kabarbursa.com
kabarbursa.com

Rupiah Pekan Ini Diprediksi Sentuh Rp15.500, Imbas Sentimen Stimulus China

Dinamis Sepanjang Pekan, Rupiah Ditutup di Level Rp15.875 per Dolar AS
Ilustrasi Rupiah (Dok: KabarMakassar).
banner 468x60

KabarMakassar.com — Mata uang rupiah diperkirakan akan menguat pekan depan, didorong oleh sentimen positif dari stimulus yang diumumkan oleh China pada Sabtu (12/10) kemarin.

Memasuki perdagangan pada Senin (14/10), rupiah diprediksi akan bergerak dalam kisaran Rp 15.475 hingga Rp 15.600 per dolar AS. Bahkan, beberapa analis memproyeksikan bahwa rupiah dapat menguat lebih jauh hingga mencapai level Rp 15.500 jika sentimen positif dari stimulus China terus mendominasi pasar dan data ekonomi Amerika Serikat tetap stabil.

Pemprov Sulsel

Meskipun sejumlah risiko eksternal, seperti ketidakpastian geopolitik, dapat memicu volatilitas, secara keseluruhan, prospek jangka pendek bagi rupiah terlihat positif, didukung oleh sentimen eksternal yang menguntungkan serta kondisi ekonomi domestik yang solid.

Pada penutupan perdagangan Jumat (11/10), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan rupiah berada di level Rp 15.609 per dolar AS, naik 0,31% dari perdagangan hari sebelumnya. Di pasar spot, rupiah menguat lebih tinggi, ditutup pada level Rp 15.578 per dolar AS, mencatatkan kenaikan 0,64%.

Stimulus China Dorong Sentimen Risk-On
Stimulus ekonomi dari China diharapkan dapat membawa sentimen positif ke pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Stimulus tersebut diproyeksikan mampu mendorong penguatan ekonomi China, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan terhadap ekspor komoditas Indonesia.

Meskipun dampak langsung terhadap aliran dana asing (hot money) ke luar dari Indonesia tidak signifikan, stimulus ini tetap memicu sentimen risk-on di pasar, yang berarti investor lebih bersedia mengambil risiko dan beralih ke aset berisiko seperti mata uang pasar berkembang, termasuk rupiah.

Penguatan rupiah juga didorong oleh ekspektasi bahwa ekonomi China yang lebih kuat dapat memberikan dukungan tambahan bagi negara-negara pengekspor komoditas, termasuk Indonesia. Sektor komoditas di Tanah Air, seperti batu bara dan minyak sawit, berpotensi mendapatkan manfaat dari peningkatan permintaan.

Sentimen Eksternal dan Kebijakan The Fed
Di sisi lain, sentimen penguatan mata uang garuda juga dipengaruhi oleh stabilnya data ekonomi Amerika Serikat. Indeks harga produsen yang tidak berubah pada bulan September mengisyaratkan bahwa inflasi terkendali.

Kondisi ini membuka kemungkinan bagi Federal Reserve (The Fed) untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga di masa mendatang, yang pada akhirnya dapat melemahkan dolar AS dan mendukung penguatan mata uang berisiko, termasuk rupiah.

Meski dolar AS menunjukkan kekuatan dalam beberapa waktu terakhir, analis memandang bahwa dalam jangka panjang, rupiah dan mata uang pasar berkembang lainnya berpotensi menguat terhadap dolar, terutama jika kebijakan moneter AS mulai lebih longgar.

Dukungan Domestik: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Dari dalam negeri, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berada di atas 5% untuk periode 2024-2025 turut memberikan sentimen positif bagi penguatan rupiah. Perkiraan ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia berada dalam jalur yang solid, yang dapat menarik minat investor untuk kembali masuk ke pasar dalam negeri.

Ketertarikan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia akan memperkuat aliran modal masuk, yang pada akhirnya berkontribusi pada apresiasi mata uang rupiah. Dengan proyeksi pertumbuhan yang solid dan potensi stimulus fiskal serta moneter, ekonomi Indonesia tetap berada dalam kondisi yang stabil dan menarik bagi investasi asing.

Penguatan rupiah pekan ini tampaknya didorong oleh kombinasi faktor global dan domestik, termasuk stimulus dari China, data ekonomi AS yang stabil, serta proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat.

Dengan potensi penguatan ke kisaran Rp 15.475 hingga Rp 15.600, rupiah menunjukkan peluang untuk kembali menjadi pilihan menarik bagi investor. Namun, investor tetap perlu memperhatikan perkembangan eksternal yang dapat mempengaruhi pergerakan pasar secara keseluruhan.

Sebelumnya, Kenaikan tak terduga pada inflasi inti dan lonjakan klaim pengangguran di AS memberikan tekanan signifikan pada kebijakan moneter bank sentral AS. Klaim pengangguran yang melonjak hingga 258 ribu, level tertinggi sejak 14 bulan terakhir, menambah ketidakpastian terkait arah kebijakan Federal Reserve (The Fed). Pasar keuangan yang semula optimistis dengan peluang pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin kini menurunkan ekspektasi menjadi hanya 25 basis poin pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan depan.

Meski demikian, notulensi rapat FOMC September 2024 menekankan bahwa kemungkinan pemangkasan suku bunga tidak boleh dianggap sebagai sinyal akan memburuknya prospek ekonomi atau percepatan laju pelonggaran kebijakan. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas dan memberikan kejelasan arah kebijakan ke depan.

