kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Tertekan di Pasar Spot, Dolar AS Menguat Menjelang Rapat The Fed

Rupiah Diprediksi Ditutup di Rentang Rp15.800-Rp15.910 per Dolar AS
ilustrasi rupiah (doc KabarMakassar)
banner 468x60

KabarMakassar.com — Pada awal perdagangan pasar spot pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan yang signifikan. Rupiah dibuka di level Rp16.318 per dolar AS, mencatat penurunan sebesar 0,23% dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya. Pada pukul 9:23 WIB, Selasa (30/07) kemarin, rupiah semakin terpuruk ke posisi Rp16.322 per dolar AS, yang merupakan level terlemah dalam hampir satu bulan terakhir. Rupiah dan peso Filipina menjadi mata uang Asia yang mengalami pelemahan paling dalam.

Selain rupiah dan peso, mata uang Asia lainnya juga mengalami tekanan. Won Korea Selatan turun 0,21%, ringgit Malaysia melemah 0,12%, sementara yuan Tiongkok, baht Thailand, dan rupee India masing-masing mencatat penurunan tipis sebesar 0,05%, 0,02%, dan 0,01%.

Pemprov Sulsel

Pelemahan mata uang Asia ini terjadi karena penguatan dolar AS yang didorong oleh ekspektasi pasar terhadap hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) dari The Fed yang berlangsung mulai hari ini hingga besok. Investor sedang bersiap menghadapi keputusan kebijakan suku bunga acuan AS. Indeks dolar AS naik ke 104,63 pada pagi ini, mencerminkan penguatan mata uang tersebut.

Selain menunggu hasil pertemuan The Fed, investor global juga menantikan data pertumbuhan ekonomi Eropa yang akan dirilis sore hari ini. Dari kawasan Asia, data tingkat pengangguran dari Jepang dan Singapura juga menjadi fokus perhatian.

Secara teknikal, nilai tukar rupiah berada di kisaran koreksi terdekat dan mendekati level support kuat di Rp16.350 per dolar AS jika tekanan terus berlanjut. Selama rupiah berada di atas level Rp16.280 per dolar AS, mata uang ini masih berpotensi mengalami pelemahan lebih lanjut. Sebaliknya, jika terjadi penguatan hingga di bawah level Rp16.250 per dolar AS dalam tren jangka menengah, rupiah berpotensi menguat menuju level Rp16.180 per dolar AS.

Trendline pada time frame daily menunjukkan resistance psikologis potensial pada level Rp16.250 per dolar AS, dengan target penguatan optimis lanjutan yang bisa membawa nilai tukar rupiah ke level Rp16.200 per dolar AS.

Pada penutupan perdagangan Selasa (30/07) kemarin, nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar AS. Menurut Bloomberg, rupiah turun 0,12% atau 19 poin menjadi Rp16.300 per dolar AS. Pasar memperkirakan bahwa bank sentral AS kemungkinan besar akan mempertahankan tingkat suku bunga setelah pertemuan FOMC yang dijadwalkan selesai pada hari ini, Rabu (31/07).

Namun, pasar juga memperkirakan adanya kemungkinan pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada September 2024, meskipun kelanjutan dari pemotongan suku bunga tersebut masih diragukan.

Selain itu, berita mengecewakan dari Tiongkok turut mempengaruhi pasar. Berdasarkan jajak pendapat Reuters, aktivitas manufaktur di Tiongkok diperkirakan terus menurun.

Pasar akan mencermati rapat Komite Sentral, badan pembuat keputusan tertinggi di Tiongkok, dan berharap adanya dukungan kebijakan ekonomi lebih lanjut. Fokus juga tertuju pada indeks manajer pembelian (PMI) Tiongkok, yang akan memberikan petunjuk tentang kondisi perekonomian negara tersebut.

Di dalam negeri, pemerintah mengadakan lelang sukuk negara (SBSN) dengan target sebesar Rp8 triliun. Lelang ini dilakukan di tengah sentimen pasar yang memburuk setelah sebelumnya, pada hari Senin, pasar surat utang mencatat reli harga.

SBSN atau sukuk negara yang diadakan kemarin menunjukkan minat pasar yang menurun, seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah akibat sentimen negatif di pasar keuangan global.

Nilai penawaran dalam lelang sukuk kali ini hanya mencapai Rp24,58 triliun, turun 11% dibandingkan dengan lelang sebelumnya yang mencatat incoming bids sebesar Rp27,71 triliun.

Penurunan ini terjadi meskipun aksi beli investor di pasar surat utang sekunder tetap berlanjut. Yield atau imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor pendek turun 3,5 basis poin menjadi 6,527%, sementara tenor 10 tahun juga turun 1,1 basis poin menjadi 6,922%.

Penyusutan minat investor di pasar primer ini tak lepas dari sentimen negatif yang membayangi aset-aset di pasar berkembang. Saat ini, Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat (AS), sedang mengadakan pertemuan Komite Pasar Terbuka (FOMC) yang berlangsung hingga 31 Juli untuk memutuskan kebijakan suku bunga acuan The Fed.

Investor bersikap hati-hati menantikan sinyal baru dari pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang dijadwalkan pada 1 Agustus dini hari waktu Indonesia Barat. Meskipun pasar memperkirakan bahwa suku bunga The Fed akan tetap di 5,5% pada akhir Juli, para pemodal akan sangat mencermati bahasa tubuh dan pilihan kata para pejabat The Fed saat konferensi pers nanti.

Tekanan pada nilai tukar rupiah juga mempengaruhi minat di pasar surat utang primer. Hari ini, rupiah ditutup melemah 0,12% di level Rp16.300 per dolar AS, pelemahan terbesar ketiga di Asia setelah peso Filipina dan won Korea Selatan yang masing-masing turun 0,24% dan 0,14%.

Minat investor terlihat tersebar merata. Seri sukuk dengan tenor di bawah satu tahun, seperti SPNS dengan tenor 7 bulan dan 10 bulan, masing-masing menarik minat sebesar Rp2,05 triliun dan Rp3,75 triliun.

Seri PBS dengan tenor pendek juga diminati, dengan PBS032 mencatat penawaran tertinggi sebesar Rp6,37 triliun. Seri PBS038 yang jatuh tempo pada tahun 2049 mencatat penawaran tinggi sebesar Rp5,30 triliun, diikuti oleh seri PBSG001 dengan minat sebesar Rp4,09 triliun.

Pemerintah akhirnya memenangkan penawaran sebanyak Rp8 triliun, sesuai dengan target indikatif. Namun, untuk seri SPNS dengan tenor terpendek, tidak ada yang dimenangkan.

Minat investor yang menyusut ini menjadi cerminan dari kehati-hatian pasar dalam menghadapi ketidakpastian global, terutama menjelang keputusan penting dari The Fed dan tekanan yang terus-menerus pada nilai tukar rupiah.