KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka menguat pada perdagangan Jumat (22/11) pagi, mencapai posisi Rp15.912,5 per dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, penguatan ini tercatat sebesar 18 poin atau 0,11% dibandingkan penutupan sebelumnya. Namun, di tengah penguatan rupiah, indeks dolar AS juga mengalami kenaikan tipis sebesar 0,09% ke level 107,06.
Sementara itu, pergerakan mata uang di kawasan Asia bervariasi. Ringgit Malaysia melemah 0,17%, diikuti baht Thailand yang turun 0,14% dan yuan China yang terkoreksi 0,10%. Sebaliknya, yen Jepang dan won Korea justru menguat masing-masing sebesar 0,05% dan 0,15%, memberikan sinyal beragam di pasar regional.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan bahwa ekspektasi pelaku pasar terhadap kemungkinan penurunan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) mulai melemah.
Menurutnya, Saat ini, peluang penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan The Fed Desember mendatang hanya mencapai 52%, turun tajam dari 82,5% yang tercatat pekan lalu.
Ia menambahkan, survei Reuters menunjukkan mayoritas ekonom memperkirakan bahwa pemangkasan suku bunga The Fed akan dilakukan, tetapi dengan penurunan yang lebih terbatas hingga 2025.
Faktor utama yang menghambat kebijakan pelonggaran moneter ini adalah risiko inflasi yang tetap tinggi, ditambah dengan dampak kebijakan ekonomi dari pemerintahan Donald Trump.
Selain kebijakan moneter, pelaku pasar juga memantau langkah Presiden AS Donald Trump, terutama dalam menunjuk Menteri Keuangan baru.
Ia menyebut, beberapa nama yang dipertimbangkan Trump menimbulkan keraguan terkait kualifikasi dan pengalaman mereka, yang bisa memengaruhi kebijakan ekonomi AS ke depan.
Kondisi ini menambah ketidakpastian di pasar global, yang turut memengaruhi sentimen terhadap mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah. Meski demikian, penguatan rupiah pada pagi ini mencerminkan optimisme pasar domestik yang tetap terjaga, di tengah dinamika global yang fluktuatif.
Pasar kini menanti perkembangan lebih lanjut dari kebijakan ekonomi AS dan dampaknya terhadap aliran modal global, yang akan menentukan arah nilai tukar mata uang, termasuk rupiah, dalam beberapa pekan mendatang.
Diketahui, Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan pelemahan sepanjang pekan ini. Pada penutupan perdagangan Kamis (21/11), rupiah tercatat melemah 0,38% ke level Rp15.920/US$, setelah berfluktuasi di kisaran Rp15.953/US$ hingga Rp15.880/US$. Tekanan ini muncul di tengah kokohnya posisi dolar AS di pasar global.
Secara teknikal, tren pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih berlanjut. Jika tekanan terus berlanjut, nilai tukar rupiah berpotensi menguji level Rp16.000/US$, yang menjadi batas psikologis sekaligus resistance terdekat. Sementara itu, area support untuk potensi pembalikan arah penguatan berada di Rp15.800/US$, yang bertepatan dengan garis rata-rata pergerakan selama 200 jam.
Salah satu faktor yang membayangi pelemahan rupiah adalah hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), yang memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa keputusan tersebut bertujuan menjaga stabilitas inflasi dalam rentang target pemerintah, yaitu 2,5% ±1% hingga 2025, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Namun, keputusan tersebut diambil di tengah tantangan eksternal yang semakin kompleks. Perry menyebutkan tingginya ketidakpastian geopolitik global serta perkembangan politik di AS sebagai faktor utama yang memengaruhi stabilitas nilai tukar.
“Kami akan terus memperkuat kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas rupiah sekaligus menarik aliran modal asing melalui pendekatan promarket,” ujar Perry.
Dalam laporan terbaru, BI juga merilis data transaksi berjalan kuartal III-2024 yang menunjukkan defisit sebesar US$2,2 miliar (0,6% dari PDB).
Meski lebih kecil dibandingkan defisit pada kuartal II-2024 sebesar US$3,2 miliar (0,9% dari PDB), angka ini tetap menandai defisit transaksi berjalan untuk kuartal keenam berturut-turut.
Defisit transaksi berjalan sering kali menjadi perhatian karena menggambarkan kondisi arus keluar-masuk uang dari sektor riil, yang biasanya memiliki dampak jangka panjang pada stabilitas ekonomi.
Meski begitu, BI mencatat surplus pada neraca transaksi modal dan finansial sebesar US$6,6 miliar di kuartal III-2024, meningkat dari US$3 miliar pada kuartal sebelumnya.
Surplus ini didorong oleh peningkatan investasi langsung, khususnya di sektor industri pengolahan, jasa kesehatan, serta transportasi dan pergudangan.
Aliran masuk modal asing ke instrumen portofolio juga meningkat, didukung oleh imbal hasil investasi yang tetap menarik. Namun, peningkatan defisit pada investasi lainnya menunjukkan adanya penempatan dana swasta Indonesia di luar negeri, yang turut menekan cadangan devisa.
Pelemahan rupiah ini menjadi tantangan tambahan bagi ekonomi nasional, yang tengah berupaya menjaga kestabilan di tengah gejolak global. BI, di sisi lain, terus berkomitmen untuk mengelola stabilitas nilai tukar dan memastikan prospek investasi tetap menarik bagi investor domestik maupun asing.