KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama periode perdagangan 30 September hingga 4 Oktober 2024. Berdasarkan data Bloomberg, Sabtu (5/10), rupiah spot ditutup melemah 0,37 persen ke level Rp15.485 per dolar AS. Penurunan ini menunjukkan bahwa rupiah mengalami pelemahan sebesar 2,27 persen dibandingkan posisi awal pekan yang berada di level Rp15.140 per dolar AS.
Rupiah juga melemah dalam catatan Jisdor Bank Indonesia (BI), dengan penurunan 2,31 persen dalam sepekan, mencapai Rp15.495 per dolar AS pada penutupan Jumat (27/9/2024). Posisi ini menempatkan rupiah pada titik terlemah dalam sebulan terakhir, sejak 3 September 2024. Meski demikian, indeks dolar AS (DXY) juga sedikit turun sebesar 0,09 persen menjadi 101,89 pada akhir pekan.
Anjloknya nilai tukar rupiah dalam sepekan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Ketegangan geopolitik yang semakin memanas di Timur Tengah, terutama konflik antara Israel dan Hizbullah, serta perhatian pelaku pasar terhadap data ekonomi AS, menjadi pemicu utama. Para investor juga cenderung melakukan “wait and see” terkait perkembangan ekonomi AS dan kebijakan suku bunga Federal Reserve (Fed).
Fokus investor saat ini tertuju pada laporan penggajian nonpertanian AS yang akan segera dirilis. Laporan ini diharapkan memberikan indikasi lebih lanjut mengenai prospek kebijakan suku bunga Fed. Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah menambah kegelisahan pasar, sehingga pedagang mulai mengurangi ekspektasi pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin oleh Fed bulan depan. Berdasarkan kontrak berjangka, peluang pemotongan suku bunga sebesar itu hanya mencapai 35 persen.
Rupiah juga tertekan oleh sentimen positif dari rilis data ekonomi AS, termasuk lonjakan Indeks Manajer Pembelian (PMI) sektor jasa non-manufaktur yang semakin memperkuat dolar AS. Kondisi ini membuat pelaku pasar global lebih memilih dolar AS sebagai mata uang safe haven, dan menghindari risiko yang terkait dengan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Selain itu, rencana stimulus besar-besaran dari pemerintah China turut berkontribusi pada pelemahan rupiah. Stimulus yang mencakup pemangkasan suku bunga perbankan dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), serta pemberian fasilitas pinjaman besar kepada investor institusi di China, telah menarik minat pelaku pasar global untuk mengalihkan dana mereka ke pasar saham China.
Aliran dana asing keluar dari pasar keuangan Indonesia akibat minat yang lebih tinggi terhadap pasar China juga memberikan tekanan tambahan pada rupiah. Stimulus ini dinilai lebih menarik bagi investor institusi, terutama dalam kondisi pasar global yang penuh ketidakpastian.
Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama sepekan terakhir. Berdasarkan data dari Bloomberg, kurs rupiah di pasar spot turun 2,27% dan ditutup di level Rp15.485 per dolar AS pada penutupan Jumat (4/10/2024). Penurunan ini mencerminkan depresiasi tajam rupiah dalam sepekan, dengan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) juga mencatat pelemahan 2,31%, menempatkan rupiah di level Rp15.495 per dolar AS.
Pelemahan ini menandai tren depresiasi selama lima hari berturut-turut terhadap dolar AS, dengan posisi rupiah menyentuh titik terlemah dalam satu bulan terakhir sejak 3 September 2024. Penurunan tajam ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal dan domestik, termasuk ketegangan geopolitik di Timur Tengah serta ekspektasi kebijakan moneter dari Federal Reserve AS.
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menyebutkan bahwa fokus investor global saat ini tertuju pada laporan pasar tenaga kerja AS, khususnya data non-farm payrolls dan tingkat pengangguran yang dijadwalkan dirilis pada akhir pekan ini. Laporan ini dinilai sebagai indikator kunci yang akan memberikan petunjuk lebih lanjut terkait prospek kebijakan suku bunga Federal Reserve.
“Data yang dirilis minggu ini menunjukkan bahwa ekonomi AS masih kuat, terutama dengan aktivitas sektor jasa yang naik ke level tertinggi dalam satu setengah tahun terakhir pada bulan September, seiring dengan peningkatan pesanan baru,” jelas Ibrahim dalam risetnya dikutip Minggu (6/10). Selain itu, laporan dari Departemen Tenaga Kerja AS juga menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja tetap stabil hingga akhir kuartal ketiga.
