KabarMakassar.com — Pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau stabil, meski tekanan volatilitas tetap menghantui. Pada perdagangan Senin (9/12) kemarin, menurut data Refinitiv, rupiah sedikit melemah 0,09% ke level Rp15.860/US$ di pasar spot.
Stabilnya kinerja rupiah didukung oleh rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) November 2024 oleh Bank Indonesia (BI). IKK tercatat naik menjadi 125,9 dari 121,1 pada Oktober 2024, menandai peningkatan pertama sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden.
“Survei Konsumen Bank Indonesia pada November 2024 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dibandingkan bulan sebelumnya,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, dalam siaran persnya.
Keyakinan Konsumen Menguat pada Semua Segmen
Berdasarkan kategori pengeluaran, peningkatan IKK terlihat di seluruh kelompok, terutama pada rumah tangga dengan pengeluaran di atas Rp5 juta per bulan.
Kenaikan ini didorong oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing naik ke 113,5 dan 138,3, dibandingkan 109,9 dan 132,4 pada bulan sebelumnya.
Dampak Global: Data China dan Inflasi AS
Meski stabil, pergerakan rupiah berpotensi terpengaruh oleh rilis data ekonomi global, khususnya neraca dagang China yang akan diumumkan hari ini.
Trading Economics memperkirakan ekspor China melambat menjadi 8,5% secara tahunan pada November, dibandingkan pertumbuhan 12,7% di Oktober. Impor China diprediksi sedikit pulih ke 0,3% dari kontraksi 2,3% sebelumnya.
Namun, data perdagangan ini masih diproyeksikan lesu meski pemerintah China telah menggulirkan stimulus ekonomi.
Perlambatan ekonomi China bisa menjadi sentimen negatif bagi Indonesia, mengingat posisi China sebagai mitra dagang terbesar Tanah Air.
Selain itu, pasar juga menanti data inflasi AS yang dijadwalkan rilis esok hari. Hasil data ini akan menjadi indikator penting bagi arah kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) dalam pertemuan terakhir tahun ini.
Tekanan Teknis: Support dan Resistance Rupiah
Secara teknikal, rupiah saat ini bergerak dalam tren sideways. Jika menguat lebih lanjut, target support terdekat berada di level Rp15.800/US$, yang sejajar dengan level terendah pada 20 November 2024.
Sementara itu, potensi resistance terdekat berada di Rp15.960/US$, yang merupakan level tertinggi intraday pada 4 Desember 2024.
Ke depan, stabilitas rupiah akan sangat bergantung pada data-data ekonomi global serta sentimen pasar terhadap kebijakan moneter dan geopolitik. Investor disarankan untuk tetap berhati-hati menghadapi potensi volatilitas.
Sebelumnya, Tekanan di pasar obligasi domestik terlihat semakin nyata pada awal pekan ini, Senin (9/12/2024). Meskipun sentimen positif dari penurunan yield Treasury AS pasca rilis data pasar kerja mendukung skenario pemangkasan suku bunga Federal Reserve, efeknya tidak sepenuhnya terasa di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Pagi kemarin, yield SBN hampir di semua tenor mencatatkan kenaikan, mencerminkan adanya tekanan jual yang cukup merata.
Berdasarkan data realtime Bloomberg, yield INDOGB-1Y yang sebelumnya naik 8 basis poin ke 6,74% pada Jumat lalu, pagi ini melanjutkan kenaikan tipis ke 6,78%. Tenor 2Y bahkan mencatat kenaikan signifikan hingga 6,90% dari posisi 6,74% pekan lalu.
Sementara itu, tenor 10Y juga naik ke kisaran 6,92%, menunjukkan tekanan yang terus membayangi pasar obligasi negara.
Kenaikan yield ini terjadi di tengah penguatan indeks dolar AS yang masih berada di kisaran 106, menahan peluang penguatan rupiah. Hingga pagi ini, rupiah masih tertekan di kisaran Rp15.851/US$, dengan pergerakan terbatas di rentang sempit.
Tekanan terhadap pasar SBN semakin diperburuk oleh aksi jual asing. Bank Indonesia melaporkan bahwa selama periode 2-5 Desember, investor asing membukukan net sell di SBN sebesar Rp1,37 triliun. Di sisi lain, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga mengalami net sell asing hingga Rp5 triliun pada periode yang sama.
Di tengah tekanan ini, pasar SUN tenor 10Y diperkirakan akan bergerak dalam pola flattening dengan rentang 6,90%-6,95%, sementara tenor pendek seperti 2Y dan 5Y berada di kisaran 6,85%-6,90%. Depresiasi rupiah yang masih berlangsung hari ini, dengan rentang Rp15.850-Rp15.950/US$, turut membatasi potensi penguatan obligasi domestik.
Sementara itu, di pasar Treasury AS hingga siang ini, yield UST cenderung menurun di semua tenor. Yield 2Y turun 4,7 bps ke 4,09%, sedangkan yield 10Y turun 3,1 bps ke 4,14%. Penurunan ini mencerminkan ekspektasi pasar bahwa The Fed kemungkinan besar akan kembali memangkas suku bunga pada pertemuan 18 Desember mendatang.
Optimisme ini diperkuat oleh data pasar tenaga kerja AS bulan November yang mencatat kenaikan tingkat pengangguran ke 4,2%. Namun, pasar masih menanti data inflasi CPI AS yang akan dirilis Rabu mendatang untuk konfirmasi lebih lanjut. Konsensus memperkirakan inflasi CPI naik 0,3% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan, sementara inflasi inti diprediksi stabil di 0,3% mom dan 3,3% yoy.
Di sisi lain, lelang SRBI pada Jumat pekan lalu menunjukkan peningkatan minat investor dengan nilai penawaran naik 71% menjadi Rp31,54 triliun. Namun, permintaan yield yang lebih tinggi membuat Bank Indonesia memberikan bunga diskonto di level 7,23%, tertinggi sejak Agustus. Akibatnya, nilai penerbitan SRBI dalam lelang ini turun menjadi Rp14,9 triliun dari sebelumnya Rp16,3 triliun.