KabarMakassar.com — Rupiah mengalami tekanan hebat di pasar surat utang negara (SBN) hingga mencapai level terendah sejak pandemi Covid-19 pada tahun 2020.
Pada perdagangan terakhir, Jumat (21/06), nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS turun signifikan, menyentuh angka Rp16.475/USD, terendah sejak awal April 2020. Posisi ini menempatkan Rupiah sebagai mata uang dengan performa terburuk di Asia sepanjang bulan Juni ini.
Tekanan di Pasar SBN
Aksi jual besar-besaran di pasar surat berharga negara (SBN) telah menyebabkan lonjakan imbal hasil (yield) SBN. Yield SBN tenor 5 tahun (5Y) naik tajam ke 7,09% pada pagi hari ini, dan sedikit turun menjadi 7,06% pada tengah hari. Sementara itu, imbal hasil SBN tenor 1 tahun (1Y) naik ke 6,75%, dan tenor 10 tahun (10Y) meningkat ke 7,16%.
Tekanan di pasar SBN ini disebabkan oleh kombinasi sentimen pasar global yang menguatkan Dolar AS dan meningkatkan yield Treasury AS, serta reaksi pasar terhadap keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI Rate di level 6,25% kemarin. Pelaku pasar fixed income juga mengantisipasi risiko kesinambungan kebijakan fiskal pada pemerintahan baru yang akan datang.
Kepercayaan Diri Bank Indonesia Diuji
Pelemahan Rupiah saat ini menjadi ujian bagi kepercayaan diri Bank Indonesia yang sebelumnya optimis bahwa Rupiah akan kembali menguat sesuai fundamentalnya dalam jangka pendek.
Namun, keyakinan ini bisa goyah jika investor terus melepas surat utang dan enggan masuk ke pasar domestik meskipun imbal hasil meningkat.
Pada lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) terakhir, investor hanya membukukan incoming bids sebesar Rp32,61 triliun, yang merupakan angka terendah sejak 8 Mei kemarin.
Permintaan imbal hasil lelang SRBI meningkat di semua tenor, dengan SRBI tenor 12 bulan mencapai imbalan hingga 7,60%, tertinggi sejak lelang 8 Mei yang sempat menyentuh 8% untuk tenor yang sama.
Bank Indonesia akhirnya menyerap permintaan dalam lelang hari ini sebesar Rp31,9 triliun, lebih besar dibandingkan serapan lelang sebelumnya.
Mengandalkan imbalan tinggi SRBI untuk menarik modal asing bukan tanpa risiko. Bunga tinggi pada instrumen ini dapat menyebabkan keketatan likuiditas pasar yang lebih jauh, berimbas ke sektor perbankan dan pengelolaan keuangan negara. Peningkatan bunga SBN dapat memicu kenaikan biaya dana pembiayaan APBN.
Suku bunga pasar uang, IndONIA, pada 20 Juni telah naik ke 6,131%, tertinggi sejak 21 Mei lalu. Beberapa bank besar, seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), telah menaikkan suku bunga deposito mereka sebesar 50 basis poin untuk simpanan di bawah Rp2 miliar.
*Pergerakan Suku Bunga Dasar Kredit
Menurut asesmen BI terkait suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan pada April yang dirilis kemarin, bunga pinjaman terus meningkat dalam dua kuartal terakhir. Suku bunga kredit baru juga naik secara keseluruhan hingga 72 basis poin, dari 9,33% menjadi 10,05%.
Intervensi langsung ke pasar untuk menstabilkan Rupiah mungkin tidak berkelanjutan, dan pada akhirnya kenaikan suku bunga acuan mungkin harus dilakukan.
Posisi cadangan devisa Indonesia pada Mei sebesar USD139 miliar mungkin belum menyalakan alarm, namun nilainya sudah melorot USD7,38 miliar sejak akhir tahun lalu.
Keputusan BI untuk menahan BI Rate kemarin tidak cukup hawkish dalam menghadapi pelemahan Rupiah saat ini. Kecuali indeks Dolar AS bergerak melemah, Rupiah kemungkinan akan terus tertekan menuju kisaran Rp16.575/USD.
Bank Indonesia menyebut pelemahan Rupiah saat ini disebabkan oleh peningkatan permintaan Dolar AS dari korporasi dan persepsi prospek fiskal yang kurang baik. Meskipun permintaan Dolar AS mungkin akan mereda, persepsi terkait prospek fiskal mungkin akan bertahan sampai ada kejelasan kebijakan.
Sejak pembukaan pasar pagi tadi, Bank Indonesia telah melakukan intervensi untuk menopang kejatuhan Rupiah yang sempat menyentuh Rp16.475/USD. Siang ini, Rupiah masih tertekan di kisaran Rp16.455/USD.
