kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Kandidat Perempuan di Pilkada Makassar, Tanda Kemajuan Gender dalam Politik

Kandidat Perempuan di Pilkada Makassar, Tanda Kemajuan Gender dalam Politik
Peneliti dan konsultan politik, Andi Sri Wulandani (Kanan) dalam podcast KabarMakassar yang bertajuk Sulsel Memilih (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakasssar.com — Dalam kontestasi Pilkada serentak yang akan digelar November mendatang, Makassar menjadi sorotan dengan meningkatnya jumlah kandidat perempuan yang ikut bertarung dalam pemilihan wali kota.

Peneliti dan konsultan politik, Andi Sri Wulandani, menilai ini sebagai perkembangan positif yang menunjukkan kemajuan Makassar sebagai kota yang responsif terhadap partisipasi perempuan dalam politik.

Pemprov Sulsel

Menurut Wulandani, yang akrab disapa Wulan, jumlah kandidat perempuan pada Pilkada Makassar kali ini lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya.

“Pada Pilkada 2013, 2018, dan 2020, kandidat perempuan maksimal hanya dua orang. Namun kali ini ada tiga perempuan yang maju sebagai calon wali kota. Ini adalah pertanda baik dan menunjukkan bahwa Makassar semakin maju dalam memberikan ruang bagi perempuan di dunia politik,” jelasnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap kandidat perempuan, Wulan mengungkapkan bahwa ketiga sosok tersebut memiliki elektabilitas yang cukup tinggi.

“Kami mendapati bahwa figur-figur perempuan yang maju dalam Pilkada Makassar ini memiliki rekam jejak yang baik, terutama di ranah legislatif. Hal ini tentunya menjadi faktor penting dalam keputusan masyarakat saat memilih nantinya,” katanya.

Selain rekam jejak, Wulan juga menekankan bahwa kekuatan kandidat perempuan ini didukung oleh pasangan mereka dalam kontestasi politik, yang turut meningkatkan elektabilitas mereka.

“Setiap kandidat memiliki kekuatan masing-masing, dan pasangan mereka juga menjadi faktor yang memperkuat posisi mereka dalam Pilkada ini,” tambahnya.

Wulan menilai bahwa kehadiran kandidat perempuan ini bukan hanya mencerminkan kesetaraan gender, tetapi juga kemajuan partisipasi perempuan dalam politik di Makassar.

“Ini adalah preseden yang baik bagi Makassar. Salah satu indikator kesetaraan gender adalah bagaimana perempuan mengisi ruang-ruang politik, termasuk dalam kontestasi Pilkada,” ujarnya.

Namun, Wulan menekankan bahwa partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya cukup dengan hadir sebagai kandidat. Menurutnya, para perempuan kandidat juga harus mampu membawa isu-isu yang relevan bagi kelompok rentan, seperti isu gender, hak anak, difabel, lansia, dan kelompok marjinal lainnya.

“Perempuan dalam politik harus bisa membawa pesan yang kuat, bukan hanya sekadar merepresentasikan gendernya, tetapi juga membawa isu-isu yang responsif terhadap kelompok rentan,” jelasnya.

Wulan juga menyoroti bahwa masih ada 11 kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan yang belum memiliki kandidat perempuan, termasuk Luwu, yang sebelumnya dipimpin oleh seorang bupati perempuan.

Ia menilai bahwa partai politik memegang peran penting dalam membuka akses bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

“Akses ke partai politik menjadi salah satu tantangan terbesar di daerah, terutama di wilayah yang masih kental dengan budaya patriarki. Namun, di Makassar, kita melihat perubahan yang signifikan dalam hal ini,” katanya.

Menurut Wulan, salah satu tantangan klasik yang dihadapi perempuan dalam politik adalah pembagian peran antara domestik dan publik.

“Budaya patriarki masih memandang perempuan lebih cocok mengurus urusan rumah tangga. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi perempuan yang ingin berkiprah di dunia politik,” jelasnya.

Selain itu, Wulan juga menyebutkan bahwa perempuan seringkali dianggap tidak cukup kuat untuk berpartisipasi dalam politik yang dianggap sebagai ranah yang keras.

“Ada stigma bahwa politik adalah ruang untuk laki-laki karena dianggap penuh persaingan dan tekanan. Perempuan sering kali dianggap tidak mampu menghadapi tekanan politik,” tambahnya.

Stigma lain yang dihadapi perempuan di partai politik adalah anggapan bahwa mereka hanya sebagai pelengkap.

“Perempuan sering dipandang hanya sebagai pelengkap dalam struktur partai politik, dan ini adalah trauma yang harus diatasi. Kita berharap bahwa perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai pelengkap, tetapi benar-benar sebagai pemimpin yang berpengaruh,” katanya.

Wulan menegaskan bahwa pentingnya pengawalan terhadap ruang politik bagi perempuan, terutama di tingkat partai politik, agar perempuan bisa lebih bebas berpartisipasi dalam politik.

“Keterlibatan perempuan dalam politik harus terus diawasi dan didorong, agar ruang bagi perempuan di partai politik semakin terbuka lebar,” lanjutnya.

Di akhir, ia menyebut, stigma politik harus diubah, khususnya dalam memberi ruang politik bagi perempuan. Hal ini juga harus diikuti oleh keberanian perempuan dalam kandidat dalam memahami bahwa politik merupakan ruang bersama.

“Politik bukan hanya ruang lelaki, misal di parpol ada yang mengajak perempuan untuk terjun ke politik, jangan takut, karena ini adalah metode strategis untuk meraih posisi publik” harapnya.