kabarbursa.com
kabarbursa.com
News  

Bolehkah Musafir Tidak Berpuasa? Ini Panduan Berdasarkan Al-Qur’an

Bolehkah Musafir Tidak Berpuasa? Ini Panduan Berdasarkan Al-Qur'an
Ilustrasi Musafir (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Puasa Ramadan merupakan salah satu kewajiban utama bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis.

Namun, dalam pelaksanaannya, Islam juga memberikan kemudahan bagi umatnya yang mengalami kondisi tertentu, salah satunya adalah orang yang sedang dalam perjalanan atau musafir.

Pemprov Sulsel

Keringanan ini merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya agar ibadah tetap dapat dilakukan tanpa memberatkan.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185: “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”

Ayat ini menegaskan bahwa seseorang yang sedang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan wajib menggantinya di hari lain.

Kemudahan ini diberikan agar ibadah puasa tidak menjadi beban yang berlebihan bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan jauh.

Selain itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat bagi musafir, dan meringankan kewajiban puasa bagi musafir, wanita hamil, dan wanita menyusui.”

Hadis ini menunjukkan bahwa ada keringanan khusus bagi orang-orang dalam kondisi tertentu, termasuk musafir, untuk meninggalkan puasa dengan syarat menggantinya di lain waktu.

Dalam riwayat lain yang dicatat oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW sendiri pernah berbuka puasa saat dalam perjalanan, bahkan beliau menegur beberapa sahabat yang tetap berpuasa dalam keadaan yang menyulitkan.

Hal ini menunjukkan bahwa mengambil keringanan dalam Islam bukanlah suatu kelemahan, melainkan bentuk kepatuhan kepada syariat.

Terkait dengan batasan perjalanan yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i menetapkan bahwa jarak yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa adalah sekitar 80-90 km.

Jika seseorang bepergian sejauh itu atau lebih, maka ia termasuk dalam kategori musafir dan diperbolehkan untuk berbuka puasa. Namun, ada juga pandangan lain yang menilai bahwa yang lebih penting bukan sekadar jarak, tetapi tingkat kesulitan yang dialami selama perjalanan.

Jika perjalanan menyebabkan kelelahan atau kesulitan yang berlebihan, maka dianjurkan untuk mengambil rukhsah atau keringanan dengan berbuka puasa.

Dalam praktiknya, seorang musafir juga perlu mempertimbangkan apakah lebih baik tetap berpuasa atau mengambil rukhsah dengan berbuka.

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 185, Allah SWT berfirman, “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Ayat ini mengindikasikan bahwa jika seseorang merasa mampu berpuasa tanpa mengalami kesulitan yang berarti, maka lebih baik baginya untuk tetap berpuasa.

Namun, jika perjalanan yang ditempuh menyebabkan kelelahan yang bisa berdampak pada kesehatan atau aktivitas lain, maka mengambil keringanan dengan berbuka adalah pilihan yang lebih utama.

Rasulullah SAW juga pernah mencontohkan dalam beberapa perjalanan bahwa beliau kadang berpuasa dan kadang berbuka. Dalam satu riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu perjalanan, ada sahabat yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka.

Kemudian, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, dan beliau menjawab bahwa tidak ada yang lebih baik di antara keduanya, selama keputusan tersebut didasarkan pada kondisi masing-masing.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan fleksibilitas dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuan seseorang.

Dalam konteks kehidupan modern, perjalanan jauh semakin mudah dilakukan dengan adanya kendaraan yang lebih nyaman, seperti mobil, kereta, atau pesawat.

Beberapa ulama berpendapat bahwa jika perjalanan tersebut tidak menyebabkan kesulitan yang berarti, maka tidak ada alasan untuk berbuka puasa.

Namun, jika perjalanan tersebut tetap melelahkan, misalnya karena perjalanan panjang atau perbedaan waktu yang ekstrem seperti dalam penerbangan antarnegara, maka mengambil rukhsah lebih dianjurkan.

Menurut, Ustadz Syafiq Riza Basalamah memaparkan tentang keringanan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi mereka yang sakit atau sedang melakukan perjalanan jauh.

Panduan ini merujuk pada ayat 185 dari surah Al-Baqarah, yang menegaskan bahwa orang yang sakit atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan wajib menggantinya di hari lain.

Seperti yang dijelaskan oleh Ustadz Syafiq, dalam Islam ada kelonggaran bagi musafir untuk tidak berpuasa, sebagaimana juga salat dapat dipendekkan bagi mereka yang dalam perjalanan.

Namun, beliau menegaskan bahwa jika seseorang merasa mampu dan tidak terlalu terbebani untuk berpuasa saat melakukan perjalanan, itu menjadi lebih baik baginya.

Rasulullah SAW juga mengajarkan bahwa memaksa diri untuk berpuasa saat dalam perjalanan yang menyebabkan sakit dan kelelahan bukanlah bagian dari amal kebaikan.

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Sa’id Al-Khudri, disebutkan bahwa saat berperang di bulan Ramadan, ada yang berpuasa dan ada yang berbuka, dan tidak ada yang menyalahkan satu sama lain karena setiap orang mengetahui kondisi dan kemampuan badannya sendiri dalam menjalankan ibadah puasa.

“Oleh karena itu, tidak berpuasa saat dalam perjalanan diperbolehkan dengan syarat menggantinya atau mengqadha di hari lain setelah Ramadan,” tegasnya.

Sebagai kesimpulan, hukum puasa Ramadan bagi musafir adalah diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis.

Islam memberikan keringanan ini bukan sebagai bentuk kelonggaran tanpa alasan, tetapi sebagai bentuk kemudahan agar umat Muslim tetap bisa menjalankan ibadah dengan baik tanpa memberatkan diri sendiri. Seorang musafir memiliki pilihan untuk tetap berpuasa atau berbuka, tergantung pada kondisinya masing-masing.

Yang terpenting adalah memahami bahwa Islam selalu memberikan kemudahan bagi pemeluknya, selama keputusan yang diambil tetap berada dalam batasan syariat dan dilakukan dengan penuh kesadaran akan kewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan.

harvardsciencereview.com
https://inuki.co.id