KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan volatilitas di awal 2025, tertekan oleh rendahnya laju inflasi yang mencerminkan lemahnya aktivitas ekonomi domestik. Ditambah dengan penguatan indeks dolar AS (DXY), posisi mata uang Garuda kian terdesak.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,62% ke level Rp16.190/US$ pada perdagangan Kamis (02/01).
Angka ini berbanding terbalik dengan penguatan tipis 0,25% yang dicatatkan pada perdagangan terakhir 2024, Selasa (31/12).
Penguatan indeks dolar AS menjadi salah satu faktor utama yang menekan rupiah. Indeks DXY kini melesat ke atas level 109, sementara di pasar non-deliverable forward (NDF), nilai tukar rupiah bahkan telah menembus Rp16.200/US$.
Dari sisi domestik, inflasi tahunan Indonesia pada 2024 tercatat hanya sebesar 1,57% (yoy), yang merupakan angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya inflasi ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat dan perlambatan aktivitas ekonomi, memberikan tekanan tambahan pada nilai tukar.
Namun, di sisi lain, ada secercah optimisme dari sektor manufaktur. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global menunjukkan bahwa PMI manufaktur Indonesia naik ke level 51,2 pada Desember 2024, kembali ke zona ekspansif setelah lima bulan berada di zona kontraksi. Angka ini juga menjadi yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, menandakan adanya perbaikan aktivitas produksi.
Analisis Teknikal Rupiah
Secara teknikal, rupiah masih berada dalam tren pelemahan pada basis waktu per jam. Resistance terdekat diperkirakan berada di Rp16.250/US$, yang diambil dari level tertinggi candle intraday pada 19 Desember 2024. Jika level ini berhasil ditembus, pelemahan rupiah berpotensi berlanjut.
Sementara itu, support terdekat berada di Rp16.110/US$, yang merupakan garis rata-rata pergerakan 200 jam (MA200). Level ini menjadi area penting yang dapat menjadi indikasi potensi pembalikan arah jika rupiah kembali menguat.
Sebelumnya, Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memproyeksikan rupiah kemungkinan akan berada di rentang Rp16.180 hingga Rp16.270 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
“Perdagangan besok mata uang rupiah akan fluktuatif, namun ditutup melemah,” ujar Ibrahim dalam analisisnya pada Kamis (02/01).
Penguatan dolar AS, menurut Ibrahim, dipicu oleh dinamika geopolitik global, termasuk janji Presiden AS terpilih Donald Trump yang mengancam akan mengenakan tarif tambahan kepada CiCina
Hal ini memunculkan kekhawatiran akan babak baru perang dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia itu.
“Jika tarif ini benar diberlakukan, bukan tidak mungkin ketegangan AS-Cina kembali memanas tahun ini,” jelasnya.
Sementara itu, pertemuan Federal Reserve pada Desember lalu juga menjadi katalis penguatan dolar. Bank sentral AS tersebut mengindikasikan kebijakan moneter yang lebih ketat pada 2025, dengan fokus menjaga inflasi sebagai prioritas utama.
Di kawasan Asia, Korea Selatan tengah menghadapi krisis politik besar setelah Presiden Yoon Suk Yeol dimakzulkan pada Desember lalu. Yoon dituduh menyalahgunakan kekuasaan, sementara pengadilan Seoul telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya.
“Kondisi politik yang tidak stabil ini memengaruhi pasar keuangan di kawasan, termasuk tekanan terhadap mata uang Asia lainnya,” ungkap Ibrahim.
Data terbaru menunjukkan aktivitas manufaktur Cina melambat pada Desember 2024. Menurut data PMI swasta, pertumbuhan manufaktur Cina lebih lemah dari yang diantisipasi, mencerminkan memudarnya dampak langkah-langkah stimulus sebelumnya.
Sebaliknya, Indonesia menunjukkan kinerja positif. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia kembali ke zona ekspansif setelah lima bulan terkontraksi, mencapai level 51,2 pada Desember 2024 dari 49,6 pada bulan sebelumnya.
“Ekspansi ini didorong oleh kenaikan volume produksi dan permintaan baru, baik dari pasar domestik maupun internasional,” kata Ibrahim.
Ia menambahkan, tren positif ini menunjukkan stabilitas makroekonomi Indonesia, diiringi peningkatan daya beli masyarakat. Perusahaan manufaktur pun optimistis bahwa produksi akan terus meningkat di tahun ini, didukung oleh membaiknya lapangan kerja dan aktivitas pembelian.
Meski banyak tantangan global, Ibrahim berharap tren positif di sektor manufaktur Indonesia dapat memberikan dampak stabilisasi terhadap perekonomian domestik. Namun, ia juga mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap dinamika global yang berpotensi mengguncang pasar keuangan.
“Fokusnya tetap menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri sambil terus memantau pergerakan global,” tutupnya.