Faktor Global yang Mempengaruhi Rupiah
Tekanan terhadap Rupiah lebih disebabkan oleh situasi pasar global yang kurang kondusif. Divergensi kebijakan moneter di negara-negara maju semakin tajam, dengan penurunan bunga bank sentral Swiss (SNB), ditahannya bunga acuan Bank of England, serta Fed fund rate yang diperkirakan baru akan turun satu kali tahun ini.
Selain itu, kondisi perpolitikan di Prancis yang tidak menentu dan pasar saham AS yang melemah turut berkontribusi pada tekanan terhadap Rupiah.
Pada penutupan perdagangan Jumat (21/06) kemarin, Rupiah ditutup melemah 0,12% di angka Rp16.445/USD. Secara mingguan, Rupiah mengalami depresiasi sebesar 0,3%, menyentuh level psikologis Rp16.400/USD yang merupakan posisi terparah sejak pandemi Covid-19.
Pada pekan ini, meskipun sempat menguat pada Rabu (19/06) pasca rilis neraca perdagangan yang menunjukkan surplus selama 49 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, Rupiah kembali melemah keesokan harinya. Surplus neraca perdagangan pada Mei 2024 yang mencapai USD2,93 miliar tidak mampu menahan tekanan pada Rupiah.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan nilai tukar Rupiah terus melemah:
1. Ketidakpastian Terhadap Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Pada rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang berlangsung pada Kamis, 13 Juni 2024, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunganya pada kisaran 5,25-5,5%. Ini merupakan ketujuh kalinya berturut-turut sejak September 2023.
Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) dalam rapat tersebut mencakup grafik “dot plot” yang menunjukkan pandangan masing-masing pejabat The Fed mengenai perubahan suku bunga di masa depan hingga tahun 2026.
Dari 19 anggota, delapan memprediksi akan ada dua kali pemangkasan, tujuh memprediksi satu kali pemangkasan, dan empat tidak menginginkan pemangkasan sama sekali. Proyeksi ini menunjukkan kecenderungan ‘hawkish’, lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya di mana hanya dua anggota yang menentang pemangkasan.
2. Kekuatan Ekonomi AS yang Stabil
Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur AS menunjukkan fase ekspansi dengan kenaikan ke level tertinggi dalam tiga bulan, yakni 51,7 pada Juni 2024 dari 51,3 pada Mei, mengalahkan perkiraan 51. Angka ini mencerminkan perbaikan kondisi bisnis di sektor manufaktur selama dua bulan berturut-turut.
Selain itu, inflasi di AS masih tinggi, mencapai 3,3% secara tahunan (yoy) untuk Mei 2024, dengan inflasi inti di 3,4% yoy, menunjukkan daya beli masyarakat yang tetap kuat.
3. Penurunan Surplus Neraca Perdagangan
Surplus neraca perdagangan kumulatif periode Januari-Mei 2024 hanya mencapai USD13,06 miliar, turun USD3,41 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi baik pada sektor migas maupun nonmigas, masing-masing terkoreksi sebesar USD0,23 miliar dan USD3,18 miliar.
Terutama untuk perdagangan nonmigas dengan China, terjadi perubahan dari surplus USD0,21 miliar pada Januari-Mei 2023 menjadi defisit USD4,73 miliar pada periode yang sama tahun ini, menandakan hampir USD5 miliar penurunan. Meskipun ekonomi China menunjukkan perbaikan, ekspor Indonesia ke China belum mampu mengimbangi kebutuhan impor yang besar dari China.
4. Tingginya Impor Kebutuhan Pokok
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan signifikan dalam impor beras ke Indonesia hingga Mei 2024. Impor beras meningkat 165,27% dari 854 ribu ton pada Januari-Mei 2023 menjadi 2,2 juta ton pada periode yang sama tahun ini.
Pemerintah, di bawah Presiden Jokowi, menetapkan impor pangan sebesar 12,43 juta ton sepanjang tahun 2024. Impor ini mencakup beras, gula, bawang putih, daging sapi, dan jagung, sesuai dengan keputusan Sistem Nasional Neraca Komoditas (SINAS NK) melalui rapat terbatas pemerintah.
5. Defisit Transaksi Berjalan Selama Empat Kuartal Berturut-turut
Bank Indonesia melaporkan bahwa Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal I-2024 mengalami defisit sebesar USD6 miliar. Transaksi berjalan juga menunjukkan defisit sebesar USD2,2 miliar atau 0,6% dari PDB. Defisit ini lebih dalam dibandingkan kuartal IV-2023 yang tercatat sebesar USD1,1 miliar atau 0,3% dari PDB.