Penguatan ekonomi AS ini memberikan dorongan tambahan bagi dolar AS, sementara para pelaku pasar mengurangi spekulasi mengenai pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve. Ibrahim mencatat bahwa peluang pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin oleh Federal Reserve bulan depan kini hanya mencapai 35%, turun dari spekulasi sebelumnya.
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga turut memperkuat dolar AS sebagai aset safe haven. Konflik antara Israel dan Iran memanas setelah serangan rudal yang diluncurkan Iran ke Israel, yang disinyalir sebagai balasan atas operasi Israel di Lebanon. Presiden AS, Joe Biden, secara tegas menyatakan dukungan penuh terhadap Israel, dengan kemungkinan aksi balasan yang menargetkan fasilitas minyak Iran. Eskalasi konflik ini telah memicu kenaikan harga minyak global, yang berdampak pada peningkatan permintaan dolar AS sebagai mata uang yang lebih aman di tengah ketidakpastian global.
“Dua faktor utama yang mendorong penguatan dolar AS adalah meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah serta prospek kebijakan moneter yang lebih ketat di AS,” lanjut Ibrahim. Kedua sentimen tersebut diprediksi masih akan terus mempengaruhi pergerakan dolar AS dalam pekan mendatang.
Prediksi Pergerakan Rupiah dan Tantangan Domestik
Mengingat berbagai faktor eksternal yang masih membayangi, Ibrahim memproyeksikan bahwa rupiah akan terus berfluktuasi dalam kisaran Rp15.500 hingga Rp15.800 per dolar AS untuk pekan depan. Pada awal pekan, Senin (7/10/2024), kurs rupiah diperkirakan akan bergerak di rentang Rp15.500 hingga Rp15.600 per dolar AS, yang menunjukkan bahwa tekanan terhadap mata uang domestik masih akan berlanjut.
Selain faktor eksternal, kondisi domestik juga turut memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah. Salah satunya adalah tren deflasi yang terjadi di Indonesia selama lima bulan berturut-turut, mulai dari Mei hingga September 2024. Deflasi ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia, terutama di kalangan kelas menengah, sedang menurun. Menurut Ibrahim, penurunan daya beli ini merupakan salah satu alasan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Deflasi yang berkelanjutan ini juga diiringi dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor industri, yang memperburuk daya beli masyarakat. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 53.993 pekerja telah terkena PHK hingga 1 Oktober 2024, dengan mayoritas berasal dari sektor manufaktur. Provinsi dengan angka PHK tertinggi adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.
Situasi ini diperkirakan akan semakin memburuk menjelang akhir tahun, dengan jumlah PHK yang diprediksi akan mencapai lebih dari 75.000 pekerja. PHK massal ini disebabkan oleh sejumlah perusahaan yang bangkrut atau memindahkan operasinya ke daerah dengan upah minimum yang lebih rendah. Kondisi ini semakin membatasi lapangan pekerjaan baru, terutama di sektor padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah warga kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan sebesar 9,48 juta dalam lima tahun terakhir, sehingga kini hanya mencapai 47,85 juta orang. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa daya beli masyarakat kelas menengah terus menurun, seiring dengan minimnya peluang kerja baru dan tingginya angka PHK.
Dampak Kebijakan Suku Bunga Terhadap Daya Beli Masyarakat
Upaya Bank Indonesia (BI) dalam menstabilkan nilai tukar rupiah melalui penurunan suku bunga acuan pada September 2024, dari 6,25% menjadi 6%, belum sepenuhnya membuahkan hasil. Penurunan suku bunga ini bertujuan untuk mendorong belanja masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi, namun tantangan domestik seperti maraknya PHK dan lemahnya daya beli masyarakat masih menjadi hambatan utama.
“Meski suku bunga telah diturunkan, uang yang beredar di masyarakat masih terasa mahal, dan ini tidak cukup untuk meredam deflasi yang terus berlanjut,” ungkap Ibrahim. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia tidak hanya disebabkan oleh kebijakan moneter, tetapi juga memerlukan intervensi di sektor riil, terutama dalam penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya beli masyarakat.
Selain itu, Ibrahim juga mencatat bahwa investor asing telah menunjukkan kecenderungan untuk menarik dana mereka dari pasar keuangan domestik, dipicu oleh ketidakpastian global serta daya tarik pasar lain, seperti China, yang menawarkan stimulus besar-besaran kepada investor institusi. Stimulus ini mencakup pemangkasan suku bunga dan fasilitas pinjaman yang menarik, sehingga aliran dana asing lebih condong ke pasar saham China.