sekitar. Tapi juga akan membuka tenaga kerja dari lokasi tersebut,” ungkap Pj Sekda Sulsel, Andi Darmawan Bintang, Minggu (21/05/23)
Rencana reklamasi Pulau Lae-lae merupakan kelanjutan dari perjanjian kerja sama Pemprov Sulsel dengan PT Yasmin selaku kontraktor.
Reklamasi tersebut merupakan tindak lanjut dari reklamasi CPI dimana Pemprov masih kekurangan lahan seluas 12,11 hektar.
Rencana reklamasi itu tertuang dalam kebijakan daerah yang melegalisasi privatisasi laut dengan cara reklamasi yakni Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Mama Bau mengatakan warga Pulau Lae-lae yang bersolidaritas dalam Koalisi Lawan Masyarakat Pesisir (Kawal Pesisir) dan telah berulang kali melakukan aksi penolakan terhadap rencana rekalmasi Pulau Lae-lae. Pada HUT 78 RI, warga membentangkan spanduk berukuran besar bertuliskan “Tolak Reklamasi Pulau Lae-lae” dibawah naungan bendera merah putih yang menjulang ke atas.
Di aksi tersebut, warga Pulau Lae-lae meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menghentikan pembahasan dokumen AMDAL Reklamasi Pulau Lae-lae dan meminta pemerintah pusat untuk tidak menerbitkan izin yang melegalkan reklamasi di Pulau Lae-lae.
Aktivis Lingkungan, Iwan Dento mengatakan kondisi dan rasa waswas yang dirasakan warga Pulau Lae-lae memang bukan tanpa alasan. Pasalnya, reklamasi membuat akses ruang bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil kian menyempit, baik sebagai tempat tinggal, ruang hidup serta wilayah kelola.
Menurutnya, rasa cemas dan waswas warga Pulau Lae-lae tak akan mereda sebelum adanya hitam diatas putih yang menyebutkan tak akan ada pembangunan reklamasi di wilayah tersebut.
Salah satu cara yang dapat dilakukan warga Pulau Lae-lae kata dia adalah dengan mendorong perubahan aturan wilayah yang mengakomodir rencana reklamasi tersebut.
“Teman-teman disini harus punya akses legalitas yang ada pada negara. Saya tidak percaya izin itu dicabut jika tidak ada hitam diatas putih. Salah satu yang bisa diusahakan oleh warga disini adalah mendorong perubahan RT/RW soal pengembangan wilayah ini. Misalnya RT/RW lama ini masuk kedalam area pembangunan reklamasi, teman-teman bisa dorong perubahan itu sehingga kedepan ketika pemerintah masuk kesini, RT RW ini menjadi acuan bahwa ini diluar dari wilayah yang diperuntukkan. Itu penting karena kalau tidak mereka akan selalu wasas karena jaminan hukum yang kita punnya hari ini suka tidak suka ada pada negara”, ungkapnya, Sabtu (22/06)
Ia menjelaskan salah satu alternatif yang bisa digunakan saat ini adalah Pasal 79 UU Desa yang menyebutkan bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan desa dilaksanakan dengan menyusun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun dan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Pasal ini dapat digunakan untuk menyusun dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa dan rencana pembangunan tahunan desa atau yang disebut rencana kerja pemerintah desa sehingga ketika aturan yang mengakomodir rencana reklamasi masuk ke Pulau Lae-lae dapat dibenturkan dengan aturan pembangunan jangka menengah dan panjang pemerintah desa di pulau tersebut.
“Bentuk peraturan desa dan mereka bisa bersepakat bahwa ini area tangkap, ini area konservasi dan mereka harus mengakui itu. Sehingga ketika pemerintah masuk mereka ada acuan”, pungkasnya
Jika rencana reklamasi di Pulau Lae-lae dijalankan maka akan ada 484 nelayan Pulau Lae-Lae yang berpotensi hilang sumber kehidupannya dimana jika dirata-ratakan, satu nelayan memiliki 4 anggota keluarga, maka akan ada 1.936 orang mendapat dampak buruk dari pembangunan reklamasi.