KabarMakassar.com — Claustrophobia atau klaustrofobia merupakan ketakutan yang berlebihan atau irasional terhadap ruang yang sempit atau tertutup. Bagi mereka yang mengalaminya, beberapa tempat yang menurut orang awam adalah hal biasa dapat menimbulkan rasa cemas dan ketakutan.
Misalnya, lift yang tertutup rapat, terowongan yang sempit dan juga gelap, kereta bawah tanah yang terasa terkungkung, serta toilet umum yang sering kali terasa sempit serta tidak nyaman.
Ketakutan tersebut sering kali muncul tanpa alasan yang jelas dan juga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari mereka yang mengalaminya.
Bagi seseorang yang menderita gangguan kecemasan in, dapat merasakan ketakutan yang sangat kuat hanya dengan memikirkan atau membayangkan dirinya berada di dalam ruang sempit dan tertutup.
Ketakutan tersebut dapat muncul tanpa ada situasi nyata yang terjadi, cukup dengan adanya bayangan tentang ruang terbatas. Untuk dapat dinilai sebagai klaustrofobia, maka seseorang harus mengalami kecemasan yang sangat intens terhadap ruang tertutup tersebut, dan perasaan cemas itu harus berlangsung selama minimal enam bulan berturut-turut.
Gangguan ini dapat mengganggu keseharian mereka, karena kecemasan yang muncul terkadang tidak mampu dikendalikan atau dihindari.
Gejala klaustrofobia
Serangan panik menjadi salah satu gejala yang paling umum terjadi pada individu yang mengalami fobia, terkhusus ketika mereka menghadapi objek atau situasi yang memicu rasa takut mereka.
Selain kecemasan yang amat intens, serangan panik ini sering kali disertai dengan berbagai reaksi fisik yang cukup mengganggu. Gejala fisik yang bisa muncul selama serangan panik meliputi detak jantung yang meningkat pesat, perasaan sesak di dada, kesulitan bernapas, hingga pusing atau bahkan rasa seperti akan pingsan.
Gejala-gejala tersebut bisa sangat menakutkan dan memperburuk kondisi mental seseorang yang sudah tertekan akibat fobia yang mereka alami.
Berdasarkan Hellosehat yang merupakan mitra resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, serangan panik terhadap seseorang dengan fobia dapat menimbulkan gejala fisik yaitu, denyut jantung cepat, mual, gemetar, nyeri dada,
sakit kepala dan pusing.
Selanjutnya, perasaan ingin pingsan, mati rasa atau kesemutan, mulut kering, keringat berlebih, tubuh mendadak panas atau kedinginan, sesak napas, keinginan untuk pergi ke toilet, telinga berdengung, dan kebingungan atau disorientasi.
Fobia sering kali menyebabkan seseorang merasakan ketakutan yang begitu mendalam, bahkan muncul pemikiran bahwa mereka dapat kehilangan nyawa. Contohnya, orang yang mengalami klaustrofobia mungkin akan merasa sangat takut dan berpikir bahwa lift yang sedang mereka naiki dapat terjatuh, meskipun hal tersebut sangat tidak mungkin terjadi.
Gejala fobia umumnya muncul dalam rentang waktu yang relatif singkat, antara lima hingga tiga puluh menit, tetapi dampaknya bisa sangat mengganggu. Ketakutan yang muncul selama periode ini bisa sangat menyiksa, membuat individu yang mengalaminya merasa terjebak dalam perasaan cemas yang luar biasa.
Oleh sebab itu, penting untuk tidak mengabaikan rasa takut atau kecemasan yang intens ini, karena dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang secara signifikan dan berisiko memperburuk kondisi mental mereka jika tidak ditangani dengan baik.
Cara mengatasi klaustrofobia
1. Cognitive behavioral therapy (CBT)
Pada terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy), individu yang menderita claustrophobia akan diajarkan untuk mengubah cara berpikir mereka, agar dapat merespons situasi berada di ruang sempit dengan cara yang lebih positif dan tidak mengarah pada ketakutan.
Terapi yang dilakukan bertujuan untuk membantu mereka mengidentifikasi dan menantang pikiran-pikiran yang tidak rasional, sehingga dapat mengurangi kecemasan yang mereka rasakan.
