KabarMakassar.com — Setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional yang tepatnya jatuh pada hari ini, Minggu (10/11).
Tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional berdasarkan putusan pemerintah untuk mengenang peristiwa dan perjuangan para pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di Sulawesi Selatan (Sulsel) terdapat sejumlah pahlawan yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Hingga saat ini, sejumlah nama pahlawan asal Sulsel diabadikan dalam bentuk nama jalan, gedung pemerintahan hingga nama perguruan tinggi.
Berikut daftar Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan:
1. Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin merupakan Raja Gowa ke 16 yang lahir pada 12 Januari 1631 di Makassar.
Sultan Hasanuddin wafat pada 12 Juni 1670 di Makassar saat berusia 39 tahun dan dimakamkan di Kabupaten Gowa.
Sultan Hasanuddin dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda, yang artinya Ayam Jantan dari Timur karena sangat keras menentang Belanda dengan berbagai perjanjian dan tuntutan VOC yang ditolak.
Pada 7 Juli 1667 terjadi pertempuran besar antara Pasukan VOC yang dipimpin Speelman dengan pasukan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin di mana pertempuran tersebut berjalan beberapa bulan yang menimbulkan kerugian pada pihak kerajaan Gowa.
Kondisi ini kemudian melahirkan perjanjian Bongaya yang merupakan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya.
Penandatanganan ini dilakukan oleh Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.
Namun, perjanjian ini kemudian merugikan kerajaan Gowa sehingga Sultan Hasanuddin pun menolak perjanjian ini.
2. Ranggong Daeng Romo
Ranggong Daeng Romo adalah seorang pejuang gerilya yang memimpin Organisasi Angkatan Muda Bajeng untuk mengibarkan jiwa dan semangat perjuangan menentang Belanda.
Ranggong Daeng Romo merupakan pahlawan kelahiran Takalar yang meninggal pada 27 Februari 1947 di Markas Besar LAPRIS pada usia 32 tahun dan dimakamkan di Takalar.
Pada 5 Desember 1945, Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi Komandan Barisan Gerakan Muda Bajeng yang bergerak pada bidang kemiliteran dan pemerintahan.
Gerakan Muda Bajeng yang dipimpin Ranggong Daeng Romo beberapa kali mengalami bentrokan senjata dengan Belanda demi usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada 2 April 1946 Gerakan Muda Bajeng diubah menjadi Laskar Lipan Bajeng dan Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi pimpinan tertinggi lalu pada 17 Juli 1946 terbentuklah Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dan Ranggong Daeng Romo menjadi panglima.
Pada 8 Agustus 1946, pasukan berhasil mempertahankan markas besar LAPRIS di Rannaya Palembangkung. Namun Ranggong Daeng Romo tewas dalam perlawanan mempertahankan daerah dari serangan pasukan Belanda.
3. Andi Mappanyukki
Andi Mappanyukki merupakan pahlawan nasional asal Bone yang memperjuangkan kemerdekaan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.
Saat berumur 16 tahun ia diangkat menjadi Datu Suppa dan pada tahun 1905 ia dipercaya menjadi Letnan Tentara Kerajaan Gowa dan melawan Belanda menggunakan taktik gerilya.
Karena kecerdasannya Belanda sering memberikan penawaran Andi Mappanyukki untuk bergabung, namun selalu ditolak. Andi Mappanyuki juga pernah ditawan oleh lawan bersama pasukannya. Namun ia kemudian dibebaskan pada tahun 1909.
Pada 2 April 1931 Andi Mappanyukki dipilih sebagai Raja Bone ke-XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim melalui melalui sidang Ade Pitue.
Pada periode 1945-1950, Andi Mappanyukki mengorbankan jiwa raga dan hartanya sebagai bangsawan tinggi untuk memimpin raja-raja di Sulawesi Selatan untuk Bersatu dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950.
Andi Mappanyukki mendapat gelar lengkap Haji Andi Mappanyukki Sultan Matinroweri Jongaya.
Ia meninggal pada 18 April 1967 di Jongaya dan dimakamkan TMP Panaikang, Makassar.
4. Pong Tiku
Pong Tiku merupakan bangsawan Toraja sekaligus panglima perang dalam perlawanan terhadap Penjajah Belanda.
Pada tahun 1905 setelah Belanda menaklukkan satu persatu kerajaan di Sulsel, Tana Toraja menjadi incaran selanjutnya untuk dikuasai.
Operasi militer Belanda untuk menduduki Tana Toraja dimulai dari Palopo. Pada Maret 1906 Belanda mengirim surat kepada Pong Tiku meminta agar ia datang ke Rantepao.
Pong Tiku menolak dengan tegas dan permintaan kedua yang disampaikan Belanda pada pertengahan April 1906 juga ditolak.
Belanda akhirnya memutuskan untuk melancarkan serangan ke benteng-benteng pertahanan Pong Tiku. Pertempuran sengit antara Pong Tiku dan Belanda tidak terelakkan.
Satu per satu benteng pertahanan Pong Tiku dikuasai oleh Belanda.
