KabarMakassar.com — Era transformasi digital ditandai dengan maraknya sosial media. Tak dibatasi oleh usia, penggunaannya begitu digandrungi hingga lintas generasi.
Perubahan yang serba cepat ini tidak menutup kemungkinan akan membawa ke arah tertentu, baik itu condong ke positif maupun ke negatif.
Apabila membahas terkait dampak buruk yang muncul maka yang harus diperhatikan adalah dengan adanya penyebaran hoaks yang sulit dibendung.
Hal tersebut karena literasi digital dan wawasan masyarakat Indonesia yang terbilang masih minim. Olehnya itu, literasi digital berupa pemahaman kepada masyarakat tentang bijak bersosial media harus terus dilakukan oleh berbagai pihak.
Sekretaris Dinas Kominfo Statistik dan Persandian (Diskominfo-SP) Sulsel, Sultan Rakib juga turut mengungkapkan bagaimana menghadapi sosial media.
“Ini bukan saja tanggung jawab pemerintah semata, ini tanggung jawab semua pihak. Bermedia sosial penting tapi jauh lebih penting mengedepankan etika dan budaya,” ujarnya.
Ia menyampaikan agar masyarakat dapat bijak dalam bersosial media.
“Jangan biarkan jempol kita mengalahkan pikiran kita,” sambungnya.
Sultan Rakib menuturkan, sosial media kini telah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Penyebaran hoaks atau berita bohong paling banyak melalui media sosial.
Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), kata Sultan, pada tahun 2024, penyebaran berita hoaks sebesar 11,12 persen melalui media mainstream atau media online, sedangkan 29,12 persen melalui media chat.
“Paling banyak adalah melalui sosial media sebesar 59,75 persen. Ini yang menjadi kekhawatiran kita semua. Wajib mewaspadai ini,” pungkasnya.
Prinsip 3S “Saring Sebelum Sharing” menjadi hal terpenting dalam mencegah peredaran hoaks di tengah masyarakat. Literasi digital di sekolah-sekolah, kelompok masyarakat dan lain sebagainya waiib terus ditingkatkan.