KabarMakassar.com — Pada perdagangan Kamis (10/10), nilai tukar rupiah masih berada dalam tren pelemahan. Berdasarkan data RTI Business pada pukul 09.35 WIB, rupiah terkoreksi sebesar 15 poin atau -0,10%, dengan kurs berada di angka Rp15.630 per dolar AS.
Selain itu, rupiah juga melemah terhadap beberapa mata uang utama dunia, yaitu dolar Australia (-0,36%), euro (-0,16%), dan poundsterling (-0,20%).
Kondisi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi rupiah dalam menjaga stabilitasnya di tengah pengaruh berbagai faktor eksternal, termasuk kebijakan moneter global, inflasi, dan ketidakpastian ekonomi internasional. Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan terus memantau situasi serta mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomian domestik.
Namun, sejumlah mata uang Asia lainnya juga mengalami pelemahan. Dolar Singapura misalnya melemah 0,02%, dolar Hong Kong melemah 0,02%, serta yuan China melemah 0,05%.
Pelemahan rupiah ini melanjutkan tren yang sudah terjadi sehari sebelumnya. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di dorong oleh sentimen dari luar negeri, salah satunya adalah antisipasi terhadap hasil rapat The Federal Reserve (The Fed) yang mengindikasikan kemungkinan penurunan suku bunga. Selain itu, rencana Pemerintah China untuk menambah stimulus ekonominya turut memperkuat posisi rupiah.
Dari dalam negeri, pelaku pasar menunjukkan minat yang tinggi terhadap hasil penjualan hari ini, memberikan sentimen positif tambahan terhadap nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Indonesia turun tipis dari US$150,2 miliar menjadi US$149,9 miliar. Meski mengalami penurunan, jumlah ini masih mencukupi untuk membiayai 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor sekaligus memenuhi pembayaran utang luar negeri pemerintah. Penurunan ini tidak mengurangi kemampuan BI untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan eksternal yang semakin kuat.
BCA Economic Research menyebutkan bahwa meski penguatan rupiah terbatas, posisi cadangan devisa yang masih memadai memungkinkan BI untuk terus melakukan intervensi guna menopang nilai tukar rupiah. Selain itu, ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh BI, sejalan dengan potensi penurunan suku bunga The Federal Reserve (The Fed), juga diperkirakan akan mengurangi tekanan terhadap rupiah ke depan.
Pasar melihat adanya peluang berlanjutnya arus masuk dana asing ke Indonesia, didukung oleh sentimen positif dari pasar Asia, khususnya China dan Hong Kong. Meskipun pasar saham China sempat mengalami volatilitas, stimulus ekonomi dari pemerintah China diperkirakan akan menjadi dorongan tambahan bagi stabilitas regional.
Sementara itu, pelaku pasar masih menanti risalah pertemuan The Fed dan data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang akan dirilis esok hari. Kedua data ini sangat krusial dalam menentukan arah kebijakan moneter AS dan akan berdampak signifikan pada sentimen global, termasuk di Indonesia.
Sebagai catatan, inflasi AS pada Agustus 2024 tercatat naik 0,2 persen secara bulanan dan mencapai 2,5 persen secara tahunan, menunjukkan perlambatan dari 2,9 persen pada bulan sebelumnya. Inflasi yang semakin mendekati target 2 persen The Fed ini memberikan indikasi bahwa bank sentral AS mungkin akan mempertimbangkan penyesuaian kebijakan suku bunga lebih lanjut.
Pelaku pasar di Wall Street kini bersiap menyimak pernyataan dari Ketua The Fed Jerome Powell pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang dijadwalkan berlangsung hari ini, Kamis (10/10). Hasil pertemuan ini diperkirakan akan mempengaruhi pasar keuangan global, termasuk nilai tukar dan pasar modal di Indonesia.