KabarMakassar.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan signifikan dalam dua hari terakhir. Menurut Pengamat Pasar Modal STIE Nusantara Makassar, Agus Arman, penurunan ini dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi kepercayaan investor di pasar modal Indonesia.
Agus menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama anjloknya IHSG adalah keputusan dua lembaga keuangan global, Goldman Sachs dan Morgan Stanley, yang menurunkan peringkat pasar saham dan obligasi Indonesia.
“Penurunan peringkat ini tentu berdampak pada persepsi investor terhadap IHSG. Ketika peringkat pasar saham turun, investor cenderung menarik dana mereka, terutama dari saham berisiko tinggi seperti sektor teknologi. Hal ini dapat memicu aksi jual besar-besaran dan menyebabkan penurunan harga saham yang signifikan,” jelasnya, Rabu (19/03).
Menurutnya, aksi jual tersebut menciptakan efek domino di Bursa Efek Indonesia (BEI), menyebabkan tekanan besar pada indeks saham secara keseluruhan.
Selain faktor global, Agus menyoroti faktor internal yang turut memperburuk kondisi IHSG. Salah satu penyebab utama adalah penurunan tajam saham-saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dipicu oleh menurunnya kepercayaan investor terhadap perusahaan-perusahaan pelat merah.
“Anjloknya saham BUMN secara signifikan saat ini merupakan imbas dari merosotnya kepercayaan investor, terutama setelah kasus korupsi di Pertamina terungkap ke publik,” tambahnya.
Menurutnya, skandal keuangan semacam ini membuat investor semakin waspada dalam menanamkan modalnya di perusahaan BUMN, sehingga mendorong aksi jual saham di sektor tersebut.
Meskipun mengalami tekanan besar, Agus optimistis bahwa IHSG memiliki peluang untuk bangkit dalam waktu dekat.
“Setelah penurunan tajam, pasar biasanya mencari titik keseimbangan. Dalam jangka pendek, ada potensi bagi IHSG untuk pulih, terutama jika koreksi besar ini dianggap sebagai buying opportunity bagi investor yang masih percaya pada prospek ekonomi Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya, penurunan tajam sering kali diikuti oleh pemulihan cepat jika kondisi pasar kembali stabil. Namun, hal ini sangat bergantung pada sentimen global dan kebijakan ekonomi domestik yang diterapkan pemerintah.
Agar IHSG kembali menguat, Agus menekankan dua hal penting yang harus dilakukan dalam waktu dekat:
Pertama, yaitu perbaikan Sentimen Global Harapan agar kondisi ekonomi global membaik dalam beberapa hari ke depan agar tekanan terhadap pasar modal Indonesia berkurang.
“Kedua Kebijakan Pemerintah yang Transparan, Pemerintah harus segera menjelaskan kondisi terkini perekonomian Indonesia untuk memulihkan kepercayaan investor di pasar modal, ” Lanjutnya
Ia pun menyebut, jika kepercayaan investor terus menurun, maka IHSG berisiko mengalami tekanan lebih dalam sehingga langkah yang tepat dibutuhkan.
Diketahui, pasar saham Indonesia kembali diguncang tekanan besar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 7% dalam perdagangan sesi pertama pada Selasa (18/03), turun ke level 6.084, menandai penurunan terdalam sejak krisis pandemi Covid-19 pada 2020.
Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan terpaksa menyetop sementara perdagangan saham (trading halt) pada pukul 11.19 WIB setelah IHSG ambruk lebih dari 5% ke level 6.146,91. Saham-saham unggulan (blue-chip), termasuk bank besar dan emiten teknologi, menjadi penyumbang utama pelemahan pasar.
Kondisi semakin diperburuk dengan anjloknya saham DCI Indonesia (DCII) yang terkena auto rejection bawah (ARB), turun 20% ke level 115.800. Saham ini sebelumnya mengalami reli panjang, namun langsung merosot setelah keluar dari papan pemantauan khusus.
Salah satu faktor utama yang membebani IHSG adalah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir Februari 2025.
Pendapatan negara hanya mencapai Rp316,9 triliun, anjlok 20,85% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Salah satu penyebab utamanya adalah kontraksi penerimaan pajak sebesar 30%, dari Rp269,02 triliun pada Februari 2024 menjadi jauh lebih rendah tahun ini.
Selain itu, pasar semakin tertekan dengan beredarnya rumor pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani. Meski pihak Istana melalui Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Hariqo Wibawa Satria telah membantah kabar tersebut sebagai hoaks, namun spekulasi yang sudah terlanjur menyebar tetap menambah ketidakpastian di pasar.
“Kami ingin menegaskan bahwa informasi yang beredar mengenai pengunduran diri Sri Mulyani adalah tidak benar alias hoaks,” ujar Hariqo.
Di tengah guncangan pasar, neraca perdagangan Indonesia sebenarnya masih mencatat surplus US$3,12 miliar pada Februari 2025. Namun, ada anomali yang mencemaskan, yakni penurunan impor barang konsumsi dari US$1,64 miliar (Januari 2025) menjadi US$1,47 miliar (Februari 2025).
Secara month-on-month (MoM) dan year-on-year (YoY), impor barang konsumsi turun masing-masing 10,61% dan 20,97%. Ini menjadi indikasi bahwa daya beli masyarakat sedang melemah, terutama di kalangan menengah ke bawah.
Biasanya, menjelang Ramadan, konsumsi masyarakat melonjak, termasuk dalam belanja kebutuhan pokok. Namun, tahun ini justru terjadi perlambatan. Data Mandiri Spending Index (MSI) juga menunjukkan penurunan tajam ke 236,2 seminggu sebelum Ramadan. Anomali ini terakhir kali terjadi pada Maret 2020, ketika awal pandemi Covid-19 mengguncang ekonomi.