kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Geruduk BPN Sulsel, GRAMT Minta Pertemuan Penyelesaian Konflik PT. Lonsum

banner 468x60

KabarMakassar.com — Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) kembali melakukan aksi di Kantor Wilayah BPN Sulawesi Selatan untuk mendesak perundingan dan penyelesaian konflik agraria antara PT. London Sumatera (Lonsum) dan Masyarakat Bulukumba, Senin (29/01).

Sebelumnya pada 15 Januari 2024 lalu, telah terjadi kesepakatan untuk dilaksanakan perundingan penyelesaian konflik sebelum Jumat 26 Januari 2024. Namun hingga hari yang disepakati, belum juga ada jadwal dialog yang ditentukan.

Pemprov Sulsel

Perwakilan AGRA Sulsel, Ahmad mengatakan massa Aksi dari GRAMT menggeruduk BPN menagih agar dibukanya dialog terkait persoalan konflik agraria di Bulukumba yang telah terjadi puluhan tahun tanpa ada itikad baik untuk menyelesaikan konflik ini.

Bahkan pada tahun 2003 terjadi penembakan terhadap petani yang melakukan pendudukan lahan untuk merebut kembali tanahnya berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang pada intinya menegaskan bahwa PT. Lonsum harus mengembalikkan tanah petani yang sebelumnya di rampas sesuai dengan batas-batas alam yang tegas dalam putusan.

Pihaknya menyebut potret hari ini menunjukkan kalau pihak ATR/BPN sejak awal memang tidak berniat untuk membuka ruang dalam hal penyelesaian konflik.

“BPN tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Bulukumba, BPN mengingkari kesepakatan pada aksi sebelumnya. Jika BPN serius menyelesaikan konflik maka tentu tidak sulit mengundang seluruh pihak yang berkepentingan, mengingat konflik ini sudah berlangsung lama,” jelas Ahmad.

Sementara itu, Hasbi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menegaskan pihak dari ATR/BPN sebagai representasi negara, tidak berpihak pada rakyat.

“Pada prinsipnya dalam konteks hukum dan hukum dan hak asasi manusia, sebelum menetapkan SK Pembaruan HGU bahkan sebelum proses itu dilakukan, BPN Wilayah Sulsel harus menyelesaikan terlebih dahulu konflik agraria yang terjadi, dan melaksanakan perintah undang-undang untuk mengembalikan tanah-tanah milik masyarakat,” tegas Hasbi.

Perwakilan (GRAMT), Iqbal mengatakan kalau pihak ATR/BPN seharusnya belajar dari sejarah panjang konflik ini.

“Kasus Lonsum VS Kaum Tani & Masyarakat Adat Kajang bukanlah kasus baru. Bahkan konflik tersebut telah mengakibatkan korban jiwa sehingga butuh peran aktif BPN dalam proses penyelesaian konflik. Jangan kita menunggu terjadi pergolakan di masyarakat dan terjadi tindakan kekerasan baru kita mau bertindak,” jelas Iqbal.

Dalam aksi tersebut, pihak dari BPN menegaskan bahwa tidak akan ada penerbitan sertifikat HGU untuk PT. Lonsum sebelum adanya pertemuan untuk menyelesaikan konflik.

Hal ini diketahui pasca salah satu massa aksi bertanya perihal kecurigaannya terhadap pertemuan tersebut sebagai penggugur administrasi saja.

“Gak, gak (tidak ada penerbitan SK HGU sebelum dialog),” tegas Hanung, Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah ATR/BPN Sulsel.

Selain janji tersebut, pihak ATR/BPN yang dalam hal ini Hanung menyepakati permintaan dari massa aksi untuk diberikan kepastian persoalan jadwal dialog antar pihak terkait dalam penyelesaian konflik melalui berita acara yang ditandatangani bersama yakni Jumat, 02 Februari 2024.

Hasbi menjelaskan bahwa kita mesti mengingat kembali sejarah panjang perampasan lahan yang dilakukan oleh PT. PP Lonsum Bulukumba yang telah meninggalkan banyak masalah bagi kaum tani.

