KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah dan mencatatkan penutupan di level Rp15.925 per US$1 pada perdagangan Selasa (26/11). Sepanjang tahun ini, rupiah telah mengalami penurunan sebesar 3,3%, di tengah pengaruh kebijakan moneter AS dan dampak politik kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS.
Berdasarkan data Refinitiv, pelemahan rupiah sejak awal tahun hingga Selasa (26/11) mencapai 536 poin atau sekitar 3,48% dari posisi akhir tahun lalu yang berada di level Rp15.399 per US$1. Pelemahan ini kian terasa menjelang libur Pilkada serentak, di mana rupiah terkoreksi 54 poin atau 0,34% dari sehari sebelumnya.
Dalam laporan yang dirilis oleh BMI Research, bagian dari Fitch Solutions Company, dijelaskan bahwa kemenangan Trump dalam Pemilu AS menambah tekanan pada nilai tukar rupiah.
Kebijakan proteksionis yang diusung Trump diperkirakan akan memprioritaskan penguatan ekonomi domestik AS, termasuk dengan menarik kembali dana investasi global ke pasar Amerika. Hal ini semakin memperburuk tekanan terhadap rupiah, yang kini diperdagangkan sangat dekat dengan level psikologis Rp16.000 per US$1.
Sejak kemenangan Trump pada 5 November 2024, nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang signifikan, bahkan sempat mendekati Rp16.000 per US$1 pada Kamis pekan lalu (21/11/2024). Posisi penutupan di level Rp15.925 per US$1 pada Selasa kemarin menjadi yang terendah sejak 12 Agustus 2024, atau lebih dari tiga bulan terakhir.
Dalam laporan yang sama, BMI Research memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah akan tetap berada di sekitar level Rp15.500 per US$1 hingga akhir tahun ini.
Kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) yang dinilai tidak cukup dovish atau akomodatif serta potensi peningkatan belanja fiskal AS menjadi faktor utama yang membatasi peluang penguatan rupiah. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan menurunkan suku bunga secara lebih moderat dibandingkan The Fed.
Sebagai catatan, Bank Indonesia telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,00% pada September 2024.
Namun, langkah ini dinilai belum cukup untuk menahan pelemahan rupiah. Kenaikan inflasi di AS juga mempersempit peluang pelonggaran suku bunga lebih lanjut oleh The Fed, sehingga perbedaan kebijakan moneter antara BI dan The Fed menambah tekanan terhadap rupiah.
Ketergantungan besar Indonesia pada permintaan ekspor dari China juga menjadi salah satu tantangan utama yang memengaruhi pelemahan rupiah. Ekspor barang ke China menyumbang sekitar 25% dari total ekspor Indonesia, hampir setara dengan gabungan ekspor ke Amerika Serikat dan seluruh negara ASEAN.
Namun, dengan proyeksi perlambatan ekonomi China dalam beberapa tahun mendatang, sektor eksternal Indonesia diperkirakan akan semakin tertekan.
Menurut BMI Research, perlambatan ekonomi China dapat berdampak signifikan pada sektor eksternal Indonesia, terutama dalam jangka panjang. Pada 2025, defisit neraca berjalan Indonesia diproyeksikan melebar dari 1,0% menjadi 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini semakin memperlemah daya tahan rupiah terhadap tekanan global.
Di sisi lain, Bank Indonesia terus menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui strategi triple intervention. Langkah ini mencakup intervensi di pasar spot, pasar non-deliverable forwards (NDF) domestik, dan pasar obligasi. Meski demikian, ruang gerak BI dinilai semakin terbatas di tengah dinamika global yang tidak menentu.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun. Minimnya penopang eksternal, kebijakan proteksionis AS, serta perlambatan ekonomi China menjadi faktor utama yang membayangi prospek rupiah ke depan. Apabila langkah-langkah intervensi BI tidak cukup signifikan, nilai tukar rupiah berisiko melemah lebih lanjut dan semakin mendekati level psikologis Rp16.000 per US$1.
Secara teknikal dalam basis waktu satu jam, rupiah sejauh ini masih bergerak dalam tren pelemahan terhadap dolar AS. Level Rp16.000/US$ kini menjadi resistance menggunakan round number sebagai area pelemahan yang patut diantisipasi.
Sementara untuk support atau potensi pembalikan arah menguat bisa dicermati di posisi Rp15.850/US$ yang didapatkan dari garis rata-rata selama 200 jam atau Moving Average/MA 200.