Pong Tiku dan pasukannya terdesak namun ia berhasil menyelamatkan diri dari kejaran Belanda.
Tak berlangsung lama, Pong Tiku segera ditangkap di persembunyiannya kemudian dijatuhi hukuman mati pada 30 Juni 1907.
Pong Tiku dikenal dengan nama Ne Baso meninggal 10 Juli 1907 di Sungai Sadan, Sinki Rantepao, Toraja. Ia meninggal di usia 61 tahun dan dimakamkan di TPU Pangala, Tana Toraja.
5. La Maddukelleng
La Maddukelleng memimpin pasukan dari suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan, untuk melawan Belanda.
Perjuangan La Maddukelleng dimulai ketika membantu pasukan Daeng Parani, Daeng Marewa dan Haji Sore melawan Johor pada tahun 1715-1721.
La Maddukelleng mengirim pasukan yang dipimpin oleh La Banna To Asak dan memenangkan peperangan.
Pada 1726 La Maddukelleng diangkat menjadi Sultan Pasir. Pada tahun ini juga ia memerintahkan La Banna To Asak untuk menyerang Maradia Balapina yang pro dengan Belanda.
Misi tersebut berhasil memperoleh kemenangan. La Maddukelleng melanjutkan perjuangan dengan mengirim pasukannya menuju Gowa dan menembaki Benteng Ujung Pandang tempat persembunyian Belanda.
La Maddukelleng berulang kali menolak menyatakan persaudaraan dengan VOC.
Pada Februari 1741 terjadi peperangan sengit dalam waktu yang cukup lama antara Wajo dengan Belanda, namun pasukan VOC (Smout) dapat dipukul mundur oleh pasukan Wajo yang dipimpin La Maddukelleng.
La Maddukelleng meninggal di Wajo pada tahun 1765 tepatnya di usia 65 tahun dan dimakamkan di Wajo.
6. Andi Djemma
Andi Djemma merupakan Raja atau Datu Luwu yang memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu terhadap Belanda selama Revolusi Nasional.
Andi Djemma memprakarsai pembentukan organisasi Soekarno Muda (SM) pada tanggal 2 September 1945 untuk melakukan gerakan merebut senjata Jepang di Palopo.
Ia juga menyatakan bahwa daerah Luwu adalah bagian dari NKRI.
Selain itu, Andi Djemma juga menegaskan bahwa Pemerintah Luwu menolak kerja sama dengan aparat NICA pada masa itu.
Andi Djemma meninggal di usia 64 tahun pada tanggal 23 Februari 1965 di Makassar dan dimakamkan di TMP Panaikang Makassar.
7. Emmy Saelan
Emmy Saelan merupakan pahlawan nasional wanita asal Sulsel yang bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) di bawah komando Ranggong Daeng Romo pada tahun 1946.
Emmy Saelan memiliki nama asli Salma Soehartini Saelan yang bergabung dalam LAPRIS sebagai penanggung jawab dalam Bagian Palang Merah.
Ia merawat para pejuang yang terluka dan juga berjuang dengan mengangkat senjata.
Emmy Saelan mendapatkan misi spionase, yakni mata-mata untuk mencari informasi mengenai kekuatan NICA.
Saat menjalankan misi tersebut, posisi Emmy Saelan terbaca oleh pihak lawan. Kontak senjata pun tidak terhindarkan.
Pada 20 Januari 1947 posisi Emmy Saelan terdesak hingga terkepung oleh NICA.
Dalam pengepungan tersebut, Emmy Saelan mengambil tindakan dengan meledakkan granat dan Emmy Saelan gugur bersama para tentara NICA yang mengepungnya.
8. Andi Pangerang Petta Rani
Andi Pangerang Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang adalah birokrat, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari bangsawan Suku Makassar dan Bugis serta menjadi Gubernur Sulawesi terakhir.
Andi Pangerang Petta Rani pernah menjalani profesi sebagai tentara dan turut berjuang melawan penjajah.
Pada masa itu tentara Hindia Belanda sempat menguasai kawasan di Sulawesi Selatan, bahkan mereka memiliki beberapa Benteng pertahanan yang terletak di beberapa lokasi, seperti Benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba Opu.
Pada Agustus 1945 Andi Pangerang Petta Rani ditunjuk sebagai anggota delegasi Sulawesi ke Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Ia bersama dengan Dr. Sam Ratulangi dan Andi Sultan Daeng Radja mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI yang pada saat itu diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1945.
Andi Pangerang Petta Rani tutup usia 72 tahun. Ia meninggal pada 12 Agustus 1975 di Ujung Pandang.
9. Syekh Yusuf
Syekh Yusuf Tajul Khalwati memiliki sejarah perjuangan melawan Belanda di Gowa, Banten hingga Afrika Selatan.
Kegigihan perjuangan Syekh Yusuf Tajul Khalwati membuat rakyat Banten bersemangat mengusir penjajah bersama Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada masa itu Syekh Yusuf memiliki pengaruh yang luar biasa dan berhasil meningkatkan kewibawaan kerajaan Banten diantara Raja-raja di Nusantara.
