KabarMakassar.com — Terlalu gegabah jika menyimpulkan penyelenggaraan pemilu 2024 berlangsung sukses hanya berdasarkan pada hasil pemungutan dan penghitungan suara.
Dimana pada keputusan KPU yang menetapkan perolehan hasil masing-masing peserta pemilu tidak bisa disimpulkan bahwa proses penyelenggaraan pemilu telah berlangsung demokratis, bebas, jujur, adil, dan dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang professional dan berintegritas.
Keberhasilan penyelenggaraan pemilu dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti aspek regulasi, penyelenggara, peserta pemilu, masyarakat, ketersediaan anggaran, dan dukungan dari intitusi/ lembaga negara lain di luar lembaga penyelenggara.
Kesemuanya saling mempengaruhi satu sama lain ketika tahapan pemilu dijalankan. SIREKAP Koalisi JagaSuara2024 menyatakan salah satu hasil kerja KPU yang gagal adalah pengelolaan SIREKAP.
Menurur hasil pemantauan yang dilakukan JagaSuara2024 yang dirangkum KabarMakassar.com, Rabu (3/4), bahwa terhadap SIREKAP ditemukan bahwa aplikasi ini sampai tanggal 26 Maret hanya mengupload C.HASIL PPWP (Pilpres) sebanyak 648,974 TPS (78.8%).
Angka ini jauh tertinggal dibandingkan dengan capaian Situng pada Pemilu 2019 yang mencapai 92.2% saat hasil pemilu ditetapkan. Dalam SIREKAP memang tidak ditemukan unsur dugaan yang meyakinkan ada rekayasa penggelembungan untuk kepentingan paslon tertentu.
Dengan kata lain, disemua paslon terjadi kesalahan data. Sebaliknya banyak dijumpai kesalahan SIREKAP dalam membaca C.HASIL PPWP dari TPS dan memverfikasinya.
TPS di SIREKAP yang ada data perolehan suaranya sekitar 646,000. Dari jumlah tersebut jumlah TPS dengan kesalahan kegagalan verifikasi pada satu atau lebih suara paslon sebanyak 19.170 (2,96%).
Yang diperbaiki oleh KPU baru 3.075 (16,04%). Sisanya sebanyak 16.095 (83.96%) belum diperbaiki sama sekali (Lampiran 1) SIREKAP KPU juga gagal menampilkan hasil perolehan suara berbasis C.HASIL dari setiap TPS.
Hal ini telah menyebabkan kegaduhan di masyarakat serta berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. KPU sendiri pada tanggal 5 Maret tanpa memberikan penjelasan terkait sejumlah masalah yang terjadi memutuskan tidak lagi menampilkan data/ numerik perolehan suara dalam SIREKAP.
Padahal penggunaan SIREKAP sebagai alat bantu informasi penghitungan dan rekapitulasi suara merupakan amanat PKPU No 25/2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dan PKPU No. 5/2024 tentang Rekapitulasi Suara.
Kebijakan ini bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran nyata terhadap dua PKPU tersebut. Terdapat beberapa prinsip penyelenggaraan pemilu yang dilanggar akibat kegagalan tersebut. Pertama prinsip Profesionalisme, dimana KPU gegabah dalam menyiapkan dan memastikan.
SIREKAP berfungsi efektif, baik secara sistem maupun secara regulasi. Sehingga kegagalan SIREKAP direspon secara tidak profesional dengan solusi yang sangat amatiran, yaitu menutup akses publik.
Kedua Prinsip Akuntabel, bahwa KPU tidak mampu menjawab banyak permasalahan dan pertanyaan publik terhadap SIREKAP. Ketiga, Prinsip Efektif, SIREKAP justru menjadi alat yang menghambat kerja-kerja KPPS di lapangan.
Waktu penghitungan suara yang seharusnya singkat, menjadi lama dan beresiko bagi KPPS. Terakhir Prinsip Efisien, bahwa pengadaan SIREKAP yang menghabiskan anggaran publik bermilyaran namun pada akhirnya tidak berfungsi dan ditutup bagi publik, jelas menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip efisien.
Pelanggaran Penyelenggara KPU Persoalan lain yang turut menjadikan pelaksanaan pemilu 2024 sulit disebut demokratis , jujur, dan adil adalah sikap penyelenggara terutama Komisioner KPU di tingkat pusat yang diliputi persoalan etik.
