kabarbursa.com
kabarbursa.com

Apindo Sulsel: Kenaikan UMP Dapat Picu Beban Operasional Usaha

Apindo Sulsel: Kenaikan UMP Dapat Picu Beban Operasional Usaha
Wakil Ketua Apindo Sulsel, Subhan Djaya Mappaturung (Dok : Hanifah KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulawesi Selatan, Subhan Djaya Mappaturung, memberikan tanggapan terkait kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5%.

Ia mengapresiasi perhatian pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyoroti pentingnya kebijakan yang berpihak pada dunia usaha.

Pemprov Sulsel

Menurut Subhan, dunia usaha memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi, mencapai hampir 80%.

Oleh karena itu, ia menekankan perlunya ruang yang cukup bagi pelaku usaha untuk tetap berkembang. Jika tidak ada kebijakan yang mendukung, ia memperingatkan bahwa target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan pemerintah akan sulit tercapai.

“Kami mengapresiasi apa yang jadi konsen pemerintahan saat ini, terutama dalam memberikan target-target pertumbuhan ekonomi, kita dari dunia usaha akan mensupport itu. Tapi tentu saja, angka ini bukan sekedar angka, tetapi dibarengi dengan kebijakan dan strategi yang jelas, tentunya yang berpihak pada dunia usaha. Apalagi, sektor usaha memiliki peran yang cukup besar,” katanya, Selasa (10/12).

Subhan menjelaskan, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada investasi, yang berasal dari pemupukan modal dan keuntungan usaha.

Namun, ia mengingatkan bahwa jika pelaku usaha mengalami kesulitan dalam melakukan pemupukan modal, maka aliran investasi baru juga akan terganggu. Hal ini dapat berdampak negatif pada keberlanjutan dunia usaha.

Ia juga menyoroti dampak kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat.

Menurutnya, kebijakan ini dapat menyebabkan masyarakat menunda pembelian, yang pada akhirnya akan mengganggu sektor konsumsi.

Ditambah, adanya kebijakan opsyen kendaraan juga dianggap sebagai tantangan tambahan yang memerlukan kebijaksanaan pemerintah dalam penerapan dan strateginya.

Terkait dengan kenaikan UMP, Subhan mengaku bahwa formula baru yang digunakan dalam penetapan upah ini menimbulkan pertanyaan.

Ia menjelaskan bahwa sebelumnya sudah ada formula penghitungan yang disepakati, namun kini muncul formula baru yang diterapkan secara seragam di seluruh provinsi. Hal ini, menurutnya, menambah beban bagi dunia usaha.

“Tentunya dengan adanya base line 6,5% yang diterapkan di seluruh provinsi membuat pelaku usaha kesulitan, sebab akan ada dampak yang muncul. Saat ini kami bingung, karena kami sudah miliki formula penghitungan yang telah disepakati, lalu ada formula penghitungan baru,” lanjutnya.

Kenaikan UMP sebesar 6,5%, lanjut Subhan, akan berdampak langsung pada biaya operasional pelaku usaha.

Kondisi ini dapat mengancam keberlangsungan usaha, terutama bagi sektor industri padat karya yang paling rentan terkena dampaknya.

Salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah potensi efisiensi tenaga kerja, termasuk kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Subhan menyebut bahwa langkah efisiensi seperti PHK sering kali menjadi pilihan termudah bagi pelaku usaha dalam situasi sulit.

Ia menegaskan perlunya dialog lebih mendalam antara pemerintah dan dunia usaha untuk mencari solusi yang saling menguntungkan.

Subhan menyebut, Apindo saat ini berharap formula lama dalam penghitungan UMP dapat tetap digunakan, atau setidaknya kebijakan ini tidak terlalu jauh dari kondisi tahun sebelumnya.

Menurutnya, penerapan formula baru akan lebih relevan jika pertumbuhan ekonomi nasional sudah mencapai target yang lebih tinggi, seperti 8% pada 2025.

Namun, jika biaya operasional meningkat lebih dahulu sementara pertumbuhan ekonomi belum optimal, hal ini justru akan menjadi beban yang memberatkan bagi pelaku usaha.

“Harapan kami masih gunakan formula lama, paling tidak tidak jauh dari tahun sebelumnya. Dengan pertimbangan pertumbuhan ekonomi nasional masih di sekitar 4,5-5%. Kalaupun ada target baru, misal di 2025 berhasil mencapai 8% itu baru bisa kita terapkan formula baru 6,5% pada 2026,” harapnya.

Subhan mengakhiri dengan harapan bahwa pemerintah dapat memberikan relaksasi di sektor lain guna meringankan beban dunia usaha, sekaligus mendorong dialog yang lebih intensif untuk memastikan keberlangsungan usaha dan stabilitas tenaga kerja.

Untuk informasi, Kenaikan upah minimum tahun 2025 telah resmi ditetapkan sebesar 6,5%. Pengumuman ini disampaikan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada 29 November 2024 dan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 16/2024, yang mulai berlaku pada 4 Desember 2024.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan bahwa angka 6,5% berlaku untuk kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Pemerintah juga menetapkan bahwa kenaikan tidak boleh kurang dari 6,5%, meskipun daerah yang mampu diperbolehkan memberikan kenaikan lebih tinggi.

Penetapan ini, menurut Yassierli, bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Angka tersebut didasarkan pada kajian yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Kebijakan ini, lanjutnya, dibuat khusus untuk tahun 2025 dan berbeda dari tahun sebelumnya yang menggunakan formula lama berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023. Formula tersebut telah dinyatakan tidak berlaku setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja.

Kebijakan kenaikan ini langsung menuai reaksi beragam. Sebagian kelompok buruh menerima keputusan tersebut, tetapi ada juga yang mempertanyakan dasar perhitungan angka 6,5%. Di sisi lain, pelaku usaha menyampaikan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap keberlangsungan bisnis.

Menteri Yassierli menjelaskan bahwa kenaikan ini hanya berlaku untuk tahun 2025. Ke depan, pemerintah akan melakukan studi lebih mendalam untuk menentukan formula yang lebih komprehensif dengan melibatkan para pakar, buruh, dan pengusaha.

Seluruh upah minimum tahun 2025 akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. UMP dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dijadwalkan diumumkan paling lambat 11 Desember 2024, sedangkan UMK dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) akan diumumkan pada 18 Desember 2024. Pemerintah menegaskan bahwa jika sebuah kota atau kabupaten tidak menetapkan UMK atau UMSK, maka UMP akan menjadi dasar yang berlaku.

Pemerintah berharap kebijakan ini dapat memberikan perlindungan bagi pekerja dan membantu meningkatkan daya beli di tengah dinamika ekonomi. Kebijakan ini juga diharapkan menjadi dasar untuk memperbaiki sistem penetapan upah minimum yang lebih baik di masa mendatang.