Sinyal perbaikan muncul pada akhir pekan ketika sentimen pasar global menunjukkan tanda-tanda stabilisasi. Meskipun demikian, pelemahan sepanjang minggu membuat rupiah berada dalam posisi yang rentan, dengan tekanan yang dipicu oleh ketidakpastian kebijakan suku bunga AS dan dinamika pasar tenaga kerja AS.

Rupiah dan Perbandingan dengan Mata Uang Regional

Dalam konteks regional, performa rupiah terbilang masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa mata uang lainnya. Peso Filipina mencatatkan penurunan paling dalam sebesar 1,62% sepanjang pekan ini, diikuti oleh ringgit Malaysia yang melemah 1,61%, baht Thailand turun 0,91%, yuan Tiongkok melemah 0,68%, dan dolar Taiwan terkoreksi 0,67%. Dengan pelemahan 0,61%, rupiah menjadi mata uang dengan penurunan terkecil di antara negara-negara tetangga. Hanya yuan offshore yang berhasil mencatatkan penguatan terhadap dolar AS, dengan kenaikan sebesar 0,39% sepanjang pekan ini.

Faktor Eksternal yang Memberikan Tekanan pada Rupiah

Tekanan terhadap rupiah pekan ini sebagian besar dipicu oleh faktor eksternal, terutama data ekonomi AS yang menunjukkan ketangguhan pasar tenaga kerja. Kondisi ini menambah ketidakpastian terhadap arah kebijakan suku bunga The Fed. Ketika pasar sebelumnya memperkirakan adanya ruang untuk pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin, kondisi tersebut memaksa ekspektasi turun menjadi hanya 25 basis poin, dengan spekulasi baru yang menyatakan bahwa The Fed mungkin akan menahan suku bunga pada pertemuan mendatang.

Selain itu, data inflasi AS menunjukkan bahwa disinflasi pada komoditas inti berhenti pada bulan September, yang menyebabkan peningkatan spekulasi bahwa inflasi mungkin akan bertahan lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya. Situasi ini telah mendorong arus jual di pasar Treasury AS, sehingga meningkatkan nilai dolar AS dan memberikan tekanan tambahan pada mata uang pasar berkembang, termasuk rupiah.

Namun, tekanan yang dihadapi oleh rupiah sedikit mereda pada perdagangan hari Jumat. Pernyataan dari beberapa pejabat The Fed yang menyebutkan bahwa data inflasi, meskipun mengejutkan, masih dalam ekspektasi para pembuat kebijakan, memberikan sedikit kelegaan bagi pasar.

Arus Modal Asing Keluar dari Pasar Domestik

Fluktuasi di pasar global juga berdampak pada arus modal asing di Indonesia. Sepanjang pekan lalu, data dari Bloomberg menunjukkan adanya arus keluar modal (net outflows) sebesar US$291 juta atau sekitar Rp4,6 triliun, sedangkan sejak awal Oktober 2024 atau kuartal keempat, total net outflows mencapai US$405,2 juta. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan arus keluar modal di Thailand dan Vietnam. Bahkan, Malaysia masih mencatat net inflows meskipun kecil, sebesar US$4,9 juta, sedangkan Filipina mencatat inflows sebesar US$22,5 juta.

Menurut laporan Bank Indonesia, selama periode 7-10 Oktober 2024, investor nonresiden tercatat melakukan penjualan bersih (jual neto) sebesar Rp2,84 triliun. Angka ini terdiri dari penjualan bersih di pasar saham sebesar Rp4,47 triliun, pembelian bersih di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp4,37 triliun, dan penjualan bersih sebesar Rp2,73 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Dampak Pada Pasar Saham dan Obligasi

Arus keluar modal asing dari pasar saham mengakibatkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level terendah pekan lalu di 7.480. Di pasar surat berharga negara, imbal hasil (yield) mayoritas tenor meningkat tajam seiring dengan tekanan eksternal dan kenaikan dolar AS. Pada saat rupiah hampir menembus level Rp15.700 per dolar AS, yield SBN untuk tenor 5 tahun melonjak hingga 14,1 basis poin ke 6,51%, sementara tenor 10 tahun naik 8,3 basis poin ke 6,70%, dan tenor pendek naik 5,7 basis poin ke 6,23%.

Meski demikian, pada penutupan perdagangan Jumat, yield SBN kembali turun tipis, dengan tenor 5 tahun berada di 6,41%, tenor 10 tahun di 6,63%, dan tenor pendek 2 tahun di 6,27%. Penurunan ini menunjukkan adanya stabilisasi pasar menjelang akhir pekan

Secara keseluruhan, tekanan yang dialami rupiah sepanjang pekan ini mencerminkan ketidakpastian global yang terus meningkat, terutama karena data ekonomi AS yang mendukung penguatan dolar. Meskipun arus keluar modal asing dan pelemahan nilai tukar cukup signifikan, rupiah masih menunjukkan ketahanan dibandingkan dengan beberapa mata uang Asia lainnya.

Tekanan eksternal yang dipicu oleh kebijakan The Fed dan dinamika pasar global akan tetap menjadi tantangan bagi rupiah dalam beberapa waktu ke depan. Stabilitas sementara yang tercapai pada akhir pekan diharapkan dapat membantu mengurangi volatilitas dalam jangka pendek.