KabarMakassar.com — Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, turut angkat bicara terkait pelemahan nilai tukar rupiah. Menurutnya, pelemahan ini mencerminkan ketidakpastian pasar keuangan global, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
“Pelemahan rupiah dipengaruhi oleh penguatan dolar AS yang meluas, serta perubahan preferensi investor global yang kembali mengalihkan portofolio mereka ke AS pasca-pemilu,” jelas Perry dalam keterangannya dikutip Jumat (27/12).
Ia menambahkan bahwa rencana kebijakan perdagangan Amerika Serikat, seperti kenaikan tarif impor dan cakupan negara yang lebih luas, telah meningkatkan risiko fragmentasi perdagangan global.
Di sisi lain, gangguan rantai pasok global dan eskalasi ketegangan geopolitik juga turut memperburuk situasi ekonomi dunia.
“Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global pada 2025 diperkirakan melambat menjadi 3,1%, dibandingkan 3,2% pada 2024. Inflasi dunia juga meningkat karena gangguan rantai pasok, yang menambah tekanan pada berbagai mata uang, termasuk rupiah,” ungkap Perry.
Selain itu, Perry mencatat bahwa kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong imbal hasil obligasi AS tetap tinggi, baik untuk tenor jangka pendek maupun panjang. Hal ini turut memperkuat dolar AS dan mempersulit stabilisasi nilai tukar rupiah.
Pelemahan Rupiah Masih Terkendali
Meski menghadapi tekanan, Perry memastikan pelemahan rupiah masih dalam level yang terkendali. Sepanjang 2024, depresiasi rupiah tercatat sebesar 2,74%, lebih kecil dibandingkan dolar Taiwan yang melemah 5,26%, peso Filipina 5,83%, dan won Korea Selatan 7,53%.
Bank Indonesia pun memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 6%. “Fokus kami adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk saat ini, BI Rate tetap kami pertahankan,” ujar Perry.
diketahui, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah hingga sempat menyentuh level Rp16.312 per dolar AS pada Kamis (19/12) kemarin. Koreksi ini terjadi setelah keputusan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), mempertahankan suku bunga acuan dan memberikan proyeksi kebijakan yang lebih hati-hati untuk 2025.
Berdasarkan data Bloomberg hingga pukul 15.20 WIB pada perdagangan terakhir, pelemahan rupiah mencapai 1,3%. Tidak hanya rupiah, tren ini juga dialami oleh mata uang lain di kawasan Asia, seperti yen Jepang dan won Korea Selatan, yang menunjukkan dampak luas dari kebijakan The Fed terhadap pasar global.
Kebijakan The Fed Memicu Reaksi Pasar
Dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang berakhir pada Rabu (18/12/) waktu setempat, The Fed memangkas suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25%-4,50%. Namun, pernyataan mereka mengisyaratkan jeda pemangkasan lebih lanjut hingga 2025.
“Ekonomi masih tumbuh dengan kecepatan yang solid, tingkat pengangguran tetap rendah, namun inflasi terus sedikit meningkat,” demikian pernyataan resmi FOMC. The Fed menegaskan bahwa setiap keputusan kebijakan ke depan akan bergantung pada data ekonomi yang masuk dan evaluasi risiko secara menyeluruh.
Ketua The Fed Jerome Powell menggarisbawahi bahwa penurunan suku bunga tambahan hanya akan dilakukan jika inflasi menunjukkan penurunan signifikan.
“Kami berada dalam fase baru kebijakan moneter. Mulai saat ini, kami akan lebih berhati-hati dalam menentukan langkah selanjutnya,” ujar Powell dalam konferensi pers setelah pertemuan.
Namun, pernyataan Powell justru memicu kekhawatiran di pasar. Wall Street mencatat penurunan tajam, sementara proyeksi pasar terhadap kebijakan suku bunga di tahun mendatang ikut tertekan.
Jika sebelumnya pasar memperkirakan akan ada pelonggaran kebijakan sebesar 100 basis poin, kini ekspektasi tersebut menurun menjadi hanya satu kali pemangkasan sebesar 25 basis poin pada 2025.
Sebelumnya, Pengamat ekonomi, keuangan, dan perbankan, Sutardjo Tui, mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat mencapai Rp16.300 per dolar AS.
Ia menilai, jika langkah-langkah strategis tidak segera diambil, nilai tukar rupiah bisa terus melemah hingga Rp18 ribu per dolar AS.
Menurut Sutardjo, kondisi ini harus ditangani dengan kehati-hatian. Jangan menggunakan langkah parsial dalam melakukan sesuatu.
“Jangan gunakan langkah parsial, contohcseperti wacana efisiensi anggaran seperti infrastruktur,” ujar Sutardjo, Senin (23/12).
Faktor Penekan Nilai Tukar Rupiah
Ia mengungkapkan bahwa sejumlah faktor turut menekan nilai tukar rupiah, salah satunya adalah kebutuhan dolar untuk pembayaran utang pokok dan bunga yang jatuh tempo pada 2025.