Selain itu, terapis biasanya akan memberikan berbagai teknik atau strategi untuk mengelola stres yang muncul, salah satunya ialah melakukan kegiatan fisik seperti berolahraga yang dapat membantu meredakan ketegangan. Selain olahraga, menulis buku harian juga bisa menjadi cara yang efektif untuk mengekspresikan perasaan dan mengurangi kecemasan.
Terapi ini seringkali mencakup latihan pernapasan yang dapat menenangkan sistem saraf dan mengembalikan kontrol saat perasaan cemas mulai muncul. Dengan kombinasi teknik-teknik tersebut diharapkan individu dapat merasa lebih tenang dan lebih mampu mengatasi ketakutan yang timbul saat berada di ruang sempit.
2. Modelling
Terapi modeling dilakukan dengan memberikan contoh konkret bagi pasien mengenai langkah yang dapat digunakan untuk menghadapi ketakutan yang muncul ketika berada di situasi yang memicu klaustrofobia.
Dalam proses ini, pasien nantinya akan diberikan penjelasan langkah demi langkah tentang bagaimana seharusnya mereka merespons atau mengatasi rasa takut mereka dalam kondisi tertentu.
Agar terapi ini dapat efektif, maka pasien diminta untuk benar-benar memperhatikan dan mengingat setiap langkah yang telah dicontohkan, karena semakin fokus pasien dalam memperhatikan contoh yang diberikan, semakin besar kemungkinan mereka untuk berhasil mengaplikasikan cara tersebut dalam situasi nyata.
Setelah memahami langkah tersebut, selanjutnya pasien akan diminta untuk mempraktikkannya secara langsung, melakukannya sendiri dalam situasi yang dapat menimbulkan kecemasan.
Selama proses ini, amat penting bagi pasien untuk memiliki sumber motivasi yang kuat, karena motivasi ini akan mendorong mereka untuk terus mengulang dan melatih perilaku yang telah diajarkan hingga mereka merasa lebih mampu menghadapinya.
Dengan motivasi yang tepat, pasien diharapkan mampu membangun kepercayaan diri dan merasa lebih terkendali dalam menghadapi situasi yang sebelumnya menakutkan bagi mereka.
3. Flooding
Berdasarkan laman Better Health Channel, terapi flooding dianggap sebagai salah satu metode yang efektif dalam mengatasi klaustrofobia. Dalam terapi tersebut, pasien akan diminta untuk berada dalam sebuah ruangan sempit yang menjadi pemicu utama dari rasa takut dan serangan panik yang mereka alami.
Proses terapi tersebut mengharuskan pasien untuk tetap berada di dalam ruang dalam jangka waktu tertentu, bahkan saat mereka merasakan kecemasan yang sangat kuat atau serangan panik. Pasien akan diminta untuk bertahan di dalam ruangan sampai perasaan panik tersebut mereda dan akhirnya hilang dengan sendirinya.
Tujuan dari adanya pendekatan ini adalah untuk membantu pasien menyadari bahwa meskipun mereka merasa takut juga cemas, ruang sempit tersebut sebenarnya tidak menimbulkan bahaya yang nyata ataupun merugikan mereka. Dengan cara ini, diharapkan pasien mampu mengubah persepsi mereka terhadap ruang terbatas dan belajar untuk mengelola rasa takut yang muncul.
4. Counter-conditioning
Apabila pasien merasa bahwa mereka belum siap atau tidak mampu menjalani terapi flooding, maka terdapat metode lain yang dapat dipertimbangkan, yaitu counter-conditioning.
Dalam terapi tersebut, terapis akan membantu pasien untuk mengubah respon negatif mereka terhadap pemicu fobia dengan cara mengajarkan mereka untuk membayangkan atau melakukan aktivitas yang menyenangkan ketika berhadapan dengan situasi yang memicu rasa takut.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menggantikan asosiasi negatif yang ada dengan sesuatu yang positif, sehingga pasien bisa mulai mengaitkan situasi yang sebelumnya menakutkan dengan pengalaman yang menyenangkan.
Dengan demikian, pasien diharapkan mampu mengurangi rasa takutnya dan merespons pemicu fobia dengan cara yang lebih santai juga terkontrol. Keberhasilan metode ini dapat diukur dengan kemampuan pasien untuk menghadapi situasi yang sebelumnya memicu kecemasan tanpa merasakan ketakutan maupun kekhawatiran yang berlebihan.
Ketika pasien dapat menghadapi pemicu fobia tanpa perasaan cemas, maka terapi ini dianggap berhasil dalam membantu mereka mengatasi fobia yang mereka alami.