Sejak awal pasca di konversi dari Hak Erfpacht di tahun 1961, tindakan perampasan lahan telah mulai massif terjadi dan diperparah pasca pengesahan UU PMA 1967. PT. Perkebunan Sulawesi sebagai anak Perusahaan PT. London Sumatra memperoleh konsesi 6.592,58 Ha dari total keseluruhan yang dimohonkan seluas -+ 7.092, 82 Ha yang sebelumnya bernama NV. Celebes Landbouw Maatschappij sebagaimana surat Kepmendagri No.39/HGU/DA/76, di atas tanah-tanah petani yang kemudian berlaku surut ke tahun 1968. Selebihnya dikeluarkan di tahun 1974 untuk penduduk/Penggarap (Desa Saptamarga).

Pada periode tersebut terjadi tindakan klaim sepihak dan perampasan tanah petani di dusun Balihuko (desa Bontomangiring), Kampung Sampeang (desa Swatani) sudah terjadi.

Selanjutnya perampasan tanah semakin masif pada periode 1978-1979. PT. Lonsum Bulukumba merampas tanah rakyat perkiraan seluas 150 ha di dusun Balihuko Desa Bonto Mangiring, di kampung Sampeang Desa Swatani seluas sekitar 350 ha, dan sekitar 373 ha di Desa Balong Kec. Ujung Loe.
Tidak berhenti sampai di situ, periode 1980 PT. Lonsum Bulukumba semakin barbar melakukan perampasan lahan hingga tahun 1992.

“Data yang terhimpun setidaknya dari hasil Tim verifikasi Faktual tahun 2012 menunjukkan perampasan lahan hingga kembali mendapatkan Perpanjangan HGU di tahun 1997 tanpa mengeluarkan tanah-tanah milik masyarakat di 5 Kecamatan (Ujung Loe, Herlang, Kajang, Bulukumpa, dan Rilau Ale) dengan 14 Desa (Tamatto, Balleanging, Balon Kec. Ujung Loe; Karassing, Tugondeng Kec. Herlang; Tambangan, Bonto Biraeng, Malleleng, Bontto Rannu, Sangkala Kec. Kajang; Bonto Mangiring, Jojjolo, Tibona, Kec. Bulukumpa; dan Swatani Kec. Rilau Ale) dengan total lahan seluas 2.555,30 Ha yang telah dirampas sebelumnya”, ungkapnya.
“Tentu kita masih ingat pada tahun 2003, 2013 dan 2018 terjadi tindakan pendudukan lahan kembali yang merupakan tindakan aktif masyarakat untuk merebut kembali tanah mereka yang dirampas oleh Perusahaan dan berbuah tindakan kekerasan hingga bermuara pada hilangnya nyawa dan penjara terhadap masyarakat yang berjuang merebut kembali tanahnya. Jika pemerintah dalam hal ini BPN tidak mengambil tindakan aktif untuk menyelesaikan konflik agraria PT. Lonsum dengan masyarakat, bukan hal yang mustahil tindakan kekerasan yang terjadi pada tahun tersebut akan berulang ditahun ini”, sambungnya

Menurutnya hal ini menunjukkan kegagalan negara untuk hadir mengatur hubungan hukum antara masyarakat dengan tanahnya yang berkonflik dengan perusahaan. Sehingga dari hal tersebut dapat dinilai bahwa pemerintah dalam hal ini BPN kehilangan fungsinya untuk mengatur dan melindungi hak rakyat, dan mutlak menjadi pelayan pengusaha.

Pihaknya pun mendesak agar BPN Wilayah Sulawesi Selatan menghentikan proses pembaruan HGU PT. London Sumatera, oleh karena masih terdapat lahan-lahan milik masyarakat yang diklaim dan tidak dikeluarkan dari wilayah HGU lama.

“Mendesak BPN Sulawesi Selatan bertindak aktif dan mengambil inisiatif menjalankan wewenangnya sesuai dengan Undang-Undang untuk melakukan penelitian dan memeriksa secara substantif status tanah, riwayat tanah, dan hubungan hukum antara tanah termasuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi dan memprioritaskan untuk mengeluarkan lahan yang dimiliki oleh masyarakat dalam lahan yang diajukan sebagai lokasi HGU sebagaimana mandat UUPA dan Konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum, dalam hal ini kesejahteraan untuk Petani serta bertindak aktif menentukan waktu untuk perundingan sebagai upaya penyelesaian konflik”, jelasnya