KabarMakassar.com — Ratusan warga yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Tolak Tambang Sungai Saddang, menggelar aksi demonstrasi penolakan tambang pasir di di Kantor Bupati dan DPRD Pinrang.
Setidaknya warga yang tergabung berasal dari lima Desa diantaranya Desa Bababinanga, Desa Salipolo, Desa Padang Palie, Desa Kaliang, dan Desa Paria.
Melalui aksi ini, Koalisi mendesak pemerintah daerah untuk mencabut izin tambang pasir di hilir Sungai Saddang.
Mereka meminta pihak pemerintah menyepakati tuntutan dan menandatangani berita acara yang berisikan tuntutan dan pernyataan menolak keberadaan tambang pasir di hilir Sungai Saddang, Pinrang.
Inisiatif aksi demonstrasi ini muncul dari warga yang semakin khawatir terhadap ancaman bencana ekologis di Desa mereka yang berada di sekitar hilir Sungai Saddang.
Selain itu, jarak pemukiman masyarakat dengan sungai menjadi alasan utama kenapa sungai tidak boleh di tambang.
Sungai merupakan sumber penghidupan masyarakat yang berada di wilayah hilir. Aliran sungai telah menghidupi lahan-lahan pertanian dan tambak masyarakat berpuluh-puluh tahun lamanya.
Sungai Saddang juga merupakan jalur transportasi antar kampung, dan masyarakat memiliki keyakinan terhadap sungai sebagai ranah spiritual mereka yang dapat dilihat melalui budaya tutur dan cerita-cerita rakyat yang bermukim di hilir Sungai Saddang.
“Wilayah desa kami sudah sering mengalami banjir, terakhir banjir terparah pada tahun 2009, akibat banjir tersebut sekitar 215 rumah dipindahkan dari kampung, itu belum ditambang, apa lagi jika sungai ini di tambang, saya yakin dalam waktu kurang dari dua tahun kampung kami akan hilang dan tenggelam maka, kami dengan tegas dan keras tidak menginginkan ada aktivitas pertambangan pasir di sungai saddang,” ucap Zakir, perwakilan warga pada saat pertemuan di Aula Kantor Bupati Pinrang.
Hingga saat ini telah terdapat setidaknya 10 lokasi izin tambang di wilayah hilir Sungai Saddang diantaranya, PT. Putra Talume Manisa, PT. Nur Qomarryyah Abadi, PT. Mega Pasir Emas, CV. Cahaya Maulana, CV. Bintang Tiga Putra, PT. Sumber Alam Rezeki Group, PT. Mesona Makassar Bali, PT. Pinra Labagi, PT. Pasir Samudera Jaya, dan Alokasi Tambang RTRW Provinsi Sulawesi Selatan.
Dari semua izin tersebut berdasarkan pengetahuan masyarakat tidak satupun informasi yang diketahui dari keberadaan tambang di desa mereka.
“Kami telah menerima informasi sedikitnya sekarang telah ada 10 izin tambang yang ada di wilayah hilir sungai saddang, dan kami masyarakat yang tinggal di sekitaran lokasi tersebut sama sekali tidak pernah diberitahu terkait itu, artinya keberadaan tambang ini sama sekali tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang akan terdampak akibat adanya tambang pasir ini,” pungkas Pandi, pendamping warga.
Sungai Saddang merupakan salah satu sungai terbesar dan terpanjang di sulawesi selatan dan barat yang mencakup lima kabupaten, Mamasa Sulawesi Barat, Toraja Utara Sulawesi selatan, Tanah Toraja, Enrekang, dan Pinrang.
Sungai ini menampung cukup besar debit air, oleh karenanya wilayah hilir sangat rentang terhadap bencana ekologis seperti banjir.
Zona tambang yang dialokasikan tersebut adalah Kawasan Perlindungan Setempat dan Kawasan Perikanan Tangkap Tradisional dan dalam Peta InaRISK Badan Nasional Penanggulangan Bencana-BNPB, Sungai Saddang dan sekitarnya ditetapkan Zona High Value atau wilayah rawan banjir tingkat tinggi serta bahaya likuifaksi sedang hingga tinggi.
Selain itu dalam Peta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung-BPDASHL, DAS Saddang masuk dalam klasifikasi dipulihkan. Perlindungan dan Pemulihan DAS Saddang bahkan masuk sejak di RPJMN 2014-2019 sebagai bagian 15 DAS Prioritas dari 108 DAS kritis di Indonesia.
Penetapan wilayah konsesi tambang tersebut jelas mengindikasikan bahwa pihak-pihak yang terlibat memasukkan Sungai Saddang dalam Perda RTRW sengaja menempatkan warga dalam situasi yang berbahaya dan penuh ancaman.
“Wilayah hilir DAS Saddang merupakan wilayah yang sangat tidak kami rekomendasikan untuk ditambang, seharusnya pemerintah membuat aturan tegas terkait persoalan ini, sungai sebagai daya dukung dan kawasan permukiman dan pertanian masyarakat sekitar sebagai daya tampung harus diselamatkan karena disana merupakan sumber penghidupan masyarakat, kawasan DAS Saddang di wilayah hilir ini seharusnya dilindungi dan ditingkatkan fungsinya sebagai kawasan penyangga dan daya dukung agar masyarakat dapat terus bermukim dan bertempat tinggal di sana dan menjadikan sungai sebagai sumber penghidupan mereka,” ucap Faat Staf Advokasi KPA Sulsel.
Hal ini kemudian dipertegas dalam pasal 66 UU PPLH No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
“Aksi penolakan warga terhadap tambang pasir, tidak boleh dikriminalisasi dan sudah jelas hak-hak warga telah dilindungi dalam Undang-undang. Penetapan wilayah konsesi pertambangan di Sungai Saddang, sama sekali tidak melibatkan partisipasi warga yang bermukim di sekitar wilayah konsesi. Tidak hanya itu, Pemerintah pun tidak melakukan kajian terkait dampak kerusakan lingkungan kedepannya apabila tambang pasir di paksakan beroperasi. Alih-alih melakukan perlindungan dan pemulihan terhadap DAS
Saddang, Pemerintah malah memperparah ancaman kerusakan lingkungan dan berpotensi menghilangkan hak-hak warga dalam hal ekonomi, sosial dan budaya.” tegas Melisa Ervina dari LBH Makassar.
Aksi ini merupakan bagian dari perjuangan nilai yang dimiliki serta tumbuh di masyarakat terhadap penyelamatan Sungai Saddang.
Hal ini juga berarti upaya penyelamatan kehidupan bersama. Dengan mencita-citakan kedaulatan dan kemerdekaan atas ruang hidup yang adil dan berkelanjutan sebagai perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Melalui aksi ini, Koalisi Rakyat Tolak Tambang Pasir Sungai Saddang menuntut dan mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) 13 Perusahaan di DAS Saddang dan menghormati serta mendengarkan penolakan yang dilakukan oleh Warga Desa Bababinanga dan menghentikan proses izin penambangan pasir di Sungai Saddang.
Warga juga meminta penghentian upaya kriminalisasi warga yang menolak tambang pasir Sungai Saddang dan menuntut pemulihan dan perlindungan atas lingkungan hidup yang adil serta berkelanjutan dan menolak segala bentuk kepentingan bisnis oleh pengusaha serta laksanakan pembangunan dan pengelolaan sumber sumber agraria dengan prinsip partisipatif bermakna bukan partisipasi manipulatif.