Ini mengindikasikan integritas penyelenggara pemilu sangat rendah dan bermasalah. Dugaan pelanggaran yang disengaja dilakukan mulai tampak pada saat penataan daerah pemilihan (dapil).
Putusan MK Nomor 80/PUU-XX/200 yang memberi kewenangan kepada KPU untuk menata Daerah Pemilihan Anggota legislatif sesuai dengan prinsip – prinsip penataan dapil. Alih-alih membenahi dapil yang bermasalah, KPU bergeming dengan sikapnya tidak melakukan penataan ulang dapil sebagaimana kehendak substansi dari putusan MK dimaksud.
KPU juga mengabaikan Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/200 tentang mantan narapidana kasus korupsi (Eks Koruptor) yang baru bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam pemilu setelah bebas lima tahun dari penjara.
Sikap yang sama juga diperlihatkan lembaga ini terhadap putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 yang mengharuskan parpol peserta menyertakan paling sedikit 30% jumlah caleg perempuan dalam setiap daftar calon pada setiap dapil.
Celakanya sikap berkebalikan ditunjukkan KPU ketika merespon dengan segera Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres/cawapres, dimana KPU langsung menerima pendaftaran paslon presiden/wakil presiden tanpa mengubah terlebih dahulu PKPU pencalonan presiden/wakil presiden sebagaimana amar putusan MK dimaksud.
Dugaan pelanggaran lain yakni manipulasi hasil verifikasi partai politik calon peserta pemilu, dilakukan begitu vulgar melibatkan komisioner dan jajaran sekretariat. Untuk meloloskan beberapa partai tertentu menjadi peserta pemilu, hasil verifikasi faktual dari TMS diubah menjadi MS.
Terhadap kasus dugaan pelanggaran ini DKPP telah menjatuhkan sanksi etik. Ironisnya yang diberikan sanksi adalah penyelengara di Tingkat daerah yang nota benenya hanya sebagai pelaksana perintah/ kebijakan dari KPU pusat.
Persoalan integritas moral penyelenggara ini terkonfimasi lewat putusan DKPP terhadap pelanggaran-pelanggaran yang diadukan. Baik ketua maupun anggota KPU berkali-kali disanksi peringatan. Bahkan Ketua KPU RI mencatat rekor mendapatkan 3 kali peringatan keras terakhir dari DKPP atas sejumlah pelanggaran etika yang dilakukan.
Ironisnya DKPP sendiri tidak memiliki pendirian yang tegas terhadap putusan yang mereka keluarkan. Akibatnya apapun jenis putusan etika yang diberikan tidak memberi efek jera bagi pelaku. Berdasarkan pernyataan di atas, JagaSuara 2024 menyatakan :
1. Terhadap kegagalan SIREKAP KPU RI yang berkonsekwensi pada potensi terjadinya kerugian keuangan negara KPU harus bertanggungjawab dengan secara jujur memberikan penjelasan semua permasalahan yang ada kepada publik.
2. Mendesak BPK melakukan audit investigasi pengelolaan keuangan KPU terkait dengan pengadaan aplikasi SIREKAP oleh KPU RI dan mendesak aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum jika terjadi dugaan tindak pidana terhadap keuangan negara.
3. Harus dilakukan audit forensik terhadap SIREKAP atas kegagalan aplikasi ini sesuai dengan tujuan keberadaanya.
4. KPU harus menuntaskan entri data C.HASIL dari semua TPS untuk semua pemilihan, disertai dengan secara sistematis melakukan verifikasi ulang atas data yang telah masuk untuk menjaring kesalahan entri. Serta mempublikasikan hasil rekapitulasi dari semua tingkatan dalam berbagai Form D.HASIL berformat data terbuka.
5. KPU harus menampilkan kembali data perolehan suara di tiap tingkatan dari TPS hingga Nasional di situs Pemilu2024.
6. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk secara sungguh-sungguh meminta pertanggungjawaban KPU sebagai penyelenggara utama pelaksaan pemilu 2024 atas berbagai permasalahan dan dugaan kecurangan yang terjadi baik sebelum tahapan pemungutan dan penghitungan suara maupun saat pemungutan dan penghitungan suara berlangsung.