Syekh Yusuf sepeninggal Sultan Ageng Tirtayasa, memimpin perang Gerilya bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul di daerah Tangerang.
Pada tahun 1684 Syekh Yusuf dibuang ke pulau Ceylon Sri Lanka.
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf membentuk jaringan Islam yang luas. Melalui murid-muridnya di Nusantara Syekh Yusuf terus mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.
Dampaknya, Belanda memindahkan Syekh Yusuf ke Zandvliet, Afrika Selatan.
Meski begitu, Syekh Yusuf terus menyebarkan Agama Islam sekaligus semangat anti penjajahan terhadap rakyat Afrika Selatan hingga wafat pada 23 Mei 1699.
Syekh Yusuf meninggal di Cape Town, Afrika Selatan pada usia 73 tahun dan dimakamkan di Gowa, Sulawesi Selatan.
10. Andi Abdullah Bau Massepe
Andi Abdullah Bau Massepe merupakan panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin.
Andi Abdullah Bau Massepe adalah putra dari Andi Mappanyukki yang memiliki sikap kerakyatan dan demokratis yang mampu berbaur dengan baik bersama rakyat biasa.
Perjuangannya Andi Abdullah Bau Massepe melawan penjajah ditempuh melalui jalur politik dan militer.
Dalam bidang politik ia menjaga keselamatan dan keamanan rakyat Sulawesi dan pada militer ia mendirikan pemuda Pandu Nasional Indonesia (PNI) sebagai kekuatan pergerakan bersenjata menghadapi NICA.
Andi Abdullah Bau Massepe gugur setelah ditembak mati oleh Belanda pada 2 Februari 1947 di Pare-Pare dan dimakamkan di TMP Paccekke, Kota Pare-Pare.
11. Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju merupakan politisi wanita pertama yang berperang melawan Belanda selama Revolusi Nasional.
Awal abad XX, tahun 1927 Opu Daeng Risadju menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-Pare.
Pada 14 Januari 1930 ia terpilih menjadi ketua PSII dan sering mengikuti kongres PSII baik di Sulawesi Selatan maupun di PSII Pusat Batavia.
Opu Daeng Risadju bersama kurang lebih 70 orang anggota PSII ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke penjara Masamba.
Penangkapan dirinya untuk mengurangi aksi-aksi atau gerakan perlawan dan serta menghadang perluasan ajaran PSII.
Pada tahun 1946 Opu Daeng serta Pemuda Republik melakukan serangan terhadap tentara NICA.
Setelah itu, terjadi serangan balasan kepada pasukan Opu Daeng Risadju yang mengakibatkan banyak pemuda gugur.
Opu Daeng Risadju kemudian ditangkap dan dipenjara di Belopa yang membuat telinganya tuli seumur hidup.
Opu Daeng Risadju dijuluki Srikandi di Tana Luwu karena perannya yang aktif memperjuangkan kebangkitan nasional di Sulawesi Selatan.
Opu Daeng Risadju meninggal pada 10 Februari 1964 di Palopo dan dimakamkan di TMP Belopa.
12. Padjonga Daeng Ngalle
Padjonga Daeng Ngalle merupaka Ketua Laskar Gerakan Muda Bajoang, dan Koordinator Serangan di Sulawesi Selatan selama Revolusi Nasional.
Pahlawan nasional asal Sulsel ini menduduki kepala pemerintahan distrik pada tahun 1934.
Pada tahun 1945 ia bersama bangsawan lain seperti, Andi Mappanyukki, Andi Djemma, Andi Bau Massepe, dan Andi Pettarani mengikuti konferensi raja-raja se-Sulawesi untuk mendukung pemerintah RI di Sulawesi.
Ia kemudian menjadikan Polongbangkeng sebagai pusat gerakan menggantikan posisi Makassar.
Selain itu, Padjonga Daeng Ngalle juga mempersatukan para tokoh pemuda perjuangan dari Makassar, Takalar, Gowa, dan Bantaeng.
Untuk mempertahankan proklamasi, Padjonga Daeng Ngalle membentuk dan memimpin Laskar Gerakan Muda Bajoang sebagai wadah perjuangan bersenjata.
Pada Juli 1946, Laskar Lipan Bajoang melaksanakan konferensi antar laskar yang dihadiri oleh 19 laskar yang membentuk LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi).
Padjonga Daeng Ngalle meninggal pada 23 Februari 1958 di Takalar dan dimakamkan di Palleko, Takalar.
13. Andi Sultan Daeng Radja
Andi Sultan Daeng Radja merupakan tokoh Kemerdekaan Indonesia yang turut aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Andi Sultan Daeng Radja aktif dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan tercatat sebagai salah satu pemrakarsa pembentukan organisasi Persatuan Pergerakan Nasional Indonesia (PPNI).
Andi Sultan Daeng Radja meninggal pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar di usia 68 tahun dan dimakamkan di Jalan Kusuma Bangsa, Bulukumba.