KabarMakassar.com — Dominasi susu impor di pasar dalam negeri memicu kerugian bagi peternak sapi perah lokal. Namun, bagaimana kandungan gizi antara susu lokal dan impor? Ahli Gizi Universitas Hasanuddin (Unhas), Safrullah Amir, S.Gz., M.P.H., memberikan penjelasan terkait perbedaan susu impor dan susu lokal dalam hal kandungan gizi serta tantangan pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia.
Menurutnya, secara umum, tidak ada perbedaan signifikan dalam kandungan zat gizi makro, seperti protein dan lemak, serta beberapa zat gizi mikro esensial yang terkandung dalam kedua jenis susu tersebut.
“Susu memang merupakan pelengkap kebutuhan gizi, yang sudah diperoleh dari makanan dan minuman lain yang kita konsumsi. Di dalamnya terdapat kalsium, fosfor, serta vitamin A, D, E, dan B Kompleks, yang semuanya penting untuk tubuh,” ujar Safrullah, Kamis (14/11).
Namun, dalam prakteknya, susu impor lebih banyak digunakan oleh produsen industri susu dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan produksi susu di Indonesia.
“Susu impor ini memenuhi sebagian besar kebutuhan industri pengolahan susu di dalam negeri, meski susu lokal yang segar tetap memiliki keunggulan karena prosesnya lebih singkat dan kandungan gizinya lebih terjaga,” jelasnya.
Meski memiliki kandungan gizi yang sama, Dosen Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas ini menyebut susu segar yang diproduksi lokal, memiliki keunggulan karena lebih minim dalam hal proses pengolahan dan penyimpanan, yang membantu mempertahankan kandungan gizi.
Sebaliknya, susu segar yang diimpor biasanya melalui proses yang lebih panjang, termasuk pengawetan yang bisa mengurangi beberapa jenis kandungan gizi dalam susu tersebut.
Meskipun begitu, susu impor sering kali mengalami proses fortifikasi, yakni penambahan zat gizi seperti omega-3 atau vitamin tertentu untuk meningkatkan kandungan gizinya.
“Proses fortifikasi ini bisa membuat susu impor lebih kaya gizi,” ujar Safrullah.
Terkait dengan program makan bergizi yang digagas oleh pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, Safrullah menilai bahwa meskipun susu yang digunakan mungkin melalui proses fortifikasi, secara umum kandungan gizinya tetap dapat mendukung pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat.
Namun, ia juga menekankan pentingnya mengoptimalkan penggunaan susu segar lokal.
“Kita harus berupaya untuk lebih memanfaatkan susu lokal. Tapi, jika produksi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan industri, impor masih diperlukan,” tambahnya.
Selain itu, Safrullah mengingatkan pentingnya penerapan kontrol kualitas yang ketat pada produksi susu lokal, mengingat susu sangat rentan terhadap kontaminasi.
“Proses pengawasan yang baik dari pemerahan hingga pengolahan susu sangat penting untuk mencegah masalah kesehatan seperti keracunan yang bisa timbul akibat susu yang terkontaminasi,” tutupnya.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Marsuki DEA, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi industri susu di Indonesia, yang menurutnya memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pihak terkait.
Meski ada perkembangan positif dalam produksi susu di beberapa daerah penghasil susu lokal, Prof. Marsuki menyebutkan bahwa petani susu masih menghadapi banyak tantangan, seperti harga yang tidak sesuai harapan dan distribusi yang tidak menentu.
“Secara ekonomi, perkembangan produksi susu nasional patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa petani susu sudah berupaya mandiri dalam memenuhi kebutuhan susu di pasar domestik dan ekspor. Namun, sayangnya, manfaat yang diterima petani belum optimal, terutama terkait harga dan distribusi yang tidak stabil,” kata Prof. Marsuki.
Salah satu masalah yang dihadapi petani susu adalah produksi yang sering ditolak oleh industri olahan susu yang lebih mengandalkan susu impor.
Menurutnya, penyebab masalah ini harus segera ditemukan solusinya, karena jika tidak, pengembangan industri susu domestik akan terhambat. Padahal, pemerintah berharap Indonesia dapat mandiri dalam pemenuhan kebutuhan susu nasional, bahkan dapat mengekspor susu dan meningkatkan penerimaan devisa negara.
Prof. Marsuki menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak pada petani susu dan rantai produksi susu lokal. Ia mengingatkan agar regulasi yang ditetapkan tidak hanya menjadi aturan yang sulit dilaksanakan di lapangan dan tidak hanya menguntungkan pengusaha atau pedagang impor.
“Pemerintah perlu menempuh kebijakan pemihakan yang nyata, yang bisa dirasakan manfaatnya oleh petani susu,” tegasnya.
Menurut Prof. Marsuki, pengusaha industri susu perlu lebih aktif dalam memperbaiki kualitas susu lokal.
Ia mengusulkan agar pengusaha bekerja sama dengan kelompok petani untuk meningkatkan kualitas susu agar memenuhi standar industri, serta mendirikan lembaga ekonomi petani, seperti koperasi susu, untuk memperkuat rantai pasok susu lokal.
“Petani susu harus dibina agar bisa menghasilkan susu berkualitas yang dibutuhkan industri, baik dalam hal kebersihan maupun proses produksi,” jelasnya.
Selain itu, Prof. Marsuki menyebutkan bahwa pemerintah harus berperan lebih besar dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah persusuan nasional.
Ia mengusulkan agar jumlah susu impor yang saat ini mencapai 80% dari total kebutuhan dapat dikurangi menjadi hanya sekitar 40%.
Menurutnya, dengan adanya kebijakan yang tepat, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri susu lokal dan meningkatkan kesejahteraan petani.
“Peluang untuk mengembangkan usaha petani dan industri susu nasional masih sangat besar. Dengan kemauan keras dan usaha bersama dari pemerintah, pengusaha, lembaga ekonomi susu rakyat, dan petani susu itu sendiri, kemandirian dalam pemenuhan susu nasional bisa terwujud,” pungkas Prof. Marsuki.