7. Mendukung upaya dan proses sengketa di MK agar sengkarutnya penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat dikoreksi dan diangkat kembali kualitas pemilu sesuai dengan azas – azas yang kostitusional.
Diketahui atas nama Koalisi JagaSuara2024 melibatkan sejumlah lembaga independen yakni Hadar Nafis Gumay – NETGRIT, Reza Lesmana – JagaSuara2024, Intan Bedisa – INFID, Fer Amsari – Themis dan Neni Nur Hayati – DEEP Indonesia.
JagaSuara 2024 adalah gerakan dari dan untuk masyarakat yang diinisiasi oleh Netgrit bersama organisasi masyarakat sipil lainnya yang peduli dengan integritas Pemilu 2024. “Kami tidak berafiliasi atau mewakili lembaga pemerintah maupun para peserta pemilu”.
Sementara itu, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Kawal Pemilu Sulsel 2024 menemukan dugaan atau indikasi kuat pelanggaran berat di Sulawesi Selatan pasca pemilihan umum Rabu (14/2) lalu.
Dimana pelanggaran itu banyak kejanggalan sejak tahapan dalam proses Pemilu 2024. Meski demikian, OMS Sulsel Kawal Pemilu 2024 belum membeberkan data pelanggaran tersebut.
“Tentunya pelanggaran kali ini sangat banyak. Kan Bawaslu Sulsel sudah umumkan beberapa pelanggaran dalam rilisnya,”ucap anggota OMS Sulsel Aflina Mustafainah kepada kabarmakassar.com, Kamis (21/3).
“Belum juga kawan-kawan yang bertugas sebagai pemantau pemilu. Kalau kami tengah mengumpulkan hasil pantauan kami,”sambung Ketua Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulsel itu.
Untuk itu, aktivis perempuan Sulsel itu mendukung bahkan mendorong agar proses pemilu 2024 yang curang ditempuh jalur hak angket yang dilakukan oleh DPR RI.
“Kalau ditanya peluang, tentunya hak angket itu membuka pertanyaan-pertanyaan bagi kita selama ini terkait keterlibatan presiden dalam memenangkan 02,”ujarnya.
“Dugaan Kecurangan libatkan Bansos, netralitas ASN dan intimidasi pada kades, lurah, guru dll,”terang Aflina Mustafainah.
Terkait dugaan pelanggaran berat di tubuh KPU Sulsel, Aflina menilai bahwa temuan akan mengungkap praktik-praktik yang melanggar secara konstitusi.
Dimana bahwa seluruh kinerja KPU lagi buruk di pemilu kali ini Se Indonesia. Tetapi buruknya kinerja sampai KPU Kab./kota sangat ditunjang dengan ketidakprofesional an KPU pusat dalam membuat alat kerja sprt sirekap
Selain itu, kebijakan yang dibuat KPU RI mengkondisikan buruknya tatanan yang juga akhirnya tidak bisa diterjemahkan oleh KPU Provinsi, kabupaten/kota di 38 wilayah provinsi.
“Padahal mereka pakai anggaran nwgara yg sangat besar untuk pemilu,”jelasnya.
Sementara itu, Anggota lainnya dari OMS Sulsel 2024, Samsang Syamsir mengatakan terkait rekomendasi atas atensi bawaslu terhadap PSU, PSS dan PSLnya juga menjadi perhatian publik.
PSU, PSS ataupun PSL tetap melekat pengawasan, bukan hanya Bawaslu tetapi juga Pemantauan dan masyarakat secara partisipatif.
Tingginya PSU bisa jadi karena ada kecurangan masif atau boleh jadi karena masalah pada bimtek yang menyebabkan penyelenggara di TPS tidak memahami aturan secara sempurna.
“Kami menemukan fakta di lapangan PPS, KPPS dan pihak keamanan tidak memahami aturan mainnya. Misalnya tidak memahami tata cara mengisian Model C Hasil PPWP dan seterusnya sehingga menambah panjang waktu rekap,”ujar Samsang Syamsir.
“Bahkan lebih parah lagi tidak memahami peraturan KPU sendiri. Misalnya temuan kami ada KPPS melarang pendokumentasian Model C Hasil PPWP, namun setelah ditunjukkan PKPU No. 25/2023 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara Pasal 59 ayat 1 dan 2 baru kemudian dibolehkan,”tandasnya.