kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Terus Tertekan, Dipengaruhi Lonjakan Dolar AS dan Imbal Hasil US Treasury

Rupiah Terus Tertekan, Dipengaruhi Lonjakan Dolar AS dan Imbal Hasil US Treasury
Ilustrasi Rupiah (Dok : KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu (23/10) jika dibandingkan perdagangan sebelumnya. Hal ini melanjutkan tren depresiasi yang sudah berlangsung selama tiga hari berturut-turut.

Menurut data dari Refinitiv, rupiah ditutup di level Rp15.615 per dolar AS, merosot 0,39% dibandingkan penutupan perdagangan sehari sebelumnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor global, termasuk penguatan dolar AS serta kenaikan imbal hasil US Treasury.

Pemprov Sulsel

Pelemahan rupiah terjadi di tengah lonjakan indeks dolar AS yang terus meningkat seiring dengan tingginya permintaan terhadap aset safe haven di pasar global. Kenaikan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun, yang kini mencapai level 4,18%, turut memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang seperti rupiah.

Sejak akhir Juli 2024, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun terus naik, mendorong aliran dana keluar dari pasar negara-negara berkembang dan kembali ke Amerika Serikat. Hal ini membuat likuiditas di pasar finansial Indonesia semakin tertekan.

Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa selama periode 14-17 Oktober 2024, terjadi arus keluar modal asing dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp1,09 triliun. Sebagian besar arus keluar tersebut berasal dari Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dengan nilai mencapai Rp5,31 triliun.

Dana asing yang ditarik keluar ini memperparah pelemahan rupiah, karena investor lebih memilih aset berdenominasi dolar AS yang dinilai lebih aman di tengah kondisi ketidakpastian global.

Penguatan dolar AS juga mencerminkan pergeseran sentimen pasar yang mulai fokus pada stabilitas ekonomi AS. Menurut Ibrahim, seorang analis keuangan, ekonomi AS yang tangguh serta ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (Fed) telah memperkuat posisi dolar AS di pasar global.

Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan November 2024, meskipun pemangkasan ini lebih kecil dibandingkan pemangkasan 50 basis poin yang dilakukan pada bulan September. Kenaikan imbal hasil obligasi dan kuatnya ekonomi AS semakin menarik minat investor global untuk memindahkan dana mereka ke AS, yang pada akhirnya menekan mata uang negara lain, termasuk rupiah.

Pada perdagangan hari ini, Kamis (24/10), nilai tukar rupiah diprediksi masih akan berada di bawah tekanan, terutama karena penguatan dolar AS yang berlanjut.

Mengutip data Bloomberg, rupiah pada Rabu (23/10) kembali melemah 0,38% atau turun 59,5 poin ke level Rp15.626 per dolar AS. Di sisi lain, indeks dolar AS tercatat menguat 0,26% ke level 104,35, mencerminkan kenaikan permintaan terhadap dolar di pasar internasional.

Di kawasan Asia, pelemahan tidak hanya dialami oleh rupiah. Beberapa mata uang utama Asia juga bergerak bervariasi. Yen Jepang, misalnya, melemah 0,93%, sedangkan dolar Singapura turun 0,25%.

Mata uang lain seperti won Korea Selatan turun 0,24%, peso Filipina turun 0,15%, yuan China melemah 0,05%, dan ringgit Malaysia merosot 0,49%. Bahkan, baht Thailand mencatatkan pelemahan lebih besar dengan turun 0,57% terhadap dolar AS.

Selain itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF) juga menjadi sorotan. IMF dalam laporan terbarunya memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stabil di angka 5,0% pada 2024, dan hanya sedikit meningkat menjadi 5,1% pada tahun 2029.

Proyeksi ini memberikan sinyal bahwa upaya Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8% masih sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Meskipun pemerintahan baru memiliki ambisi besar, tantangan dari faktor eksternal dan internal, termasuk ketidakpastian global, tetap menjadi hambatan yang signifikan.

Lebih lanjut, IMF juga memproyeksikan bahwa inflasi di Indonesia akan tetap stabil di level 2,3% pada 2024. Sementara itu, neraca transaksi berjalan diperkirakan akan mengalami defisit sebesar -1,0%, dan tingkat pengangguran diprediksi berada di angka 5,2% pada tahun yang sama. Data-data ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, meskipun ada perbaikan di beberapa sektor.

Ketidakpastian global yang masih membayangi pasar keuangan dunia, seperti ketegangan geopolitik dan kondisi ekonomi di negara-negara maju, semakin memperberat situasi bagi mata uang seperti rupiah. Oleh karena itu, para pelaku pasar diharapkan untuk tetap berhati-hati dan memanfaatkan peluang koreksi yang ada untuk melakukan akumulasi pembelian aset berisiko secara selektif.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh perekonomian global dan domestik, pemerintah dan otoritas keuangan Indonesia harus terus berupaya menjaga stabilitas makroekonomi, termasuk memperkuat likuiditas dan mengendalikan arus modal keluar, guna melindungi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian yang berkepanjangan.

PDAM Makassar