Selain itu, kebutuhan impor rutin, seperti impor bahan bakar minyak (BBM), kacang hijau, kedelai, dan bahan baku obat-obatan, terus menyedot dolar dalam jumlah besar.
“Kebutuhan impor ini menjadi beban tambahan bagi rupiah. Jika tidak dikelola dengan baik, ancaman krisis moneter bukan lagi sekadar kemungkinan, tetapi kenyataan yang harus dihadapi,” tegasnya.
Selain tekanan dari kebutuhan dolar, kebijakan domestik juga dinilai berpotensi memicu gejolak ekonomi. Sutardjo menyoroti program makan gratis, kenaikan gaji guru, serta rencana penerapan pajak 12 persen yang menurutnya bisa memicu kenaikan harga dan inflasi.
“Hal-hal ini pasti akan berdampak pada kenaikan harga yang berpotensi menciptakan gejolak. Faktor-faktor ini menjadi pemicu utama risiko krisis moneter,” tambahnya.
Dampak Sosial dan Potensi Gejolak
Sutardjo juga mengkhawatirkan dampak sosial dari kebijakan pengurangan anggaran infrastruktur yang dapat memengaruhi lapangan pekerjaan.
Jika hal ini terjadi, gejolak sosial diprediksi akan muncul, mengingat banyaknya masyarakat yang bergantung pada sektor ini untuk penghidupan mereka.
“Wacana pengurangan infrastruktur bisa memicu pengurangan lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya akan berdampak pada stabilitas sosial,” ujarnya.
Melihat kondisi saat ini, Sutardjo memproyeksikan rupiah akan tetap berada di kisaran Rp16 ribu per dolar AS jika pemerintah mampu mengelola situasi dengan baik.
Namun, ia juga memperingatkan bahwa pelemahan hingga Rp17 ribu atau bahkan Rp18 ribu bisa terjadi jika langkah-langkah strategis tidak segera diambil.
“Bagus kalau rupiah bisa bertahan di Rp16 ribu. Semoga tidak naik ke Rp17 ribu atau lebih,” tutupnya.
Sutardjo berharap pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk menjaga stabilitas rupiah dan mencegah terjadinya krisis moneter yang lebih dalam.
Sebelumnya diberitakan, Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan tren melemah hingga menyentuh level Rp16.300 per dolar AS. Kondisi ini memberikan dampak signifikan pada berbagai sektor, terutama industri yang sangat bergantung pada bahan baku impor.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti bahwa pelemahan rupiah ini menjadi tantangan besar bagi daya saing industri dalam negeri.
Menurutnya, kebutuhan bahan baku yang masih harus diimpor membuat banyak industri harus menanggung beban yang lebih berat.
“Untuk bahan baku, ini berat sekali. Bahan baku yang selama ini masih harus didapatkan dari impor pasti akan memberikan dampak yang cukup berat bagi industri. Hal ini juga akan berkaitan langsung dengan daya saing kita,” ungkap Agus saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (20/12) kemarin.
Untuk mengantisipasi dampak lebih lanjut dari pelemahan rupiah, Agus menyebut bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan pemberian stimulus bagi sektor industri.
Meski demikian, ia belum merinci bentuk atau jenis stimulus yang akan diberikan.
“Insentif berupa stimulus-stimulus lain pasti akan kita bicarakan,” tambahnya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga memberikan tanggapannya terkait melemahnya nilai tukar rupiah.
Menurutnya, pengelolaan nilai tukar merupakan tanggung jawab utama Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kendali kebijakan moneter.
Namun, pemerintah juga akan memainkan perannya dengan menjaga kestabilan nilai tukar melalui pendekatan fiskal.
Airlangga menekankan pentingnya mendorong ekspor sekaligus menekan impor sebagai langkah strategis untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
“Dorong investasi untuk substitusi impor, jadi impor yang berbasis dolar harus kita tekan. Ekspornya juga harus ditingkatkan sehingga nilai rupiah kita lebih solid,” jelasnya di hadapan wartawan pada hari yang sama.
Airlangga juga mengingatkan bahwa pelemahan nilai tukar tidak hanya dialami oleh Indonesia. Beberapa negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Brasil, juga menghadapi depresiasi mata uang terhadap dolar AS.
Ia menjelaskan bahwa penguatan dolar AS di pasar global menjadi penyebab utama tren ini.
Meski demikian, Airlangga menilai fenomena ini masih tergolong baru dan memastikan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah sambil menjaga stabilitas ekonomi.
“Kita monitor pergerakan rupiah dan kita jaga fundamental ekonomi kita,” tegasnya.
Pada Kamis (19/12) kemarin, nilai tukar rupiah tercatat merosot hingga 127 poin atau 0,79 persen ke level Rp16.225 per dolar AS.
Pelemahan ini telah berlangsung konsisten selama pekan terakhir, menambah tekanan pada ekonomi domestik.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memprediksi bahwa tren depresiasi ini masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Ia memperkirakan nilai tukar rupiah dapat mencapai level Rp16.500 per dolar AS pada penghujung 2024.
“Penguatan dolar AS masih menjadi tekanan utama bagi rupiah hingga akhir tahun nanti,” ungkapnya.